Lamaran sudah terucap. Hari dan tanggal telah ditetapkan. Persiapan pernikahan sudah ku tunaikan dalam dua tahun ini. Tinggal menunggu hari yang ditunggu-tunggu datang. Menunggu itu memang sangat menyebalkan.
Ku putuskan keluar jalan-jalan ketimbang melihat jam yang berjalan laksana siput sawah yang baru bangun dari hibernasi. Lamaaaa sekali.
Ku langkahkan kakiku tanpa arah menyusuri seluruh penjuru pesantren yang jujur saja belum pernah kulakukan sebelumnya. Hari-hari ku di pesantren hanya sebatas kelas, asrama dan juga masjid. Aku belum menjelajah dengan teliti tempatku menimba ilmu ini. Apalagi setelah lamaranku diterima oleh orang tua Shiva aku jadi jarang jalan-jalan. Hari-hari ku lalui dengan belajar dan bekerja untuk bekal pernikahan dengan pujaan hati ku itu.
Setiap sudut demi sudut ku datangi. Entah sudut yang keberapa hingga aku menangkap sesosok wanita yang kukenal, Fatima. Dia berbicara dengan seseorang melalui hp. Ckckck tidak kusangka selain murahan dia juga melanggar peraturan. Ku dekati dia pelan-pelan, mencuri dengar tentang pembicaraannya dengan entah siapa itu.
"Jadi begitu. Apa kamu mengerti. Dia milikmu. Lakukan apa pun yang kamu mau padanya. Dengan siapa saja kamu melakukannya aku tidak peduli," katanya menutup pembicaraan.
Ada apa ini. Siapa yang Fatima maksud dengan "DIA" lalu siapa yang Fatima ajak bicara. Aku sangat penasaran sehingga ku pantau dia lebih dekat lagi. Fatima masih terlihat sangat kesal. Lalu panggilan baru masuk dan dia menerima panggilan itu.
"Kamu sudah menemukan dia? Lalu tunggu apa lagi? Lakukan," katanya sambil membentak.
Fatima menutup panggilan dan berbicara sendiri.
"Rasakan kamu Shiva itulah balasan karena telah merebut Raja dariku," keluhnya.
Aku terkejut mendengarnya menyebut nama Shiva. Aku mundur dan berbalik meninggalkan Fatima. Aku berlari mencari Shiva ke asramanya. Ku temukan temannya dan ia berkata Shiva sedang pergi kepasar untuk belanja.
Perasaanku tidak enak. Segera ku kejar Shiva ke arah pasar. Aku berdoa agar tidak terjadi apa-apa padanya. Ya Allah selamatkan dia batinku terus menerus. Aku berlari. Setiap sudut ku selidik dengan teliti. Nafasku semakin pendek. Aku mulai putus asa. Aku takut terjadi sesuatu pada Shiva karena ulah Fatima.
Lima menit, sepuluh menit belum juga kutemukan keberadaan Shiva. Hingga waktu menunjukkan tiga puluh menit lebih kaki ku berhenti di sebuah gang kecil. Ada yang aneh. Ada banyak tumpukan sampah yang tidak biasa. Ku dekati tumpukan itu. Aku menemukan Shiva.
Aku terjatuh lemas melihat kondisi Shiva. Dia pingsan dalam keadaan telanjang dengan pakaian robek karena dirobek dengan paksa. Tubuhnya penuh air mani. Darah segar di kemaluannya. Dia DIPERKOSA. Karena menerima diriku.
Hatiku hancur. Sepersekian detik aku terdiam. Terpuruk melihat pujaan hati ku dengan kondisi menyedihkan seperti ini. Dan semua itu karena diriku. Karena menerimaku. Ya Allah apakah aku telah arogan jika menginginkan wanita yang terhormat untuk mendampingi diriku hingga akhirnya justru wanita terhormat ku yang telah direnggut kehormatannya justru karena diriku. Apakah ini karma kuya Allah? Jika ia maafkanlah hambamu yang hina ini.
Shiva terbangun. Dia memandangku dengan tatapan kosong. Dia linglung. Aku mendekatinya hendak membatunya tapi tiba-tiba dia berteriak-teriak. Memukul-mukul kearah ku. Sepertinya dia tidak sadar bahwa itu aku. Dia ketakutan dan menangis. Aku ikut menangis. Tampak jelas dia baru saja mengalami sesuatu yang sangat amat buruk dan membuatnya ketakutan. Dia trauma.
Aku memeluknya erat sekalipun dia masih memukuli diriku. Perlahan dia mulai tenang kemudian menangis. Aku teriris melihat keadaannya.
"Kita pulang ya Shiva, aku akan mengantarmu. Aku akan menjagamu. Kamu akan baik-baik saja," kataku sambil menangis dengan tetap mendekapnya.
Shiva akhirnya tenang tapi tetap sama perti tadi. Dia linglung. Aku memakaikan pakaiannya dan memakaikan jaketku padanya untuk menutupi robekan di bajunya itu. Kupasangkan hijabnya sekedar membalut kepalanya. Ku angkat dia berdiri dan ku bantu dia berjalan.
Aku membawanya pulang. Bukan ke pesantren melainkan ke rumah ku. Ayah dan Bundaku melihat kedatangan ku dan Shiva segera datang membantu. Mereka kaget melihat keadaan Shiva. Aku memohon pada Bunda untuk membantu Shiva membersihkan diri dan memberikan pakaian yang layak untuknya.
Bunda mengangguk dan membawa Shiva. Ketika Shiva telah benar-benar dibawa Bunda aku terduduk lemas, menangis sejadinya. Ayah yang melihatku segera membopong tubuhku ke dalam rumah. Mendudukkan aku si sofa dan menenangkan diriku.
"Ada apa ini, Ja? Apa yang terjadi?" kata ayah.
"Shiva diperkosa, Yah," kataku sesegukkan.
"Diperkosa sama siapa Ja? Kok kamu bisa tau dan kok bisa kamu sama Shiva?" kata ayah menyelidiki.
Dari dalam Bunda ku keluar. Beliau menghampiri ku dan bertanya hal yang sama dengan ayah. Ku jelaskan apa yang ku tahu dan ku dengar dari menguping Fatima.
"Astaghfirullah, tega sekali Fatima bertindak seperti itu," ujar Bundaku.
"Keputusanmu tepat tidak memilih dia Ja. Sekarang bagaimana kita menolong Shiva?" kata Ayah.
"Raja tetap akan menikahi Shiva, Ayah, Bunda. Ini bukan kesalahannya juga bukan maunya seperti ini," kataku mantap.
"Ya, Ja. Jangan tinggalkan Shiva seperti ini. Biar bagaimanapun kamu juga ada andil terhadap masalah yang menimpa Shiva," lanjut Bunda.
"Ayah setuju. Kita majukan saja pernikahan kalian. Demi kehormatan dan kesehatan mental Shiva," sambung Ayah.
Kami sekeluarga sepakat untuk tetap melanjutkan pernikahan aku dan Shiva. Setelah menjelaskan yang terjadi kepada kedua orang tua Shiva. Mereka meradang mencoba melaporkan perbuatan Fatima ke polisi tapi ku cegah.
"Bapak, Ibu tolong tidak usah mempermasalahkan pelakunya yang terpenting sekarang adalah Shiva. Dia sangat trauma dan jika masalah ini diperpanjang maka ini akan membuat dia semakin trauma karena ini aib untuk dirinya," kataku mencoba meyakinkan.
Yang ku mau adalah Shiva bisa kembali seperti semula. Aku tidak peduli dengan Fatima. Cintaku tidak rapuh dan akan ku buktikan itu pada Shiva. Akan ku buktikan pada Fatima apapun yang dia lakukan tidak akan menghalangiku untuk menjadikan Shiva muhrim ku.
Dengan segala daya kami sekeluarga juga keluarga dari Shiva menghubungi setiap penerima undangan yang telah kami berikan undangan. Dan untuk pesantrenku kami lewati begitu saja. Kami hanya memberi tahu lewat telepon dan itu juga hanya pemilik pesantren yang kami undang yang lainnya tidak. Kami tidak mau si ular betina Fatima datang dan merusak pernikahanku dan menyakiti Shiva.
Sehari berikutnya aku dan Shiva bersanding di pelaminan. Ku ucap ijab qobul di depan penghulu dan para saksi juga para undangan seadanya. Shiva masih terlihat linglung. Hingga akhirnya penghulu dan saksi mengatakan sah dan memberikan aba-aba bahwa aku boleh mencium kening Shiva.
Ku kecup keningnya perlahan. Aku tidak ingin membuat dirinya mengira aku akan berbuat jahat seperti saat pertama kali kutemukan dia setelah musibah yang menimpa dirinya. Dia mendongak menatap wajahku. Aku tersenyum dan berkata bahwa semua akan baik-baik saja. Shiva mengangguk, kali ini sebagai istriku yang sah. Alhamdulillah.
Cinta terkadang membuat seseorang lupa akan dunia dan rela melakukan apapun sekalipun itu tidak benar. Berhati-hatilah jika memilih. Jangan salah memilih sesuatu yang salah.
Share this novel