Bab Dua Puluh Lima

Romance Completed 43167

KETIKA melihat Danny berdiri di ambang pintu, napas Naomi langsung tercekat. Ia hanya bisa mematung menatap Danny. Ia bahkan tidak sadar dirinya memanggil nama Danny.

Danny masih terlihat seperti dulu, walaupun gaya rambutnya kini agak berbeda dan wajahnya terlihat pucat dan lelah. Naomi tidak tahu apa yang sedang dipikirkan Danny karena ia tidak bisa membaca apa yang tersirat di balik mata gelap yang menatapnya dengan tajam itu.

“Danny,” sapa Yoon ceria. “Lihatlah siapa di sini. Kau masih ingat pada Naomi, bukan?”

Suara Yoon seolah-olah menyadarkan Danny. Ia tersenyum samar dan bergumam, “Ya, aku ingat.”

“Menurutku kita harus minum-minum bersama. Untuk mengenang masa lalu

dan merayakan pertemuan kita kembali. Mungkin setelah sesi pemotretan ini?

Bagaimana menurut kalian?” tanya Yoon penuh semangat.

Baik Danny maupun Naomi tidak menjawab. Mereka hanya bertatapan. Lalu Danny menoleh ke arah Yoon dan berkata, “Nuna, maafkan aku, tapi bisakah Nuna meninggalkan kami berdua sebentar?”

“Oh.” Yoon mengerjap bingung. Ia menatap Danny, lalu beralih kepada Naomi. “Tidak apa-apa, Onni,” gumam Naomi.

Sebelah alis Danny terangkat mendengar Naomi berbicara dalam bahasa Korea. Setelah Yoon keluar, ruang rias itu pun diselimuti keheningan yang menegangkan. Setidaknya menurut Naomi. Selama beberapa detik—yang terasa seperti beberapa menit—tidak ada yang bersuara. Sampai sekarang Naomi sama sekali tidak tahu apa yang akan dikatakannya kalau ia sudah bertemu dengan Danny. Otaknya sama sekali tidak bisa berpikir.

“Jadi kau bisa berbahasa Korea,” kata Danny tiba-tiba. Dan ia mengatakannya dalam bahasa Korea.

Naomi tersentak dan mengangkat wajah. “Ya.” Hening lagi.

“Jadi bagaimana kabarmu?”

“Bagaimana kabarmu?”

Mereka berdua mengatakannya bersamaan dan rasanya aneh. Naomi tidak tahu kenapa mereka berubah menjadi seperti ini. Sejak kapan mereka saling bersikap canggung? Kenapa Danny berubah pendiam seperti ini? Apakah dua tahun memang sudah terlalu lama? Apakah segalanya memang sudah berubah? “Aku baik-baik saja,” kata Naomi, menjawab pertanyaan Danny lebih dulu.

“Dan kau sendiri?”

Danny menghela napas dalam-dalam dan menunduk sejenak. Lalu ia mengangkat wajah dan menatap Naomi. “Aku... aku senang kau baik-baik saja,” katanya singkat, tidak menjawab pertanyaan Naomi. “Kurasa sebaiknya aku membiarkanmu bersiap-siap. Aku juga harus bersiap-siap. Kita harus bekerja.” Naomi mengerjap kaget ketika Danny langsung berbalik dan berjalan ke arah pintu yang ditutup ketika Yoon keluar tadi. Begitu saja? Setelah dua tahun berlalu hanya itu yang ingin dikatakan Danny kepadanya?

Danny membuka pintu dengan gerakan cepat, mengagetkan dua oran gyang sedang berdiri di balik pintu. Yoon dan Anna Jo melompat mundur dan terlihat salah tingkah. Jelas sekali mereka baru tertangkap basah karena menguping. Danny benar-benar akan pergi tanpa berkata apa-apa. Tidak, Naomi tidak bisa membiarkannya. Kalau tidak sekarang, tidak akan ada lagi kesempatan lain. Dan sebelum Naomi sempat berpikir lebih jauh, ia langsung berseru, “Apakah hanya itu yang ingin kaukatakan padaku?” Ia tidak bisa membiarkan Danny pergi begitu saja. Ia tidak tahu kenapa Danny bersikap seperti itu, tetapi ia tidak akan membiarkannya. “Hanya itu?”

Sejenak Danny masih berdiri di ambang pintu, memunggungi Naomi, menghadap Anna Jo dan Yoon yang masih berdiri di tempat walaupun mereka berdua tidak berani memandang wajah Danny. Lalu dengan satu gerakan Danny menutup pintu kembali dan berbalik menghadap Naomi.

“Tentu saja tidak,” cetus Danny. Ia berjalan menjauhi pintu dan menghampiri Naomi. “Terlalu banyak yang ingin kukatakan padamu sampai aku tidak tahu harus memulai dari mana.”

“Aku bisa menunggu sementara kau berpikir,” kata Naomi. Danny mengacak-acak rambut dengan tangan, lalu berkacak pinggang, menunduk sebentar untuk mengendalikan diri. “Selama ini aku menunggu karena kupikir kau butuh waktu,” kata Danny dengan suara rendah. “Kukira aku sudah membuat keputusan yang benar. Tidak, aku yakin aku sudah membuat keputusan yang benar dengan membiarkanmu pergi. Kau memang butuh waktu untuk berpikir. Dan kupikir pada saatnya nanti, kalau kau tidak bisa datang padaku, aku yang akan pergi mencarimu. Tapi sekarang aku bertanya-tanya apakah aku sudah menunggu terlalu lama. Apakah seharusnya aku tidak menunggu sampai dua tahun baru pergi mencarimu?”

Naomi tidak berkata apa-apa. Ia sama sekali tidak mengerti apa yang sedang Danny bicarakan.

Danny mengembuskan napas dengan keras. “Katakan padaku, apa yang dimilikinya yang tidak kumiliki?” Alis Naoi berkerut bingung. “Apa? Siapa?”

“Laki-laki itu, Naomi,” cetus Danny sambil mengibaskan sebelah tangan dengan tidak sabar. “Kenapa kau memilih dia? Dia... oh, sialan. Lupakan saja kata-kataku tadi. Aku hanya bicara sembarangan.”

Danny berbalik dan berjalan dengan langkah lebar ke pintu. Dan ketika kali ini ia membuka pintu dengan satu gerakan cepat, bukan hanya kakaknya dan Yoon yang ada di balik pintu, tetapi juga beberapa staf lain. Mereka semua serentak terkesiap dan melompat mundur ketika Danny tiba-tiba muncul di hadapan mereka dengan wajah menakutkan.

Naomi sama sekali tidak mengerti apa yang dibicarakan Danny tadi. Laki-laki mana? Siapa? Apa Danny sudah gila? Kekesalan Naomi pun terbit. “Kenapa kau marah-marah?” serunya kepada Danny. “Sebenarnya apa yang sedang kaubicarakan? Laki-laki mana yang kaumaksud? Aku benar-benar tidak mengerti. Bicaralah yang jelas.”

Sekali lagi Danny membanting pintu di hadapan semua orang yang berusaha menguping itu dan berbalik menghadap Naomi. “Jangan pura-pura tidak mengerti, Naomi. Kau tahu jelas siapa yang kumaksud. Aku melihat kalian berdua dengan mata kepalaku sendiri. Apakah kau ingin aku menjelaskan setiap detailnya?” Naomi membalas tatapan Danny dengan mata menyala-nyala. “Ya,” katanya keras. “Jelaskan padaku karena aku tidak mengerti apa yang sedang kauocehkan.” “Minggu lalu aku pergi ke Tokyo untuk mencarimu,” kata Danny. “Dan ketika aku tiba di gedung apartemenmu, aku melihatmu bersama seorang laki-laki. Dan kalian berdua...”

“Kau datang ke apartemenku?” sela Naomi kaget. “Dari mana kau tahu tempat tinggalku?”

“Chris yang memberitahuku. Tapi...”

“Chris? Chris Scott?”

“Ya, Chris. Tapi bukan itu intinya. Aku melihatmu keluar dari gedung

apartemenmu bersama seorang laki-laki dan... dan kalian terlihat... terlihat... akrab.” Alis Naomi terangkat. “Apa? Aku tidak merasa pernah keluar dari apartemen bersama laki-laki mana pun dan terlihat akrab seperti istilahmu itu,” bantah Naomi.

“Lagi pula apa maksudmu dengan akrab?”

Danny mengernyit, seolah-olah kenangan yang berkelebat dalam benaknya sama sekali bukan sesuatu yang menyenangkan. “Kau benar-benar ingin aku menggambarkannya?” tanyanya.

“Ya, karena aku yakin aku jelas tidak pernah melakukan apa yang kaukatakan itu. Itu hanya berarti satu hal: Kau salah lihat.”

“Aku melihat dengan mata kepalaku sendiri, Naomi,” kata Danny sambil menjejalkan kedua tangan ke saku celananya dengan sikap frustrasi. “Aku bisa mengenalimu di mana saja. Dan aku melihatmu di sana. Tersenyum pada laki-laki itu dan menggandeng tangannya seolah-olah...”

“Itu bukan aku,” sela Naomi sambil melipat tangan di depan dada. Sungguh, Danny sudah gila. Itu satu-satunya penjelasan untuk ocehannya yang tidak ada ujung-pangkalnya ini.

Danny mendesah kesal. “Bukan kau? Kalau yang kulihat itu bukan kau, lalu siapa? Memangnya kau punya saudara kem...”

Mata Naomi menyipit tajam, lalu membentak, “Ya! Aku memang punya saudara kembar dan aku yakin aku sudah pernah mengatakannya padamu!”

* * *

Bahkan sebelum Naomi membuka mulut untuk membentaknya, Danny sudah menyadari apa yang terlupakan olehnya. Ia melupakan kenyataan bahwa Naomi memang memiliki saudara kembar. Danny tertegun menatap Naomi yang balas menatapnya dengan mata menyala-nyala marah. Kalau begitu yang dilihatnya keluar dari gedung apartemen itu adalah...

Seolah-olah bisa membaca pikiran Danny, Naomi berkata lagi, “Sudah pasti yang kaulihat itu adalah saudara kembarku, Keiko. Asal kau tahu, wajah kami memang sangat mirip.”

Danny masih agak kesulitan menemukan suaranya. Kalau itu memang saudara kembar Naomi, berarti selama seminggu ini ia sudah mengacaukan diri sendiri tanpa alasan. Rasa lega langsung membanjiri dirinya. “Kupikir...”

“Kau tidak berpikir,” sela Naomi, jelas-jelal masih marah. “Tapi coba sekarang pikirkan ini. Kalau aku melakukan apa pun yang kaukatakan tadi, kenapa aku repot-repot belajar bahasa Korea? Kenapa pula aku datang ke sini dan menerima pekerjaan ini walaupun aku tahu Anna Jo adalah kakakmu?” Naomi berhenti untuk menarik napas, lalu mendengus dan berjalan melewati Danny.

Tetapi Danny menangkap pergelangan tangan Naomi dan menahannya. “Jadi kau memang sengaja datang ke sini untuk mencariku?” tanyanya sambil menunduk menatap Naomi. “Kenapa?”

Naomi berusaha melepaskan diri, tetapi Danny tidak membiarkannya. Akhirnya Naomi menyerah dan mendongak menatap Danny. “Tadi kaubilang kau pergi ke Jepang mencariku. Kenapa?” ia balas bertanya.

Danny mendapati dirinya menatap ke dalam mata Naomi. Sejenak ia ragu, apakah ia harus mengatakan yang sebenarnya atau apakah hal itu terlalu berisiko.

“Kenapa?” tanya Naomi sekali lagi.

“Karenaaku merindukanmu,” kata Danny pelan.

Mata Naomi melebar kaget dan napasnya tercekat.

“Karena aku membutuhkanmu,” lanjut Danny. “Karena kurasa kau sudah cukup lama berpikir dan sekarang saatnya kau kembali padaku. Karena aku ingin kau tahu bahwa perasaanku sekarang masih sama seperti dulu. Dan karena aku ingin tahu apakah kau sudah percaya padaku, walaupun hanya sedikit.” Naomi membuka mulut, tetapi tidak ada yang keluar.

Ia juga tidak tahu apa yang harus dikatakannya.

“Aku ingin kau percaya padaku,” lanjut Danny, masih menggenggam tangan Naomi. “Aku ingin kau percaya ketika kukatakan bahwa aku tidak akan pernah menyakitimu. Kalau perlu, aku bersedia menghabiskan sisa hidupku menebus apa yang dilakukan kakakku padamu. Asal kau tetap bersamaku. Di sisiku.” Naomi menggeleng-gelengkan kepala. Tidak, tidak... Ia tidak pernah menyamakan Danny dengan kakaknya dan ia tidak pernah menyalahkan Danny atas apa yang dilakukan kakaknya. Ia tidak ingin Danny merasa bersalah dan ia tidak ingin Danny menebus apa pun. Tetapi saat ini ia masih tidak mampu bersuara karena air mata mulai mencekat tenggorokannya.

“Dan di atas segalanya,” lanjut Danny, “aku ingin kau percaya padaku ketika kukatakan bahwa aku mencintaimu.”

Naomi hampir yakin jantungnya berhenti berdebar sesaat dan ia harus memaksa dirinya bernapas karena kalau tidak ia pasti akan pingsan di tempat. Otaknya juga mendadak kosong sejenak. Selain suara Danny dan debar jantungnya sendiri yang kembali berdebar keras, Naomi tidak bisa mendengar apa-apa lagi.

Dunia seolah-olah mengecil di sekeliling mereka berdua.

“Itulah yan gingin kukatakan padamu pada saat terakhir kali kita bertemu,” kata Danny. Matanya tidak lepas dari mata Naomi. “Itulah yang ingin kukatakan padamu.”

Sebutir air mata jatuh ke pipi Naomi dan ia menghapusnya dengan tangannya yang bebas. Kemudian ia menunduk menatap tangannya yang lain yang masih berada dalam berada dalam genggaman Danny. Perlahan-lahan ia menarik tangannya. Kali ini Danny membiarkannya, walaupun dengan enggan. Danny sama sekali tidak tahu apa yang sedang dipikirkan Naomi. Ia merasa sangat gugup. Jantungnya berdebar begitu keras. Ia sudah mencurahkan seluruh perasaannya. Ia sudah melakukan semua yang bisa dilakukannya. Sekarang semua terserah pada Naomi.

Hidupnya... hidupnya kini ada di tangan Naomi.

Naomi kembali mendongak menatap mata Danny. Air matanya tidak bisa berhenti mengalir. Perlahan-lahan ia maju selangkah mendekati Danny, lalu berjinjit, dan melingkarkan kedua lengannya di leher Danny, dan menyandarkan dagu di bahunya.

Sejenak Danny tetap diam tak bergerak. Ia terlalu tercengang untuk bergerak. Ia terlalu takut untuk bergerak. Ia takut ini hanya mimpi. Ia takut kalau ia bergerak maka mimpi ini akan buyar dan Naomi akan meninggalkannya. Tetapi ia bisa merasakan kehangatan Naomi, bisa merasakan debar jantung Naomi di dadanya, bisa mendengar tarikan napas Naomi di telinganya. Dan ia bisa mendengar suara Naomi...

“Aku,” gumam Naomi lirih, “percaya padamu.”

Kata-kata itu hanya berupa bisikan, tetapi itu sudah cukup bagi Danny. Ia memejamkan mata sementara rasa lega dan bahagia membanjiri dirinya. Rasanya seolah-olah beban berat yang mengimpit dadanya selama ini akhirnya terangkat.

Akhirnya ia bisa bernapas.

Saat itulah ia baru bisa menggerakkan kedua tangannya yang sejak tadi terkulai di sisi tubuhnya. Dan ketika kedua lengannya melingkari tubuh Naomi, ia merasa benar. Ia merasa mulai sekarang ia akan baik-baik saja. Mulai sekarang segalanya akan baik-baik saja.

Lalu ia mendengar Naomi kembali berbisik, “Dan... terima kasih karena sudah menungguku.”

* * *

“Mereka berpelukan,” bisik salah seorang kru yang mengintip dari lubang kunci pintu ruang rias.

Mata Anna Jo melebar. Ia termasuk orang yang ikut berdiri bergerombol bersama para kru yang penasaran dengan apa yan gterjadi di balik pintu ruang rias.

“Mereka berpelukan?” tanyanya penuh semangat. Lalu keningnya berkerut samar.

“Astaga... Jangan-jangan gadis itulah alasan Danny berubah senewen selama ini.

Mungkinkah? Jadi itu orangnya...”

“Sekarang mereka berpandangan,” kru yang sedang mengintip itu kembali melaporkan dan semua orang di belakangnya serentak ber-“oh” dan “ah” dengan gembira. “Gadis itu menangis, tapi juga tersenyum. Dan sekarang Danny menyentuh pipinya dan...”

Tiba-tiba ponsel Anna berbunyi, membuatnya terkesiap keras dan terlompat kaget. Sambil menggerutu ia buru-buru menjauh dari kerumunan orang yang penasaran itu dan menempelkan ponsel ke telinga. “Ya.? Ibu? Ada apa?” Ia berhenti sejenak dan mendengar apa yang dikatakan ibunya. “Ya, In-Ho ada di sini. Dia tidak menjawab telepon? Mungkin dia mematikannya. Memangnya ada apa Ibu mencarinya?... Mau menjodohkannya lagi? Ya ampun. Dengar, sebaiknya lupakan saja niat Ibu untuk menjodohkan In-Ho. Aku jamin dia tidak akan mau.... Kenapa tidak mau? Karena sudah ada gadis yang disukainya. Itulah sebabnya.... Aku juga baru tahu.... Tenang saja, kurasa In-Ho akan segera memperkenalkannya kepada Ibu. Oh ya, Ibu tidak punya masalah dengan orang Jepang, bukan?” Epilog

“JADI katakan padaku bagaimana caramu memaksa Chris memberikan alamatku di Jepang kepadamu. Aku sudah melarangnya memberitahumu dan aku yakin dia tidak memberikannya begitu saja.”

“Tentu saja tidak. Tapi aku juga bukan orang yang gampang menyerah.”

“Jadi apa yang kaulakukan?”

“Aku terus merecokinya setiap hari. Sampai suatu hari dia mulai kesal padaku dan berkata bahwa kalau aku bersedia memenuhi satu permintaannya, dia akan memberikan alamatmu kepadaku.”

“Permintaan apa?”

“Dia ingin aku menemaninya ke pesta.”

“Pesta? Hanya itu?”

“Pesta khusus para gay.”

“Oh.”

“Hanya itu yang bisa kaukatakan? „Oh??”

“Kau menyetujuinya?”

“Karena aku ingin mendapatkan alamatmu, ya, aku menyetujuinya.”

“Oh... Kau menikmati pestanya?”

“Kau tidak mungkin bisa membayangkan keadaannya.”

“Astaga. Ini lucu sekali. Tapi kau berhasil melewati pesta itu dengan selamat, bukan?”

“Nyaris saja.”

“Lagi pula Chris tidak mungkin membiarkan sesuatu terjadi padamu. Aku yakin dia pasti menjagamu dengan baik. Dia menyukaimu, kau tahu?” “Ya Tuhan, apakah kau harus mengatakannya? Maksudku, aku benar-benar tidak perlu tahu soal itu.”

“Tenang saja. Chris bukan orang yang akan mengkhianati sahabat sendiri. Dia tidak akan merampas milik sahabatnya. Dia sendiri yang berkata begitu. Jadi selama kau tetap bersamaku, maka kau akan aman.”

Share this novel

Guest User
 


NovelPlus Premium

The best ads free experience