Tapi, ada masanya dimana A-fra memang harus di buat kesal oleh Chalentha, saat itu:
"Di mana beruangku?" suara A-fra terdengar datar namun tajam. Ia berdiri di tengah ruang tamu, matanya menyapu sofa dan rak-rak dengan penuh kekecewaan.
Chalentha, yang sedang duduk santai sambil memotret dirinya sendiri menggunakan ponsel, mendongak pelan. Ia menatap A-fra sejenak, lalu berdiri dan berjalan mendekat.
"Beruang itu sudah rusak," katanya singkat. "Aku sudah membelikan yang baru untukmu."
A-fra menatapnya. Pandangannya tidak menyimpan rasa terima kasih sedikit pun.
"Itu bukan soal boneka," ucapnya dingin. "Itu pemberian nenek."
Chalentha terdiam, tapi sebelum ia sempat menjawab, A-fra sudah berbalik dan berjalan ke arah pintu belakang. Suara langkahnya berat. Ia membuka pintu dan membantingnya begitu saja, hingga seluruh ruangan bergema.
Keheningan memenuhi ruang tamu. Chalentha berdiri mematung, lalu menunduk, menyadari bahwa ia mungkin telah melewati batas. "(Apa yang harus kulakukan?)" ddia tampak merasa bersalah.
Di luar, udara malam terasa lembap. Lampu jalan menyorot genangan air hujan yang belum mengering. A-fra berjalan tanpa arah, menyusuri trotoar, dia sudah berjam jam berjalan di luar dan hanya terdiam mengingat sesuatu yang mengecewakan, dia tidak bisa menemukan beruang nya, lalu ia berhenti di dekat tempat sampah kompleks.
Ia menendang batu kecil ke selokan, wajahnya mengeras, rahangnya mengatup. Tapi tiba-tiba, ia melihat sesuatu.
Seseorang sedang membongkar tumpukan sampah dengan hati-hati. Sosok itu membungkuk, rambutnya terikat asal-asalan, dan tangannya memungut sesuatu dari bawah plastik yang kusut.
"Chalentha?" ucap A-fra tajam.
Chalentha menoleh. Wajahnya berkeringat dan sedikit kotor, tapi matanya tegas.
"A-fra?! Um, itu... Aku sedang mencarinya," jawabnya singkat.
"Keluar dari situ. Ini kotor," kata A-fra, setengah perintah.
"Tidak," balas Chalentha tanpa gentar. "Aku, akan mencarikan barang yang kamu anggap sepele tapi ternyata punya makna."
A-fra mendengus, lalu bersandar di tiang listrik terdekat. Matanya memperhatikan setiap gerak Chalentha, diam-diam merasa aneh sendiri—kenapa orang ini repot-repot?
"Aku tidak menyangka kamu akan segitunya," gumam A-fra pelan, nyaris tidak terdengar.
"Mungkin kamu lupa," jawab Chalentha sambil mengaduk kantong plastik hitam. "Tapi aku ingat betul wajahmu waktu nenek memberikannya. Kamu tidak tidur semalaman malam itu."
A-fra terdiam. Suara kendaraan lewat sesekali memotong kesunyian malam.
Beberapa menit berlalu.
Lalu—suara Chalentha terdengar lagi, kali ini lebih lantang, terdengar seperti kelegaan yang mendalam.
"Aku menemukannya!"
Ia berdiri dan mengangkat boneka beruang lusuh dengan tangan kanan. Robek di satu sisi, kainnya kusam, tapi masih utuh. Masih punya wujud, dan lebih penting—masih punya kenangan.
Chalentha melangkah mendekat. Ia tidak bicara. Hanya menyodorkan boneka itu pada A-fra.
A-fra menerimanya perlahan, memandanginya lama tanpa berkata-kata.
"Kamu tidak harus bilang terima kasih," kata Chalentha sambil menepuk bahunya pelan. "Aku minta maaf...." tatap Chalentha, mendadak A-fra memeluk Chalentha membuat Chalentha terkejut, tapi ia tersenyum lembut dan menerima pelukan nya. "(Aku benar-benar masih harus memahami A-fra.... Aku sudah terlalu banyak salah menilai sama seperti orang orang di luar sana padanya... A-fra tegas bukan karena dia ingin, tapi karena lingkungan dimana dia tumbuh.... Dia tumbuh di lingkungan yang kejam...)"
A-Fra memang terkenal sangat tegas, tapi di balik sikapnya yang dingin dan kaku, ada saat-saat di mana dia tak mampu menahan gelombang kenangan masa lalu yang membayang dalam pikirannya. Saat-saat di mana dia harus bisa mengingat bagaimana konflik antara keluarga terjadi, menyisakan luka yang belum sembuh sepenuhnya.
"A-Fra, di mana orang tuamu?" tanya Chalentha dengan suara santai saat mereka berada di dalam apartemen kecil yang temaram. Lampu kuning redup menggantung di langit-langit, menciptakan suasana hangat namun sepi. A-Fra duduk bersandar di sofa tua, fokus menatap layar televisi sambil bermain game menggunakan stiknya. Sementara itu, Chalentha rebahan di sampingnya, sibuk dengan ponselnya, sesekali menggulir layar dan melirik A-Fra.
Mendengar pertanyaan itu, A-Fra langsung terdiam. Jarinya berhenti menekan tombol-tombol stik, dan suara dari permainan mendadak terdengar lebih nyaring dalam keheningan itu. "Orang tua apanya, mereka bahkan tidak melahirkanku..." katanya lirih namun dingin, lalu kembali menatap layar dan melanjutkan permainannya dengan ekspresi kosong.
Chalentha terdiam sejenak, matanya mengamati wajah A-Fra yang keras namun menyimpan luka. Ia bangkit perlahan dari posisinya dan duduk, lalu tanpa ragu memukul bahunya dengan ringan, seolah mencoba menyadarkannya. "Apa yang kau katakan pada orang tua? Dasar pembangkang, aku tahu kau pasti durhaka kan sama orang tua?" katanya dengan tatapan tajam, nada suaranya sedikit meninggi. "Apalagi sikapmu itu?"
A-Fra tidak menoleh, tidak bereaksi apa pun. Ia hanya terus bermain seolah kata-kata itu tidak menyentuhnya sedikit pun. "Terserah kau mau bilang apa..."
Chalentha mendesah, lalu menyandarkan punggungnya ke sandaran sofa. "A-Fra, kau tidak bisa begitu, ibumu melahirkanmu... Dia pasti berharap kau kembali dan memeluknya..." ucapnya dengan nada lebih tenang, lebih lembut dari sebelumnya, hampir seperti seorang kakak yang menasihati adiknya.
"Kau tidak tahu soal ibuku! Jangankan pelukan, apa pun itu tak ada...!" kata A-Fra tiba-tiba, dengan nada tajam dan mata yang memancarkan kemarahan terpendam. Kata-katanya meluncur cepat, penuh emosi yang selama ini dia pendam dalam diam.
"Oh ya? Bagaimana jika dia menyesal? Dia menginginkanmu kembali?" tanya Chalentha dengan serius, tatapannya kini menembus A-Fra yang mendadak membeku. Pertanyaan itu seolah membuka pintu lama yang selama ini sengaja dikunci rapat.
"Kenapa kau bicara soal orang tua?"
"Well, aku hanya penasaran... Apakah di antara kita memang memiliki keluarga yang buruk, termasuk aku..." ujarnya sambil menatap ke luar jendela. Lampu kota yang remang-remang tampak memantul di kaca, menambah kesan muram pada ruangan itu.
"Aku tahu bagaimana orang tuamu membuangmu..." kata A-Fra tanpa ekspresi, tapi suaranya terdengar dalam dan berat, seolah menahan sesuatu yang ingin meledak.
"Itu tidak penting, aku tidak mau mengingatnya... Aku yakin kau juga ingin melihat ibumu, kan? Sekalian tunjukkan padaku rumahnya..." tatap Chalentha dalam, namun ada ketulusan di sana. Kalimat itu membuat A-Fra menghela napas panjang, seolah menimbang perasaan yang rumit dalam dadanya.
Malam itu, udara dingin menyelimuti kota. Lampu jalan redup memantulkan cahaya samar di aspal yang basah karena hujan sebelumnya. Mereka berjalan berdua menyusuri gang sempit yang sepi dan gelap. Bayangan tubuh mereka terpantul samar di dinding-dinding kusam yang lembap. Setiap langkah terdengar jelas, menggema pelan dalam keheningan malam.
Chalentha menggigit bibirnya, takut. Dia benci tempat seperti ini—gelap, sempit, dan tak terduga. Namun dia tetap berjalan, karena di sampingnya ada A-Fra yang tampak begitu tenang, seolah jalanan ini sudah dikenalnya sejak lama.
Hingga akhirnya, A-Fra berhenti di depan sebuah rumah tua dengan cat mengelupas dan pagar yang berkarat. Mereka saling memandang dalam diam. "Tunggulah di sini... Dan berdoalah dia mau memelukku..." katanya pelan. Ucapan itu membuat Chalentha menegang, hatinya tercekat. A-Fra tampak sungguh-sungguh, seakan ini adalah saat yang telah lama dia hindari tapi akhirnya harus dihadapi.
A-Fra melangkah pelan menuju pintu rumah. Suasana hening, hanya suara angin yang sesekali berbisik melewati celah bangunan. Ia mengetuk pintu perlahan. Tidak ada jawaban. Ia mundur sedikit, menarik napas panjang, berharap tapi juga takut.
Tiba-tiba pintu terbuka. Dari baliknya muncul seorang wanita. Wajahnya tidak bisa terlihat jelas dari sudut Chalentha, namun nada suaranya langsung menghantam keras malam yang tenang.
Bukannya suara kesenangan, malah suara lebih tegas."Kenapa kembali lagi?! Pergilah dari sini!!!" teriaknya, penuh amarah, lalu menutup pintu dengan keras hingga debu di ambang pintu bergetar. Namun tak berhenti di situ, wanita itu membuka jendela lantai atas dan menyalakan lampu, menciptakan sorotan terang ke bawah. Suaranya kembali menggelegar.
"Apakah kau pantas disebut wanita??! Gadis?! Kau bahkan tidak pernah mau menuruti kata-kataku, jangan kembali lagi ke sini...!" Ia melempar barang-barang dari jendela, benda-benda yang baginya tak berharga lagi. Botol, pakaian, bahkan bingkai foto tua yang pecah saat menghantam tanah di dekat A-Fra. Semua itu mendarat tak jauh dari A-Fra, nyaris mengenai tubuhnya.
A-Fra tetap diam. Ia hanya menghela napas panjang, duduk di depan rumah itu tanpa berkata-kata. Kepalanya tertunduk, membiarkan hujan gerimis yang mulai turun membasahi bahunya. Jendela akhirnya ditutup kembali, mengakhiri serangan suara itu. Kini hanya ada keheningan dan serpihan barang-barang yang berserakan di tanah.
Dari kejauhan, Chalentha melihat semuanya. Ia terdiam, hatinya mencelos menyaksikan kenyataan pahit itu. Kini ia tahu, bahwa sikap A-Fra yang keras bukanlah tanpa sebab. Ia bukan sekadar pembangkang—ia adalah produk dari lingkungan yang tak pernah memberinya pelukan.
Chalentha melangkah mendekat, perlahan, penuh empati. Ia duduk di samping A-Fra yang masih menatap kosong. Angin malam menusuk kulit, tapi keheningan di antara mereka jauh lebih dingin.
A-Fra mulai membuka suara, suaranya nyaris seperti bisikan. "Kau menyebut dia melahirkanku?" tatapnya, lirih namun menyayat.
Chalentha terdiam. Tak ada jawaban yang bisa menenangkan. Ia hanya menarik kepala A-Fra ke dadanya dan memeluknya erat, membiarkan keheningan menjadi pelipur lara yang tak terucapkan.
Share this novel