Bab Sembilan Belas

Romance Completed 43167

“NAOMI, bagaimana menurutmu?”

Naomi tersentak dari lamunannya dan mengangkat wajah. “Hm?” Chris mengangkat alis dan menyesap teh Earl Grey-nya. “Bagaimana menurutmu?” tanyanya sekali lagi.

“Tentang apa?”

“Oh, bagus. Dia tidak mendengarkan kita dari tadi,” kata Julie sambil memutar bola matanya. “Apa yang kaulamunkan pagi-pagi begini, Naomi?”

Naomi mengangkat bahu. “Tidak ada.”

“Dia selalu begini kalau sudah berhari-hari tidak bertemu dengan Danny. Kau ingat sewaktu Danny pergi ke Lake District? Dia juga seperti ini,” kata Chris pada Julie. “Ngomong-ngomong sudah beberapa hari ini Danny tidak kelihatan. Ke mana dia?”

Naomi menyesap teh herbalnya dan memandang ke luar jendela dapur.

Memang sudah beberapa hari ini ia tidak bertemu dengan Danny. Tepatnya sejak

Naomi mengucapkan kata-kata terkutuk itu. Sampai sekarang Naomi belum bisa melupakan ekspresi wajah Danny saat itu, seolah-olah kata-kata Naomi melumpuhkannya seketika. Dan sampai sekarang perasaan bersalah itu masih mengimpit dadanya, membuatnya tidak tenang, tidak bisa tidur, tidak bisa makan, dan nyaris tidak bisa bernapas.

Ia ingin menelepon Danny untuk menjelaskan bahwa maksud kata-katanya waktu itu tidak seburuk yang terdengar, namun ia selalu mengurungkan niatnya di saat-saat terakhir. Ia takut Danny masih marah padanya. Ia takut Danny menolak berbicara dengannya. Tapi kalau dipikir-pikir, bukankah keadaan sekarang ini juga sudah seperti itu? Kata-katanya yang gegabah itu telah melukai perasaan Danny dan sekarang laki-laki itu tidka pernah menghubunginya lagi. Gagasan itu membuat Naomi semakin tertekan.

“Naomi, kau tahu Danny pergi ke mana?”

Naomi tersentak lagi, tetapi ia terselamatkan dari keharusan menjawab pertanyaan Julie ketika bel pintu flat mereka berbunyi. Julie bangkit dari tempat duduknya dan pergi membuka pintu. Tidak lama kemudian ia masuk kembali ke dapur bersama Miho Nakajima.

“Hai, teman-teman. Aku tahu aku datang pada waktu yang tepat. Aku sudah mencium aroma telur dan bacon dari depan pintu. Asal kalian tahu, aku belum sempat sarapan dan sekarang perutku benar-benar keroncongan,” kata Miho riang, benar-benar bertentangan dengan apa yang dirasakan Naomi saat itu. Chris mengibaskan tangan. “Duduk dan makanlah. Aku tidak pernah menolak memberikan makanan kepada gadis-gadis kurus yang mengeluh dirinya kelaparan.”

“Jadi apa yang sedang kalian bicarakan?” tanya Miho sambil menuang secangkir kopi untuk dirinya sendiri.

“Tentang Naomi yang sering melamun dan Danny yang tidak terlihat akhirakhir ini,” sahut Chris ringan.

Miho mengangguk-angguk dan menyesap kopinya. “Benar juga. Waktu itu dia berkata padaku ada sedikit pekerjaan di Dublin.”

“Jadi sekarang ini Danny ada di Dublin? Pantas saja,” kata Julie, lalu menoleh ke arah Naomi. “Kau tidak pernah bilang.”

Karena aku sendiri juga tidak tahu. Naomi menggigit bibir dan menoleh menatap Miho. Danny pergi ke Dublin? Kenapa Miho bisa tahu itu?

“Oh, ya, Naomi, aku datang ke sini untuk meminta bantuanmu.” Suara Miho menembus pikiran Naomi yang kusut. “Ada satu artikel yang ingin kutampilkan di majalahku dan kupikir kau bisa...”

“Maaf, Miho,” sela Naomi cepat, nyaris tanpa berpikir. “Kurasa aku tidak bisa membantumu kali ini.”

Miho terlihat agak kaget. “Oh,” gumamnya. “Kau sibuk sekali?” “Ya.” Naomi tersenyum sekilas, menghabiskan tehnya dan berdiri. “Malah sekarang aku harus pergi kalau tidak mau diomeli fotograferku karena datang terlambat.”

“Kau punya jadwal pemotretan hari ini? Bukankah tadi kau bilang...” “Aku tahu jadwalku sendiri,” Naomi memotong kata-kata Chris dengan ketus dan menatap temannya dengan mata disipitkan. “Dan aku sangat sibuk hari ini.” Chris mengangkat kedua tangannya tanda menyerah. “Oh, baiklah, lass. Simpan cakarmu.”

Setelah menggumamkan selamat tinggal yang tidak jelas, Naomi meraih jaket dan tasnya dari kamar, lalu bergegas meninggalkan flatnya yang mulai terasa menyesakkan. Di luar, ia mendongak menatap langit yang tumben-tumbennya cerah—bertentangan dengan suasana hatinya—dan menarik napas dalam-dalam, namun usahanya itu tidak berhasil melenyapkan beban dalam dadanya. Juga tidak berhasil membuat suasana hatinya membaik.

Sebenarnya Naomi tidak punya jadwal kerja pagi ini, namun ia terlalu resah untuk duduk di rumah tanpa melakukan apa-apa, terlebih lagi setelah Miho datang dan berkata bahwa Danny sedang berada di Dublin. Naomi mengembuskan napas dengan keras. Ia harus menenangkan diri. Ia harus pergi ke tempat yang bisa membuatnya tenang. Mungkin ia bisa ke salon. Atau ke Harrod?s. Ya, berbelanja selalu berhasil membuatnya gembira.

Namun anehnya, ia akhirnya tidak jadi pergi ke salon atau ke Harrod?s. Tanpa benar-benar disadarinya, langkah kakinya membawanya kembali ke taman kecil yang pernah dikunjunginya bersama Danny. Tempat ia dan Danny pernah makan fish and chips paling enak di London. Tempat yang justru selalu mengingatkannya pada Danny Jo. Benar-benar menyedihkan.

Taman itu sudah dipenuhi bunga, tepat seperti yang pernah dikatakan Danny, namun Naomi hampir tidak memerhatikan keadaan di sekelilingnya. Ia hanya menyusuri jalan setapak di samping kolam dengan kepala tertunduk dan memikirkan... memikirkan... Astaga, ada apa dengannya? Naomi meringis dan memukul kepalanya sendiri. “Bodoh. Jangan terus memikirkan orang itu.” Tetapi kalau ia memang tidak mau memikirkan orang itu, kalau ia memang tidak seharusnya memikirkan Danny Jo, kenapa di antara semua tempat yang bisa dikunjunginya di London ia justru datang ke sini? Ia benar-benar menyedihkan.

Benar-benar...

Naomi terkesiap keras ketika lengannya mendadak dicengkeram, disusul suara rendah dan datar yang berkata, “Kau mau terjun ke dalam kolam?” Naomi mengerjap dan baru menyadari bahwa ia sudah berjalan menjauh dari jalan setapak dan malah mengarah ke kolam. Apakah ia terlalu asyik melamun sampai tidak memerhatikan jalan di depannya? Lalu Naomi tertegun. Tunggu... Suara itu... Suara itu! Ia menoleh dengan cepat dan matanya langsung bersirobok dengan mata gelap Danny Jo yang menatapnya dengan muram.

* * *

Danny menyandarkan punggung ke sandaran bangku taman dan mendongakkan wajahnya ke arah langit London yang cerah. Mengherankan sekali. Cuaca di London selalu bertentangan dengan suasana hatinya. Danny mengembuskan napas dan menundukkan kepalanya kembali.

Sudah beberapa hari berlalu sejak ia terakhir kali bertemu dengan Naomi. Ia juga tidak berusaha menemui gadis itu. Ia tahu Naomi butuh waktu untuk menenangkan diri dan berpikir. Danny juga begitu. Namun sampai sekarang ia tidak berhasil menyingkirkan perasaan bersalah dari dalam hatinya. Ia juga tidak berhasil mengusir bayangan Naomi dari benaknya, terutama ketika Naomi berkata bahwa ia selalu teringat pada orang yang telah menyakitinya setiap kali melihat Danny.

Kenyataan itu membuat Danny frustrasi. Ia pernah berjanji pada diri sendiri bahwa ia akan melakukan apa pun demi melindungi dan menjauhkan Naomi dari rasa sakit. Tetapi bagaimana kalau orang yang selalu membuat Naomi menderita adalah Danny sendiri? Apa yang bisa dilakukan Danny kalau begitu? Sebelum ia sempat menjawab pertanyaan itu, ponselnya berbunyi. Danny mengembuskan napas dan mengeluarkan ponselnya yang terdengar memekakkan di tengah-tengah taman sunyi itu.

“Halo?”

“In-Ho?” Suara Anna Jo terdengar agak resah di ujung sana. “Kau sedang di mana? Sibuk?”

“Oh, Nuna. Tidak, aku sedang tidak sibuk. Ada apa?”

“Dengar, aku tidak ingin membuatmu khawatir, tapi kurasa kau harus tahu.”

Danny mengerutkan kening. “Ada apa? Ayah dan Ibu...?”

“Mereka baik-baik saja, In-Ho. Jangan khawatir. Ini bukan soal mereka,” kata Anna cepat. Lalu ia terdiam sejenak, ragu. “Tapi aku tidak tahu bagaimana reaksi mereka kalau mereka mendengar berita itu.”

“Berita apa?”

Anna Jo menarik napas. “Kudengar Kim Dong-Min baru kembali dari London.

Apakah kau bertemu dengannya di London?”

“Ya.”

“Apakah dia mengatakan sesuatu kepadamu? Tentang Seung-Ho Oppa?”

Danny tidak menjawab, malah balik bertanya, “Apa yang dikatakannya tentang

Hyong?”

Kerutan di kening Danny semakin dalam dan wajahnya berubah muram sementara ia mendengarkan cerita kakak perempuannya. Beberapa menit kemudian, ia berkata, “Aku tahu, Nuna. Jangan khawatir. Aku akan membereskannya.”

Danny menutup dan mengembalikan ponselnya ke saku dengan pelan. Berita yang disampaikan kakak perempuannya tadi tidak benar-benar membuatnya terkejut, namun tidak berarti ia memperkirakan hal itu akan terjadi. Danny menarik napas dan mengembuskannya dengan keras. Ia harus pulang ke Seoul. Tetapi sebelum itu ia harus menghubungi para manajernya. Masalah ini harus segera diatasi sebelum bertambah runyam.

Danny baru saja berdiri dari bangku dan hendak berbalik pergi ketika sudut matanya menatap sosok seorang wanita di jalan setapak tidak jauh darinya. Danny menoleh. Dugaannya benar. Yang sedang berjalan menyusuri jalan setapak di tepi kolam itu memang Naomi Ishida. Sepertinya gadis itu sedang melamun karena ia melangkah dengan pelan dan dengan kepala tertunduk. Dan mengarah ke kolam.

Astaga.

Dalam beberapa langkah, Danny sudah tiba di samping Naomi dan mencengkeram lengannya. “Kau mau terjun ke dalam kolam?”

Naomi tersentak kaget dan mengangkat wajah. Matanya mengerjap satu kali, lalu melebar sementara otaknya mencerna siapa yang berdiri di hadapannya. “Danny,” gumamnya pelan, lalu memandang sekelilingnya dengan bingung. Setelah memastikan Naomi berdiri agak jauh dari kolam, Danny melepaskan cengkeramannya dan menjejalkan kedua tangan ke dalam saku celana. Selama beberapa detik mereka hanya berdiri dan berpandangan tanpa berkata apa-apa. Akhirnya Danny membuka suara. “Aku tidak menyangka bisa bertemu denganmu di sini.”

Naomi mengangguk dan berdeham. “Aku juga. Kudengar kau pergi ke Dublin.”

“Aku kembali ke London kemarin sore.”

“Oh, begitu.” Ia menatap Danny sejenak, lalu dengan resah memalingkan wajah ke arah pepohonan di sebelah kirinya dan bergumam, “Maafkan aku.”

“Untuk apa?”

Naomi menggigit bibir sejenak dan kembali menatap Danny. “Karena katakataku waktu itu. Aku tidak bermaksud... Aku hanya...” Naomi menghentikan katakatanya yang kacau dan menarik napas panjang untuk mengendalikan diri. “Waktu itu aku sedang tidak berpikir jernih. Maafkan aku.”

Danny mendesah dan tersenyum tipis. “Tidak usah meminta maaf. Kau tidak bersalah.”

Naomi menunduk sejenak. Ketika ia mengangkat wajah lagi, Danny sudah duduk di salah satu bangku taman di dekat kolam. Naomi menghampiri bangku itu dan duduk di samping Danny. Selama beberapa saat mereka hanya duduk di sana tanpa saling bicara. Suara yang terdengar hanyalah suara gemeresik dedaunan yang ditiup angin dan suara lalu lintas di kejauhan. “Aku akan kembali ke Korea,” kata Danny tiba-tiba.

Terkejut, Naomi mengangkat wajah dan menoleh menatap Danny. “Kenapa?” Danny tersenyum samar, tidak langsung menjawab. Ia tidak mungkin mengatakan alasan yang sebenarnya kepada Naomi tanpa membuat gadis itu khawatir. “Ada sedikit masalah keluarga,” katanya setelah berpikir sejenak. “Masalah keluarga?”

“Mm,” gumam Danny, lalu menarik napas dalam-dalam. “Karena itu aku harus pulang lebih cepat daripada yang kurencanakan.”

Naomi memalingkan wajah dan menggigit bibir. “Kapan?” tanyanya.

“Secepatnya.”

Naomi menatapnya dengan heran. Ia membuka mulut untuk mengatakan sesuatu, tetapi tidak jadi.

“Aku bukannya ingin menghindarimu, Naomi,” kata Danny lembut, seolaholah bisa membaca pikiran Naomi. “Aku tidak akan bisa menghindarimu walaupun aku ingin.”

Naomi menatap Danny tidak mengerti.

Danny membuka mulut hendak menjelaskan, namun mengurungkan niatnya. Saat ini bukan saat yang tepat untuk menyatakan perasaannya. Naomi pasti akan mundur teratur begitu mendengarnya. Bahkan mungkin akan menarik diri dan menghindari Danny selamanya. Kalau itu terjadi, Danny tidak yakin ia bisa mengatasinya.

Tetapi saat ini ia sangat ingin mengatakan apa yang dirasakannya, apa yang ada dalam hatinya. Danny menoleh ke arah Naomi. “Ada sesuatu yang ingin kukatakan padamu sejak dulu,” katanya. Lalu ia tersenyum. “Sampai sekarang aku belum mengatakannya karena... yah, karena berbagai alasan. Dan alasan utamanya adalah karena aku takut.”

Naomi masih tidak mengerti, namun ia mendapat dirinya menahan napas mendengar Danny yang berbicara dengan suara yang rendah dan pelan. “Kalau aku mengatakannya, reaksi apa yang akan kauberikan? Apakah kau akan menerima pengakuanku? Apakah kau akan percaya padaku? Apakah kau masih akan menatapku seperti ini? Tersenyum padaku seperti ini? Atau apakah justru kau akan menjauh dariku? Meninggalkanku?” Saat itu Danny menatap mata Naomi menarik napas panjang. “Tapi aku tahu aku harus mengatakannya padamu. Aku tidak mungkin menyimpannya selamanya. Entah bagaimana reaksimu nanti setelah mendengarnya, aku hanya berharap satu hal padamu.”

Menatap mata Danny membuat Naomi tidak bisa berpikir. Sesuatu dalam mata Danny membuat Naomi berdebar-debar, membuat tenggorokannya tercekat,d an membuat hatinya terasa nyeri.

“Jangan pergi dariku. Tetaplah di sisiku.”

Naomi tidak bisa mengalihkan pandangan dari mata Danny. Ia masih tidak bisa berpikir. Ia masih tidak bisa bersuara. Ia masih tidak bisa mendengar apa pun selain suara Danny. Sedetik kemudian ia menyadari dirinya masih menahan napas menunggu kata-kata Danny selanjutnya.

Namun ternyata Danny hanya tersenyum kecil penuh rahasia dan bergumam lirih, “Karena itu... maukah kau menungguku?”

Naomi tertegun. Danny sedang menatapnya dengan penuh harap. Matanya yang gelap seolah-olah bisa melihat ke dalam jiwa Naomi. Saat itulah pertama kalinya Naomi mengerti apa yang dimaksud dengan tenggelam dalam mata seseorang. Tatapan Danny membuatnya sulit bernapas, seolah-olah dunia mengecil di sekeliling mereka, menyelubungi mereka.

“Aku tidak akan menuntut banyak. Aku juga tidak akan membebanimu. Aku hanya memintamu menunggu sampai aku menyelesaikan masalahku. Sampai saat itu tiba, jangan pergi ke mana-mana. Tetaplah bersamaku,” pinta Danny.

“Danny, aku...”

“Pada saat kita bertemu lagi nanti, kalau perasaanmu masih belum berubah, kalau kau mashi merasa sulit percaya padaku, kalau kau tidak mau melihatku lagi, tidak mau berurusan denganku lagi, kau hanya perlu mengatakannya dan aku akan menuruti apa pun yang kaukatakan.

Naomi menatap Danny sesaat, lalu menunduk. Kalau Danny menatapnya

seperti itu, Naomi merasa hatinya melemah. Dan sebelum ia benar-benar menyadari apa yang dilakukannya, ia mengangguk.

Share this novel

Guest User
 


NovelPlus Premium

The best ads free experience