Bab Delapan Belas

Romance Completed 43167

“KENAPA kau tidak mau mengajukan tuntutan?” tanya Chris dengan nada heran. “Setelah apa yang dilakukan penjahat itu padamu semalam, kenapa kau tidak mau menuntutnya? Kenapa?”

Naomi menghela napas dan mengangkat wajah menatap kedua teman satu flatnya yang balas menatapnya dengan bingung. Julie dan Chris duduk di meja dapur, sedangkan Naomi berdiri di dekat pintu kamarnya sambil mencengkeram cangkir tehnya. Perlahan-lahan Naomi mengembuskan napas dan bergumam,

“Karena tidak ada yang terjadi semalam.”

“Tidak ada yang terjadi?” ulang Chris lagi dengan suara meninggi. “Apa...?” Ia menghentikan kata-katanya dan melotot menatap Julie, meminta dukungan, namun Julie juga tidak tahu apa yang harus dikatakannya.

Saat itu bel pintu flat mereka berbunyi dan Chris pergi membuka pintu.

“Oh, Danny. Rupanya kau. Masuklah.”

Naomi menoleh ketika Chris berjalan kembali ke dapur bersama Danny. Alis Naomi berkerut samar melihat wajah Danny yang pucat. “Kau sakit?” tanya Naomi langsung.

Danny tersenyum tipis dan menggeleng. Sebelah tangannya terulur ke depan, hendak menyentuh Naomi, namun tiba-tiba ia mengurungkan niat dan malah menjejalkan kedua tangan ke saku celana panjangnya. Ia berdeham pelan dan menatap wajah Naomi lurus-lurus. “Bagaimana keadaanmu?” tanyanya. Ada sesuatu dalam suara Danny yang tidak Naomi mengerti. Naomi menatap mata Danny, berusaha mencari tahu apa yang membuat perasaannya tiba-tiba gelisah. Namun ia mendapat kesan bahwa mata gelap yang balas menatapnya itu juga sedang melakukan hal yang sama, berusaha mencari tahu apa yang tersembunyi di dasar jiwa Naomi.

“Aku baik-baik saja,” sahut Naomi. Lalu ketika Danny tetap diam, ia menambahkan, “Sungguh.”

“Hanya itu yang dikatakannya sepanjang pagi,” kata Chris kepada Danny dengan nada muram. “Katanya dia tidak mau menuntut pria kemarin itu. Mungkin kau bisa membujuknya. Menyadarkannya. Aku harus pergi sekarang. Tekanan darahku bisa naik kalau aku lama-lama di sini.”

Julie mengembuskan napas dan meraih tasnya. “Aku juga akan membiarkan kalian berdua mengobrol di sini,” katanya sambil berdiri. “Sampai jumpa nanti malam, Naomi. Dah, Danny.”

Setelah Naomi menutup pintu dan kembali ke dapur, ia melihat Danny masih berdiri di tempatnya semula dan memandang kosong ke luar jendela dapur. Jelas sekali ada sesuatu yang mengganggu pikiran laki-laki itu. Sikapnya terlihat aneh. Ia agak pendiam pagi ini, juga murung. Kenapa?

“Kau sudah sarapan?” tanya Naomi, menjaga suaranya terdengar ringan dan riang. “Kalau belum, kau boleh mencoba roti buatan Chris.”

Danny mengerjap satu kali, lalu menoleh. “Tidak. Tidak usah,” gumamnya.

“Kalau begitu duduklah. Biar kubuatkan teh saja.”

Danny menurut dan duduk di kursi yang tadi diduduki Chris. “Jadi kenapa kau datang ke sini pagi-pagi begini? Untuk memeriksa keadaanku?” Naomi mulai berceloteh sementara ia berbalik memunggungi Danny dan menyibukkan diri dengan cangkir dan daun teh. “Jangan khawatir. Kau bisa lihat sendiri. Aku baik-baik saja. Aku juga tidak akan mengajukan tuntutan pada... orang itu karena tidak ada yang terjadi kemarin. Kau datang tepat pada waktunya. Oh ya, aku baru ingat aku belum berterima kasih padamu karena sudah menolongku. Pokoknya karena tidak ada yang terjadi dan aku juga baik-baik saja, aku tidak ingin masalah ini dibesar-besarkan. Aku tidak ingin ada skandal.” Ia tertawa pendek dan hambar. “Aku yakin agenku juga setuju.”

“Karena itukah kau tidak pernah berkata apa-apa tentang kejadian waktu itu?” sela Danny tiba-tiba.

Naomi membalikkan tubuh sambil membawa secangkir teh yang mengepul.

“Kejadian yang mana?”

“Yang berhubungan dengan almarhum kakakku.” Dan dunia Naomi pun menggelap seketika.

* * *

Segalanya terjadi begitu cepat di depan mata Danny. Ia melihat Naomi terhuyung dan cangkir yang dipegangnya oleng, membuat teh yang mengepul itu tumpah mengenai tangannya, sebelum akhirnya jatuh ke lantai dan pecah berkeping-keping.

Danny melompat berdiri, meraih tangan Naomi dan menariknya ke bak cuci piring. “Kau punya salep untuk luka bakar?” tanya Danny sementara ia membasuh tangan Naomi dengan air keran.

Naomi tidak menjawab, tetapi Danny merasakan ketegangan gadis itu dan tangannya yang kaku. Lalu perlahan-lahan Naomi menarik tangannya dari genggaman Danny dan berkata pelan, “Tidak apa-apa. Aku tidak apa-apa.” Danny mengamati Naomi berbalik dan berjalan ke kamarnya. Jelas sekali Naomi tidak ingin membicarakan masa lalunya itu, tetapi Danny tidak bisa menahan diri lebih lama lagi. Ia tidak bisa tidur semalaman, ia merasa tersiksa, merasa bersalah, merasa sangat tak berdaya. Ia hampir gila setiap kali mengingat apa yang dikatakan Kim Dong-Min kepadanya. Ia harus berbicara dengan Naomi. Ia harus tahu apa yang dipikirkan Naomi tentang hal ini, karena ia sendiri tidak tahu apa yang harus dipikirkannya.

Danny berdiri di ambang pintu kamar Naomi, mengamati gadis itu mengeluarkan kotak obat dari laci dengan tangan gemetar, lalu berjalan ke tempat tidurnya dan duduk di sana. Hanya duduk dengan kotak obat di pangkuan tanpa melakukan apa-apa. Melihat itu Danny masuk dan menghampiri Naomi. Danny berlutut di hadapan Naomi dan mengambil kotak obat dari tangan gadis itu. Setelah menemukan obat yang dicarinya, Danny menatap tangan Naomi yang masih gemetar dan ragu sejenak. Lalu ia mengulurkan tangannya dan meraih tangan

Naomi. Kali ini Naomi meringis.

“Ini harus segera diobati,” gumam Danny pelan dan mulai mengoleskan obat ke tangan Naomi.

Naomi tidak menarik tangannya, namun juga tidak berkata apa-apa. Saat itu Danny benar-benar merasakan kesunyian yang menyelubungi flat itu. Namun itu bukan kesunyian yang menenangkan. Ada ketegangan yang mencekam di sana yang membuat Danny sulit bernapas.

“Bagaimana kau bisa tahu?” tanya Naomi tiba-tiba, memecah keheningan. Suaranya terdengar sangat datar dan hampa, seolah-olah tak berjiwa. Ia juga tidak memandang Danny, tetapi memandang kosong ke luar jendela kamarnya, ke arah langit mendung London.

“Aku pergi mencari Kim Dong-Min kemarin malam. Dia menceritakan semuanya kepadaku,” kata Danny pelan.

Masih tidak menatap Danny, Naomi menelan ludah dan bertanya, “Apa yang dikatakannya padamu? Apakah dia berkata bahwa aku yang...?” Naomi tercekat, tidak mampu melanjutkan kata-katanya. Wajahnya mengernyit seolah-olah kesakitan.

“Katanya kakakku memaksamu,” sahut Danny. Ia menunggu sejenak, namun karena Naomi tidak berkata apa-apa, ia mendongak menatap Naomi dan bertanya,

“Apakah sejak awal kau sudah tahu siapa aku?”

Naomi tidak langsung menjawab. Setelah diam beberapa saat, ia mengangguk pelan. “Aku tahu tentang dirimu dari tabloid,” gumam Naomi dengan nada melamun. “Karena kau termasuk artis terkenal di Korea dan karena artis-artis Korea juga populer di Jepang, para wartawan Jepang suka meliput segala sesuatu yang terjadi pada artis Korea. Artikel tentang kecelakaan yang menimpa saudara kandung Danny Jo pun menjadi bahan yang menarik untuk dimuat dalam tabloid.” Danny menunduk dan memejamkan mata, berusaha menenangkan gemuruh dalam dadanya. “Kenapa kau tidak pernah berkata apa-apa sebelum ini, Naomi?” Naomi mendengus pelan dan menggeleng. “Jangan mengira aku tidak membenci kakakmu. Aku membencinya. Aku membencinya karena apa yang dilakukannya padaku. Aku begitu membencinya sampai ingin membunuhnya dengan tanganku sendiri. Tapi sebelum aku bisa melaksanakan niatku, dia sudah meninggal. Tewas dalam kecelakaan lalu lintas. Apa lagi yang bisa dikatakan kalau begitu?” Seulas senyum sinis dan hambar terukir di bibirnya. “Lagi pula kalau waktu itu kukatakan padamu apa... apa yang dilakukan kakakmu—kakakmu yang sudah meninggal tiga tahun lalu—padaku, apakah kau akan percaya?” Danny tidak bisa menjawab dan ia merasakan desakan kuat untuk melukai diri sendiri.

“Sudah kuduga,” gumam Naomi. Ia menarik tangannya dari genggaman Danny, berdiri dan berjalan ke arah jendela. Sejenak keheningan pun kembali menyelimuti ruangan. Lalu Danny mendengar Naomi mendesah lirih dan berkata, “Orangtuaku... Merekalah alasan utama aku tidak pernah berkata apa-apa tentang kejadian itu. Seumur hidupku aku belum pernah melakukan sesuatu yang membuat mereka terpaksa menanggung rasa malu. Mereka bangga pada anak-anak mereka. Mereka bangga padaku. Kalau mereka sampai tahu masalah ini... Kalau ayahku sampai tahu masalah ini, aku tidak berani membayangkan bagaimana perasaannya.”

“Naomi...”

“Sebenarnya ada dua hal yang bisa disyukuri dalam kejadian ini, kalau kita bisa menyebutnya rasa syukur,” sela Naomi, masih memunggungi Danny. “Selama kejadian itu aku lemas tak berdaya, nyaris tidak sadarkan diri, sehingga aku tidak terlalu kesakitan walaupun aku tahu siapa lelaki itu, dan ingin berontak, ingin melawannya. Dan yang kedua, aku tidak hamil.”

“Naomi...”

Saat itu Naomi berbalik dan menatap Danny lurus-lurus. “Kalau dipikir-pikir, kurasa bagus juga karena sekarang kau sudah tahu semuanya,” katanya. Ia menarik napas dalam-dalam sekali lagi dan mengembuskannya. “Aku lega.” Danny sama sekali tidak mengerti apa maksud Naomi. Ia pun berdiri dan berdiri di hadapan Naomi dan menunggu gadis itu melanjutkan. Naomi membalas tatapannya, namun Danny menyadari bibir bawah Naomi bergetar samar. Setelah ragu sejenak, Naomi membuka mulut dan berkata, “Aku lega kita bisa mengakhiri semua ini.” Kening Danny berkerut tidak mengerti.

Naomi tidak langsung menjawab, hanya menatap Danny tanpa berkedip selama beberapa detik, lalu berkata, “Kau pasti merasa jijik padaku.”

Danny terkejut, sama sekali tidak menyangka akan mendengar kata-kata itu.

“Apa? Tidak. Aku tidak....”

“Aku juga merasa jijik pada diriku sendiri,” sela Naomi.

Danny mengulurkan tangan. “Naomi, tolong jangan...”

Namun Naomi mengernyit dan menjauh dari uluran tangan Danny. “Kurasa aku telah membuat kesalahan,” katanya dengan suara tercekat. Kedua tangannya terkepal erat di sisi tubuhnya. Ia terlihat tegang dan tertekan. “Ketika kupikir kita bisa berteman, kurasa aku salah. Kita tidak pernah bisa berteman. Tidak akan pernah.”

“Apa yang sedang kaubicarakan?” tanya Danny bingung. Rasa frustrasi mulai menjalari dirinya. Frustrasi melihat luka besar yang dialami Naomi. Frustrasi karena melihat Naomi begitu menderita. Frustrasi karena ia tidak tahu apa yang harus dilakukannya untuk menolong Naomi. Frustrasi karena Naomi menarik diri darinya.

Naomi menelan ludah dengna susah payah. Air mata mulai membayang di matanya. “Sekarang kau tidak akan bisa lagi memandangku tanpa memikirkan apa yang pernah terjadi antara aku dan kakakmu.”

“Tidak... Itu tidak benar.”

“Dan aku tidak bisa memandangmu tanpa teringat pada kakakmu dan apa yang pernah dilakukannya padaku.”

Kata-kata yang diucapkan dengan tajam dan jelas itu menghujam jantung Danny. Dadanya terasa sakit dan sekujur tubuhnya lumpuh. Ia menatap Naomi tanpa berkedip, tanpa bernapas. Ia membuka mulut, namun tidak ada suara yang keluar.

* * *

Ya Tuhan...

Naomi menggigit bibirnya keras-keras. Apa yang sudah dilakukannya? Ia tidak bermaksud mengatakannya. Sungguh. Namun kata-kata itu meluncur dari mulutnya tanpa sempat dicegah. Melihat Danny yang berdiri mematung di depannya membuat hatinya terasa perih. Melihat kilatan kaget dan terluka di mata Danny membuatnya inign menarik kembali kata-katanya. Oh, betapa ia berharap bisa menarik kembali kata-katanya.

Tetapi sudah terlambat. Ia tidak bisa menarik kembali kata-katanya. Naomi menarik napas dalam-dalam dan meraba keningnya dengan sebelah tangan. “Maafkan aku. Aku tidak bermaksud seperti itu. Aku... aku...” Danny mengangkat sebelah tangan, menghentikan kata-kata Naomi. Ia mengembuskan napas dengan pelan dan bergumam, “Kurasa... sebaiknya aku pergi.” Dan sebelum Naomi sempat membuka mulut lagi, Danny sudah berbalik dan berjalan ke arah pintu. Sama sekali tidak menatap Naomi.

Kesadaran bahwa ia telah menyakiti perasaan Danny membuat hati Naomi serasa dicabik-cabik. Ia tidak ingin Danny berpikir Naomi menyamakannya dengan kakaknya karena itu sama sekali tidak benar. Danny sangat berbeda dengan kakaknya. Hanya saja... hanya saja...

“Naomi.” Suara Danny yang pelan dan berat membuat Naomi mengangkat wajah. Danny berhenti di ambang pintu kamar dan berbalik menghadap Naomi. “Aku mewakili kakakku meminta maaf padamu. Walaupun aku sendiri tidak akan pernah bisa memaafkannya atas apa yang dilakukannya padamu, aku tetap ingin mewakilinya meminta maaf padamu.”

Naomi menelan ludah dengan susah payah, berusaha menahan air mata yang mulai menggenang di matanya dan mengaburkan pandangannya. “Aku juga ingin kau tahu,” lanjut Danny tanpa mengalihkan pandangannya dari wajah Naomi, “aku bukan kakakku. Aku tidak akan pernah menyakitimu.” Naomi menggigit bibir. Kedua tangannya terkepal erat di sisi tubuhnya. Jangan menangis... Jangan menangis... Jangan...

“Apakah kau percaya padaku?”

Naomi menelan ludah dengan susah payah, namun tidak menjawab.

Danny tersenyum sedih. “Kuharap kau bisa. Kalau bukan sekarang, mungkin suatu hari nanti.”

Setelah berkata seperti itu, Danny pun pergi. Naomi mendengar pintu depan flatnya dibuka dan ditutup. Setelah itu barulah Naomi membiarkan air matanya tumpah, bersamaan dengan rasa sakit besar yang menyebar dari dadanya yang sesak ke sekujur tubuhnya.

Share this novel

Guest User
 


NovelPlus Premium

The best ads free experience