Bab Dua Puluh Satu

Romance Completed 43167

Seoul, Korea Selatan

DANNY duduk sendirian di bar langganannya dan mengamati cairan keemasan dalam gelasnya sambil melamun. Dua minggu terakhir ini benar-benar menguras tenaga dan pikirannya. Hari-harinya disibukkan dengan pertemuan dengan para manajernya untuk membahas pengaruh skandal ini terhadap reputasinya, menghadapi para wartawan yang menuntut penegasan, menenangkan keluarganya yang kalang kabut dan ibunya yang jatuh sakit begitu mendengar gosip bahwa almarhum putranya pernah melakukan kejahatan, serta melacak keberadaan Kim Dong-Min, yang rupanya sedang bersembunyi dari para wartawan.

Butuh waktu beberapa hari sebelum Danny berhasil menemukan Kim DongMin. Danny masih ingat bagaimana wajah Kim Dong-Min memucat ketika Danny menemuinya. Ternyata si pengecut itu sama sekali tidak berniat menyebarluaskan masalah kakak Danny dengan Naomi. Hanya saja saat itu ia sedang minum-minum bersama beberapa orang temannya—salah seorang di antaranya adalah wartawan tabloid gosip—dan dalam keadaan mabuk ia mengungkit apa yang pernah dilakukan kakak Danny. Tetapi ia tidak pernah menyebut-nyebut nama Naomi dan bersumpah tidak akan pernah melakukannya. Bagaimanapun juga, ia sadar ia adalah kaki-tangan dalam masalah ini dan bisa diseret ke penjara. Ia bahkan sudah berencana pindah ke Kanada, tempat tinggal orangtuanya, demi menghindari bencana.

Danny mendengus dan meneguk minumanya. “Setidaknya dia masih punya otak,” gumamnya pada diri sendiri.

Walaupun Kim Dong-Min sudah berjanji akan tutup mulut rapat-rapat, Danny masih pusing memikirkan bagaimana cara meredam gosip yang sudah telanjur merebak ini dan bagaimana ia bisa mengelak dari para wartawan yang terus mengejarnya. Selama seminggu berikutnya Danny nyaris tidak bisa tidur memikirkan apa yang harus dilakukannya.

Lalu tiba-tiba hari ini terjadi sesuatu yang sama sekali tidak terrduga. Sesuatu yang bisa saja membantu Danny meredam skandal, atau malah memperumit masalah yang sudah ada. Seorang wanita yang mengaku sebagai mantan kekasih kakak Danny entah kenapa merasa bahwa dirinyalah yang digosipkan sebagai korban pemerkosaan dalam skandal ini. Pagi ini ia mengadakan jumpa pers untuk memberikan pernyataan bahwa skandal itu tidak benar dan bahwa hubungannya dengan kakak Danny sama sekali tidak didasarkan atas paksaan. Danny benar-benar tidak tahu kenapa wanita itu merasa dirinyalah yang digosipkan sebagai korban. Mungkin saja wanita itu benar-benar pernah menjalin hubungan dengan kakak Danny dan ia benar-benar salah paham karena mengira dirinyalah yang dimaksud oleh gosip ini. Atau mungkin juga ia hanya mencari popularitas sesaat demi mendongkrak kariernya yang sedang merosot sebagai aktris televisi. atau mungkin saja ia ingin mencari keuntungan dari keluarga Danny dalam masalah ini. Pengacara keluarga Danny akan pergi menemui wanita itu besok pagi dan Danny hanya bisa berharap semuanya berjalan dengan baik.

“Hei, Teman. Sudah lama menunggu?”

Suara Jung Tae-Woo membuyarkan lamunan Danny. Ia menoleh dan tersenyum pada sahabatnya. “Belum lama,” sahutnya. “Lagi pula aku tahu penyanyi terkenal sepertimu pasti tidak punya waktu luang sebelum tengah malam.”

“Kau sendiri juga sangat sibuk begitu pulang dari London dan baru hari ini kau menghubungiku.” Jung Tae-Woo duduk di samping Danny dan memesan minuman kepada bartender yang menghampirinya. Kemudian ia menoleh kembali kepada Danny. “Bagaimana keadaanmu? Aku sudah mendengar tentang apa yang terjadi apgi ini. Benar-benar mengejutkan, bukan?” “Mmm. Memang mengejutkan,” tambah Danny jujur.

“Kau kenal wanita itu?” tanya Jung Tae-Woo.

Danny menggeleng. “Tapi aku akan meminta pengacaraku pergi menemuinya, untuk memastikan wanita itu tidak mencari keuntungan dalam situasi ini.”

Jung Tae-Woo mengangguk-angguk. “Bagaimana keadaan ibumu sekarang?” Danny mendesah. “Masih sama. Tapi kurasa keadaannya akan membaik setelah mendengar bahwa putra kesayangannya bukan kriminal seperti yang digosipkan.” Saat itu ponsel Danny berbunyi. “Siapa lagi malam-malam begini?” gumamnya pada diri sendiri dan menempelkan ponsel ke telinga. “Halo?” “Danny?”

Alis Danny terangkat kaget begitu mendengar suara Naomi di ujung sana.

“Naomi? Ada apa? Ada masalah?”

Jung Tae-Woo menoleh heran mendengar Danny berbicara dalam bahasa Inggris.

“Tidak ada masalah apa-apa,” sahut Naomi cepat. “Hanya ingin tahu keadaanmu.”

Danny tersenyum. “Aku baik-baik saja.”

Naomi ragu sejenak, lalu berkata, “Danny, aku tahu apa yang sedang terjadi di sana dan aku mengerti kenapa kau tidak mau mengatakan padaku, tapi...” “Kau tahu?” sela Danny agak kaget.

“Ya, aku tahu.”

Danny menarik napas dalam-dalam. “Naomi, aku baik-baik saja. Sungguh. Aku bisa mengatasinya. Kau tidak usah khawatir.” “Lalu bagaimana situasinya sekarang?” tanya Naomi.

Danny menceritakan kejadian mengejutkan pagi ini.

“Benarkah?” Nada Naomi terdengar datar, tanpa emosi.

“Ya. Tapi kau tidak usah cemas. Aku sudah mengurusnya semuanya akan baikbaik saja.”

“Kuharap begitu.” Naomi terdiam sesaat, lalu berkata pelan, “Ngomongngomong, ada yang ingin kukatakan kepadamu. Tadinya aku tidak ingin berkata

apa-apa, tapi setelah kupikir-pikir lagi, sebaiknya aku mengatakannya secara langsung kepadamu.”

Danny langsung berubah waswas. “Ada apa?”

“Aku...” Naomi menarik napas, “aku sudah memutuskan untuk kembali ke

Jepang.”

Alis Danny berkerut kaget. “Apa? Kenapa?”

“Aku... Aku butuh waktu untuk berpikir dan menyelesaikan masalahku sendiri.”

“Masalah apa?”

“Masa laluku. Aku tahu selama ini aku terus melarikan diri dari masa laluku.

Kupikir sudah saatnya aku menghadapinya.”

Danny masih tidak mengerti. “Lalu...?”

“Karena itu aku butuh waktu. Sementara aku mengatur kembali hidupku, aku benar-benar tidak bisa memikirkan hal lain. Aku harus menghadapi diriku sendiri terlebih dahulu sebelum aku bisa menghadapi orang lain.” Naomi terdiam sejenak.

“Termasuk dirimu.”

“Apa?”

“Karena itu kurasa ada baiknya kita tidak berhubungan... untuk sementara.”

Otak Danny kosong sesaat dan ia nyaris yakin jantungnya berhenti berdebar. Naomi akan meninggalkannya. Ya Tuhan, Naomi akan meninggalkannya. Ia merasa sekujur tubuhnya mendadak lumpuh.

“Untuk sementara?” ulang Danny datar, lalu menelan ludah. “Berapa lama?” “Entahlah,” kata Naomi cepat. “Aku hanya merasa kita berdua butuh waktu untuk berpikir. Supaya kita benar-benar yakin tentang apa yang kita inginkan.” Danny menghela napas dalam-dalam, mencoba meredakan kepanikan yang tiba-tiba menyerangnya. “Maksudmu kau tidak yakin dengan perasaanku,” katanya pelan. “Apakah sesulit itu bagimu untuk percaya padaku?”

“Apakah kau sudah lupa alasan awalmu datang ke Inggris?” Naomi balas bertanya tanpa menjawab pertanyaan Danny. “Kau datang ke Inggris untuk bekerja dengan Bobby Shin. Karena kau bercita-cita menjadi sutradara terkenal.”

“Apa hubungannya...?”

“Jadilah sutradara terkenal.”

“Apa?”

“Jadilah sutradara terkenal,” ulang Naomi. “Setelah itu, kalau memang masih ada kesempatan, kita bisa bertemu lagi.”

Danny terdiam. Sekali lagi ia menghela napas panjang dan menunduk. Ia tidak ingin menunggu. Ia tidak ingin Naomi pergi dari sisinya. Sebagian dari dirinya yang enggan paham bahwa Naomi butuh waktu. Untuk mengembalikan kepercayaan dirinya sendiri. Juga untuk percaya pada Danny. Ini keputusan yang sangat sulit, tapi...

“Baiklah,” kata Danny akhirnya, “aku bisa menunggu.” Naomi tidak berkata apa-apa.

“Kalau kau butuh waktu untuk memercayaiku, aku bisa menunggu.” Masih tidak terdengar suara di ujung sana, namun Danny yakin Naomi mendengarnya.

“Aku akan menjadi sutradara terkenal seperti yang kaukatakan. Dan, Naomi, pada saat kita bertemu nanti—dan kita pasti akan bertemu lagi, baik kau siap atau tidak—kau harus memberikan jawabanmu,” kata Danny. Hening sejenak, lalu terdengar Naomi bergumam, “Terima kasih.”

Jung Tae-Woo meliriknya ketika Danny menutup ponsel dan menghabiskan sisa minumannya dengan sekali teguk. “Siapa Naomi?” tanya Tae-Woo dengan nada polos.

Danny mengembuskan napas berat dan mendorong gelasnya yang sudah kosong menjauh. “Dia benar-benar bisa membuatku gila,” gerutunya.

Jung Tae-Woo terkekeh pelan. “Bukankah semua wanita begitu?” katanya. “Lagi pula, kalau dia memang membuatmu gila, kenapa kau tidak melepaskannya saja?”

Danny tidak langsung menjawab. Ia tepekur sejenak, lalu tersenyum muram dan menggeleng. “Aku juga berharap bisa semudah itu,” gumamnya.

Jung Tae-Woo menatapnya tidak mengerti.

“Masalahnya aku tidak bisa melepaskannya,” lanjut Danny tanpa membalas tatapan temannya. Kemudian ia tertawa pendek dan berkata, “Benar-benar bodoh, bukan?”

Jung Tae-woo hanya tersenyum kecil dan menyesap minumannya. “Bukankah kita semua juga begitu?”

* * *

Naomi menutup ponsel dengan gerakan pelan dan jatuh terduduk di tempat tidurnya. Mendadak saja ia merasa sedih walaupun ia terus berkata pada diri sendiri bahwa ia telah melakukan hal yang benar. Bagaimanapun juga, ia melakukan semua ini demi dirinya sendiri dan Danny.

Seperti yang dikatakannya tadi, ia butuh waktu untuk berpikir. Tentang masa lalu dan masa depannya. Juga tentang Danny Jo. Saat ini Naomi benar-benar tidak bisa berdiri di hadapan Danny dan menatap matanya tanpa merasa malu. Masa lalunya terlalu kotor.

Sedangkan soal Danny... Naomi yakin Danny juga butuh waktu untuk berpikir. Danny mungkin berkata bahwa perasaannya tidak berubah bahkan setelah ia tahu tentang masa lalu Naomi, tetapi Naomi tidak yakin Danny akan tetap merasa seperti itu setelah mendapat waktu yang cukup untuk benar-benar memikirkan semuanya. Naomi ingin menberikan kesempatan kepada Danny untuk menarik diri sebelum laki-laki itu menyesal.

Sebutir air mata jatuh di pipinya dan Naomi menghapusnya dengan cepat. Kenapa ia menangis? Kenapa tiba-tiba hatinya terasa sakit? Naomi menghela napas dalam-dalam dan mengembuskannya dengan pelan.

Jawabannya sederhana saja.

Karena ia, Naomi Ishida, dengan bodohnya telah menyerahkan hati dan jiwanya kepada Danny Jo.

Share this novel

Guest User
 


NovelPlus Premium

The best ads free experience