Kembali

Drama Series 2041

Pagi yang cerah menyingsing, menyambut hari dengan kehangatan. Aku yang sudah terjaga sedari sholat tahajud sudah tidak bisa lagi untuk tidur. Istriku pun juga. Kami sudah terbiasa sedari di pesantren. Sehingga pagi ini membuat momen canggung lainnya dengan Shiva.

Aku teringat ketika sholat tadi. Begitu selesai Shiva mendekatiku dan mengecup tanganku layaknya seorang istri kepada suaminya. Sedangkan aku masih tidak bisa melakukan apapun untuk kebaikan kami bersama. Hal itu membuat ku salah tingkah sendiri.

Jantungku berdebar kencang karena sekarang hanya ada kami berdua di rumah. Benar, kami berdua saja. Orang tua kami sengaja pergi entah kemana untuk memberikan pengantin baru ini ruang untuk bermesraan. Sayang mereka tidak tahu bahwa kami tidak berbuat apapun.

Paling tidak Shiva mau melayani keperluanku yang lain meskipun bukan hubungan badan. Dia di dapur sedang memasak sesuatu untuk sarapan kami. Layaknya seorang istri kepada suami. Aku tersipu. Ingin ku peluk tubuhnya yang seksi itu dari belakang tapi aku takut nanti dia semakin trauma. Hmmm... sabar.

"Raja sarapannya sudah siap kita sarapan yuk!" ajak Shiva tersenyum.

Aku mengangguk dengan senyuman. Jantungku tidak bisa di ajak berkompromi. Dia terus berdetak kencang seolah sedang ikut lomba lari. Ku harap detak jantungku tidak terdengar oleh Shiva. Sungguh memalukan. Aku seorang suami dan aku salah tingkah sendiri di depan istriku.

"Ada apa, Ja? Kok kayaknya kamu tidak sehat?" kata Shiva khawatir.

"Tidak ada apa-apa kok, Yang," jawabku mencoba menutupi rasa maluku darinya.

"Apa kamu marah karena aku tidak melayanimu sebagai seorang istri tadi malam," kata Shiva merasa bersalah.

"Tidak sayang, aku tidak marah cuma..." jawabku menggantung.

"Cuma apa, Ja?" Shiva mulai penasaran.

"Aku canggung. Ini pertama kalinya aku bersama dengan wanita hanya berdua. Walaupun kita sudah menikah tapi tetap saja canggung," jawabku malu.

Shiva tersenyum geli mendengar jawabanku. Sepertinya dia sudah memantapkan diri dan mempersiapkan hati untuk menjadi seorang istri. Tidak ada keraguan dan ketakutan dalam dirinya meskipun ku lihat dia masih malu-malu sama sepertiku.

Jantungku tidak henti-hentinya bergemuruh layaknya petir yang menyambar dikala hujan deras. Aku tidak tahu harus berbuat apa jadi aku hanya memakan masakan istriku tercinta ini tanpa ada sepatah katapun. Hanya meliriknya sesekali.

"Raja boleh aku panggil kamu "MAS"? Sekarang kamu sudah resmi menjadi suamiku rasanya tidak pantas jika aku memanggil kamu hanya dengan nama," kata Shiva tiba-tiba.

Aku terkejut, saking terkejutnya aku sampai tersedak. Batuk-batuk luar biasa. Shiva melihatku dan mengambilkan minuman untukku yang dengan segera ku teguk hingga lenyap tak bersisa. Aku tidak menyangka bahwa dia akan berkata demikian. Aku menatap ke arahnya dan mengangguk seperti orang bodoh.

"Boleh kok, Yang, boleh banget malah," kataku antusias.

"Terima kasih, Mas," kata Shiva sambil memegang tanganku dan mengecupnya perlahan.

"Boleh aku menciummu Sayang? Aku tidak akan macam-macam kok. Aku janji," kataku dengan berani. Entah darimana keberanian itu muncul.

Shiva kaget dan melonjak ke belakang untuk menghindar. Sepertinya dia masih belum mau. Aku menunduk kecewa melihat sikapnya dan selebihnya aku mencoba untuk memahami ketakutannya itu. Lama sekali kami terpaku dalam diam. Entah harus bagaimana lagi untuk mencairkan suasana yang sudah sangat tidak nyaman ini.

Aku memandang ke arahnya dan mencoba tersenyum. Aku tidak ingin melukai hati istriku yang ku sayang.

"Makan lagi yuk, sebelum nasinya dingin!" kataku mengalihkan pembicaraan.

Shiva kembali ketempat duduknya tanpa sepatah katapun dan bahkan tidak menoleh ke arahku sama sekali. Aku mengutuk mulutku yang tidak bisa diam dan tidak tahu diri. Aku berdoa supaya keadaan ini segera berlalu dan kami bisa berbincang lagi. Tolong maafkan kelancangan diriku istriku tercinta!

Tidak banyak kata yang bisa ku ucapkan bahkan setelah kami selesai sarapan sekalipun. Aku duduk diam di kursi berhadapan dengan televisi sedang Shiva memilih menjaga jarak denganku. Dia duduk di sudut sofa berseberangan denganku. Lagi-lagi seperti ini. Sabarkan aku ya Allah, lapangkan dadaku dan pikiranku. Tidak mudah baginya untuk menerima semua ini.

"Sayang nanti sore kita kembali ke pesantren ya!" kataku mencoba mencairkan suasana.

Shiva diam. Memandang ke arahku tapi masih dalam keadaan membisu. Kurasa dia marah padaku juga kecewa pastinya karena aku sudah kurang ajar meminta cium darinya.

"Bulan depan kita akan memasuki ujian akhir. Rugi jika kita absen berlama-lama hanya karena pernikahan kita yang dipercepat dari tanggal semestinya," kataku merayu.

Aku tidak sampai hati untuk mengatakan bahwa aku mengajak dia kembali pulang agar aku tidak lebih kurang ajar dari ini dan karena aku memang kecewa kepadanya karena telah menolakku. Terdengar jahat memang tapi ya begitulah adanya. Aku suaminya tapi dia menolakku bahkan setelah aku ikhlas tidak jima' dengannya hingga dia siap.

Aku hanya ingin menciumnya tidak lebih tapi aku di tolak. Aku sakit hati tapi tidak bisa menyalahkan dirinya. Ini semua karena preman biadab itu juga Fatima.

Kebencian mengalir di dalam darahku. Aku berjanji tidak akan membuat dia sampai melukai bidadariku lagi. Seujung jari pun, setengah milimeter pun tidak akan pernah ku biarkan. Wanita murahan itu akan membayar perbuatannya kepada istriku. Aku janji itu.

"Ya, Mas. Aku akan siap-siap dulu," jawab Shiva.

"Alhamdulillah istriku ini masih Sudi berbicara denganku. Maafkanlah aku yang tidak bisa menerima kenyataan. Bukannya bulan madu yang indah aku malah mengajak dirimu kembali ke pesantren dengan segera. Mungkin saat ini hanya inilah yang membuat kita bisa saling menenangkan diri, terutama diriku," batinku.

Sesaat setelah selesai melaksanakan shalat ashar kami memutuskan untuk berangkat ke pesantren dengan ijin dari kedua orang tua kami. Kami masih belum bisa menjalani hari sebagai sepasang suami istri pada umumnya. Keadaan Shiva istriku membuat ini semua belum bisa terlaksana dengan semestinya tapi setidaknya dia sah menjadi milikku. Tunggulah aku sampai layak menjadi imammu sayang. Aku akan menunggumu menerima kehadiran diriku sebagai suamimu.

Aku menunggu saat dimana kita bisa berpelukan dan berciuman dengan mesra sebagai suami istri. Semoga tidak lama karena yang ku takutkan malah nanti aku menjadi impoten karena terlalu lama menunggu. Huhuhu meng-sedih sekali kalau itu sampai terjadi.

Tiga jam lamanya kami menempuh perjalanan. Sampai di pesantren kami memutuskan untuk langsung ke asrama masing-masing karena badan juga sudah pegal ingin rebahan. Shiva berpamitan kepadaku dan mencium tanganku sembari mengucapkan maaf karena telah menolakku lalu bergegas pergi menuju asramanya sendiri.

Amarahku rontok seketika. Rasa hangat di dada menyebar cepat. Aku tersenyum melihat punggung istriku yang telah pergi. Ku cium tanganku sendiri bekas bibir istriku. Aku akan menunggumu sayangku, itulah yang ada di benakku. Setelah itu aku bergegas ke asrama laki-laki, ke kamarku.

Ku rebahkan tubuhku yang remuk redam sembari sesekali mencium tanganku. Masih terasa betul kecupan istriku. Manis sekali. Ku dekatkan tanganku di dada dan kemudian lenyap ke dalam dunia mimpi bersama dengan bekas kecupan istriku yang membakar dadaku saat ini.

Tidaklah mudah menerima kenyataan pahit apalagi yang disebabkan oleh orang lain. Semoga kita tidak menjadikan diri kita picik hingga merugikan orang lain ataupun diri kita sendiri

Share this novel

Guest User
 


NovelPlus Premium

The best ads free experience