Hari ini hari yang kutunggu. Aku akan ke rumah Shiva dan bertemu dengan kedua orang tuanya. Aku akan melamarnya. Jantungku berdebar kencang seolah aku sedang ada dalam perlombaan maraton. Aku gugup terkadang tersenyum. Sudah seperti orang gila rasanya.
Aku menepuk kedua pipiku keras mencoba untuk tetap sadar. Aku tidak mau acara hari ini gagal hanya karena aku tidak bisa mengontrol emosiku yang tak karuan.
"Sadar Ja, jangan sampai orang tua Shiva menolakku hanya karena kamu terlihat seperti orang sakit jiwa," kataku ngomong sendiri.
Akhirnya setelah beberapa bulan menunggu hari libur kini telah sampailah diriku di hari yang kutunggu. Semoga orang tua Shiva menerima lamaranku jika tidak aku terpaksa harus mengikhlaskan Shiva pergi. Aku tidak mau jadi penghalang antara Shiva dan orang tuanya.
Biar bagaimanapun juga aku tidak sebanding dengan orang tuanya yang sudah melahirkan dan membesarkan dirinya menjadi gadis cantik yang penuh dengan harga diri tinggi. Dia juga baik. Dia mampu merasakan rasa sakit orang lain sehingga sebisa mungkin dia tidak akan melakukan apa yang bisa menyakiti orang tersebut. Benar-benar wanita pujaan ku.
Ah apa yang kupikirkan. Dia belum jadi milikku dan aku sudah berkhayal tentang bersama dirinya. Aku benar-benar jatuh hati kepada Shiva. Oh Shiva tolong katakan pada orang tuamu untuk tidak menolakku. Aku akan lakukan apa saja untuk bisa membahagiakan dirimu.
Aku melangkah layaknya berlari di atas awan, ringan. Setiap bangunan asrama kulewati begitu saja dengan senangnya. Ku lihat Fatima dari salah satu bangunan asrama memandangku penuh arti. Tak ku hiraukan jua. Aku sudah memilih dan pilihan ku bukanlah dia.
Aku terus beranjak pergi tanpa ku tahu ternyata Fatima mengejarku. Dia memelukku dari belakang, menangis. Dia memintaku menjadi miliknya. Dan jika aku tidak ingin berpoligami maka dia tidak apa-apa yang penting aku bersamanya.
Aku marah dengan ucapan dan tindakannya ini. Tak terasa aku membentaknya. Aku sangat kecewa melihat sikapnya. Sungguh wanita yang tidak tahu malu. Kulepaskan pelukannya tapi dia tidak mau. Dia bertahan di belakangku dan mencium tengkukku.
Aku meradang. Kulepaskan pelukannya secara paksa dan berbalik mendorongnya.
"Fatima cukup. Apa kamu sudah gila? Kamu yang mau berpoligami saja sudah membuatku jijik sekarang kamu bersikap seperti wanita murahan di depanku. Cukup Fatima. Aku tidak akan pernah memilih wanita sepertimu," bentakku pada Fatima.
Semua santri dan santriwati yang ada disekitar memperhatikan kami berdua dan mulai berghibah. Aku tidak peduli dan segera pergi meninggalkan Fatima yang terjatuh akibat ku dorong tadi.
Para santriwati yang baik hati datang menolong Fatima. Kulihat mereka menasehati Fatima untuk mengikhlaskan diriku bersama Shiva. Sayangnya Fatima tidak terima dan pergi dengan marah.
Sudahlah itu terserah dia. Orang tuaku dan Shiva sudah menunggu di depan gerbang pesantren. Kami sudah sepakat untuk pergi bersama. Aku senang juga malu. Dan Shiva juga demikian. Apakah ini berarti kami berjodoh? Semoga saja, amin.
Dari jauh tampak van hitam milik orang tuaku, di depannya berdiri beberapa orang. Mereka menunggu kedatangan ku. Satu diantaranya adalah Shiva. Orang yang sangat ingin kulihat wajahnya saat ini. Wajahnya cantik rupawan dengan senyum tipis dan malu-malu saat melihatku. Aku benar-benar merasa seperti jadi seorang raja karena tingkahnya itu.
"Assalamualaikum," sapaku pada semua.
"Waalaikum salam," jawab semuanya.
"Kok lama sih nak keluarnya? Shiva sudah menunggu dari tadi disini," ujar Bundaku tersayang.
"Iya Bun ada sedikit masalah tadi, maaf Shiva buat kamu menunggu lama," kataku asal.
Shiva tidak menjawab dengan kata, hanya senyum dan anggukkan yang iya berikan. Aku meleleh. Mungkin sebagai laki-laki aku terlalu feminim karena hanya dengan senyumannya saja aku sudah melayang. Ingin rasanya segera ku dekap dia di pelukanku tapi sayang BELUM MUHRIM, yah..
Van dikemudikan oleh ayahku dan aku duduk disampingnya. Bunda dan Shiva duduk di kursi belakang. Sesekali aku mencuri pandang padanya melalui kaca spion di depanku. Bunda yang memergoki ulahku hanya geleng-geleng geli. Apa Shiva juga memerhatikan diriku ya? Kalau benar malulah aku, tapi ku akui dia begitu cantik dan memikat hatiku.
Tak terasa van mulai bergerak melambat. Sepertinya sebentar lagi kami akan sampai di kediaman keluarga Shiva. Ini pertama kalinya aku ke rumah seorang gadis. Dan gilanya untuk pertama kalinya aku datang untuk melamarnya. Semoga jalanku dipermudah oleh Allah.
Jika dia benar-benar jodoh yang disiapkan untuk diriku insyaallah orang tua Shiva akan menerima niat baikku melamar putri mereka. Semoga tidak ada satu perkara apa pun yang menghalangi dan semoga jalanku mempersunting Shiva tidak terjal hingga menyakiti siapapun. Khususnya untuk Shiva. Aku melamarnya untuk bahagia bukan menyakiti dirinya. Om dan Tante calon mertuaku terimalah aku sebagai menantumu.
Pikiran ku melayang kemana-mana tanpa tahu ternyata kami sudah sampai didepan rumah klasik minimalis dengan cat krem dan tanaman yang jelas terawat dengan baik di halaman rumah. Inikah rumah bidadari yang ingin ku jadikan milikku?
Benar saja firasatku, Shiva mengucap salam di depan rumah dan dua orang paruh baya datang menghampiri dan memeluknya bahagia. Itu calon mertuaku. Kami dipersilahkan masuk dengan baik. Ayah dan ibu Shiva begitu ramah, aku merasa cukup lega. Aku takut belum-belum aku dan kedua orang tuaku akan diusir karena datang untuk mengambil bidadari yang mereka rawat sedari kecil itu.
"Assalamualaikum, Om dan Tante," sapaku sopan.
"Waalaikum salam, ini pasti laki-laki yang diceritakan oleh Shiva. Shiva banyak cerita tentang kamu sambil senyum-senyum," kata ibunda Shiva.
"Ibu, jangan bilang-bilang kan malu," kata Shiva setengah berbisik kepada ibunya agar tak terdengar olehku sayangnya aku masih dengar.
Aku tersenyum. Ini artinya Shiva juga mau bersamaku makanya dia sudah cerita terlebih dahulu tentang alasan kedatangan ku. Wah sungguh calon istriku yang baik. Dia mau mempermudah diriku mendapatkan restu orang tuanya. Alamat SAH ini namanya. Sudah tentukan saja tanggalnya Ayah, Bunda, Om dan Tante aku siap menjadi imam seorang Shiva Kharisma Putri. Sudah tidak sabar lagi.
Proses lamaran pun berlangsung khidmat. Tanpa ada yang mempersulit dan dipersulit. Kedua orang tuaku dan orang tua Shiva sepakat untuk menikahkan kami dua tahun lagi saat kami berdua lulus SMA. Aku diberi wejangan untuk bekerja dengan baik untuk menafkahi istriku kelak. Aku menurut toh sejatinya aku juga sudah bekerja. Biarpun aku di pesantren aku memiliki usaha rumah makan alias cafe yang kini sudah ada beberapa cabang di beberapa daerah.
Aku termasuk orang yang suka bekerja dan kebetulan aku diberi jalan oleh Allah melalui orang-orang terdekatku hingga aku bisa sekolah juga bekerja. Mungkin ini alasannya, karena aku akan menafkahi seorang wanita di usia kami yang masih muda, tapi semoga memang ini jalan terbaik baik kami berdua untuk jadi keluarga yang sakinah mawadah warahmah.
Sebuah pernikahan seharusnya dilandasi oleh keikhlasan dari kedua belah pihak tidak hanya calon pengantin tapi juga oleh dua keluarga dimana mereka akan bersatu menjadi satu kesatuan
Share this novel