Bab Tujuh

Romance Completed 43167

DANNY JO membawanya ke sebuah restoran kecil yang belum pernah dikunjungi Naomi sebelumnya. Mungkin tempat itu tidak bisa disebut restoran, karena tempat itu hanya semacam toko kecil sempit yang khusus menjual fish and chips—yang menurut Danny Jo adalah yang paling enak di seluruh penjuru London—tanpa meja atau kursi di dalam toko, jadi orang-orang menikmati fish and chips mereka di tepi jalan, di bangku taman, atau sambil jalan. Walaupun begitu toko itu sangat ramai.

Antrean pembelinya sangat panjang sampai ke luar toko.

“Jadi kau belum pernah ke sini?” tanya Danny Jo setelah ia menerima dua bungkus fish and chips yang dipesannya dan keluar ke jalan.

Naomi menggeleng sambil menerima salah satu bungkusan yang diulurkan Danny dengan alis terangkat. Ternyata fish and chips di sini hanya dibungkus kertas seadanya. Sama sekali tidak... yah, tidak berkelas.

Danny terkekeh pelan. “Jangan biarkan penampilannya menipumu,” katanya, seoalh-olah bisa membaca pikiran Naomi. “Walaupun penampilan luarnya berantakan, isinya benar-benar berbeda.”

Naomi membuka pembungkusnya sedikit dan langsung mencium aroma harum. Perutnya pun otomatis berbunyi pelan. Ia memandang berkeliling dan bertanya, “Kita akan makan di mana?” Danny menggerakkan kepalanya. “Ayo, ikut aku.”

Sekali lagi Naomi mendapati dirinya mengikuti Danny Jo. Ia agak heran menyadari bahwa laki-laki itu sepertinya lebih mengenal London daripada dirinya sendiri, padahal Naomi sudah tinggal di sini selama hampir tiga tahun. Ternyata Danny Jo membawanya ke sebuah taman kecil tidak jauh dari sudut jalan. Naomi juga harus mengakui dalam hati bahwa ini adalah pertama kalinya ia melihat taman ini, atau menyadari keberadaan taman ini di kota London.

Taman itu hanya sebuah taman kecil di sudut jalan, dengan jalan setapak mengelilingi kolam yan gtidak terlalu besar dan pepohonan yan gberderet di sepanjang jalan setapak. Naomi menengadah menatap langit. Matahari terlihat mulai mengintip dari balik awan dan mengintip dari sela-sela dedaunan. Kicau burung yang sesekali terdengar di antara embusan angin menambah kesan damai di taman itu.

Sebenarnya inilah salah satu hal yang sangat ingin dilakukan Naomi, tetapi ia belum pernah mendapat kesempatan melakukannya. Berjalan-jalan santai di taman kota, atau duduk di salah satu bangku panjang yang sering dilihatnya di sana dan tidak melakukan apa-apa. Hanya duduk di bawah sinar matahari dan menikmati hari. Tanpa melakukan apa-apa. Tetapi selama ia tinggal di London, belum pernah sekali pun ia berhasil mewujudkan keinginannya. Pekerjaannya membuatnya selalu sibuk, selalu bergerak dari satu tempat ke tempat lain. Tidak pernah berhenti sebentar untuk sekadar berdiri dan memandang sekeliling.

“Bagaimana kalau kita duduk di sini saja?”

Suara Danny membuyarkan lamunannya. Naomi menoleh dan melihat Danny menunjuk salah satu bangku panjang kosong bercat hijau yang berderet di pinggiran jalan setapak, menghadap kolam. Beberapa bangku di sana sudah terisi. Naomi melihat sepasang suami-istri tua duduk sambil mengobrol di bangku lain, lalu ada seorang pria yang duduk membaca koran sambil menggigit sebuah apel di bangku yang agak jauh dari sana, juga ada dua wanita yang mendorong kereta bayi di sepanjang jalan setapak smabil tertawa-tawa.

“Jangan katakan padaku kau juga belum pernah datang ke sini,” kata Danny ketika Noami sudah duduk di sampingnya.

“Memang belum,” kata Naomi. Matanya melahap pemandangan indah di sekelilingnya. Suasana taman yang tenang menyejukkan jiwanya, membuat hatinya terasa ringan melayang, membuat seulas senyum senang tersungging di bibirnya tanpa sadar. “Aku suka di sini.”

Danny memasukkan sepotong kentang goreng ke dalam mulut. “Ini salah satu tempat yang selalu kukunjungi setiap kali aku datang ke London,” katanya. “Taman ini selalu indah di musim apa pun. Musim semi, musim panas, musim gugur, musim dingin, sebut saja. Tapi aku paling suka taman ini di musim semi, ketika bunga-bunga mulai bermekaran.”

Naomi memandang berkeliling. Ia tidak melihat ada banyak bunga yang mekar di sana.

“Sekarang memang bunganya belum muncul,” kata Danny, lagi-lagi berhasil membaca pikiran Naomi. “Tunggu beberapa minggu lagi dan kau akan lihat nanti.” Naomi mengangguk-angguk, lalu membuka bungkusan makan siangnya dan mulai makan. Sedetik kemudian, matanya melebar dan ia menoleh menatap Danny Jo. “Astaga, ini benar-benar enak,” katanya.

Danny Jo tersenyum lebar. “Kubilang juga apa.”

Naomi ikut tersenyum dan selama dua atau tiga menit mereka makan tanpa suara, tenggelam dalam pikiran masing-masing. Kemudian Naomi menghela napas dalam-dlaam dan mengembuskannya dengan pelan. “Ini pertama kalinya aku makan sambil duduk di taman,” katanya.

“Kau mengalami banyak hal baru hari ini, bukan?” kata Danny. “Pertama kali makan fish and chips paling enak di seluruh London, pertama kali menginjak taman ini, pertama kali makan di taman.” Naomi mengangguk.

“Pertama kali mendapat teman makan yang menyenangkan seperti aku?” Naomi menoleh menatap Danny dan tertawa kecil. Lalu ia mengangkat bahu dan menjawab, “Mungkin.”

Danny tersenyum. “Itu sudah cukup bagus untukku.”

Beberapa menit berlalu tanpa suara, hanya terdengar embusan angin yang lembut dan kicauan burung. Naomi memejamkan mata sejenak. Suasananya benarbenar damai sampai ia merasa ia bisa tidur di sini.

“Kau sering mengunjungi taman seperti ini ketika kau masih tinggal di Jepang?”

Suara Danny membuat Naomi membuka mata. “Tidak,” sahutnya setelah berpikir sejenak. Baik di Tokyo atau di London, jadwal kerjanya selalu padat. Ia tidak pernah bisa bersantai. “Sebenarnya aku sudah lupa kapan terakhir kalinya aku mengunjungi taman mana pun. Di Kyoto-kah?” “Kau tinggal di Kyoto?” tanya Danny.

“Apa? Oh, tidak. Aku tinggal di Tokyo. Orangtuaku yang tinggal di Kyoto,” sahut Naomi ringan. “Ayahku tidak terlalu suka tinggal di Tokyo, jadi ayah dan ibuku pindah ke Kyoto dan membuka toko barang antik di sana. Aku dan adikku tetap di Tokyo karena saat itu kami tidak mau pindah sekolah. Jadi...” Sadar bahwa ia sudah bercerita lebih banyak tentang keluarganya daripada yang diinginkannya,

Naomi menghentikan diri sendiri dan bergumam, “Begitulah.”

Tetapi sepertinya Danny Jo tidak menyadari ucapan Naomi yang terhenti tibatiba. Ia merenung sejenak, lalu menatap Naomi. “Kau tidak terlihat seperti orang Jepang,” katanya.

Naomi tersenyum tipis. “Aku sudah sering mendengarnya. Nenekku orang

Indonesia.”

“Rupanya begitu,” gumam Danny sambil mengangguk-angguk. Lalu ia tiba-tiba

mengalihkan pertanyaan, “Jadi kau punya adik?” Naomi mengangguk.

“Aku punya seorang kakak perempuan dan seorang kakak laki-laki,” lanjut Danny.

“Mm, aku pernah mendengarnya dari Yoon,” kata Naomi sambil merenung. Danny menoleh ke arahnya dan tersenyum. “Wah, ternyata kau sudah bertanya-tanya pada orang lain tentang aku?” Naomi mendengus, tapi tidak menjawab.

“Kakak perempuanku adalah mantan model yang kini berprofesi sebagai perancang busana. Kakak laki-lakiku... yah, dia dulu seorang produser acara televisi.” Danny berhenti sejenak, lalu melanjutkan, “Kalau kau sudah diberitahu tentang kakakku, kau pasti tahu bahwa beberapa tahun lalu dia mengalami kecelakaan parah dan sempat koma selama dua bulan sebelum akhirnya meninggal dunia.”

Naomi melirik Danny sekilas, tetapi tidak berkata apa-apa. Danny hanya duduk di sana dan menatap kosong ke depan. Karena tidak ingin suasana menyenangkan ini hancur gara-gara kenangan yang tidak menyenangkan, Naomi mengalihkan

pembicaraan. “Aku dan adikku adalah saudara kembar.”

Mata Danny melebar kaget. “Kembar? Astaga...”

“Kenapa?”

“Aku tidak bisa membayangkan ada orang lain yang sama persis denganmu,”

gumam Danny. “Apakah wajah kalian sangat mirip?” Naomi mengangguk.

“Dia juga model?”

Naomi menggeleng. “Dia bekerja di perpustakaan di Tokyo.”

“Oh.” Danny sambil mengangguk-angguk. “Dia juga galak sepertimu?”

Kali ini Naomi menoleh ke arahnya dengan alis berkerut. “Aku tidak galak.”

“Baiklah, baiklah. Kau tidak galak,” sela Danny cepat, lalu mengangkat bahu,

“hanya sedikit... yah, menakutkan.”

Melihat Danny tersenyum lebar, Naomi memalingkan wajah dan tertawa. Danny mengamatinya dengan tatapan merenung, lalu ia berkata, “Siapa yang menyangka untuk melihatmu tertawa aku hanya perlu membelikan fish and chips dan mengajakmu ke taman?”

Naomi kembali menatap Danny dan selama dua detik mereka hanya bertatapan. Sebelum Naomi sempat membuka mulut untuk mengatakan sesuatu— bukannya ia ingin mengatakan sesuatu, karena otaknya mendadak kosong dan suaranya juga terbang entah ke mana—ia mendengar seseorang menyerukan namanya. “Hei, Naomi!”

Naomi menyeret tatapannya dari mata Danny Jo dan menoleh. Ternyata yang memanggilnya adalah Julie, dan gadis itu sudah berdiri di samping Naomi. “Oh,

Julie.”

“Kebetulan sekali bertemu di sini,” kata Julie dengan mata bersinar-sinar gembira. Ia menunjuk ke balik bahunya dengan ibu jari. “Aku baru selesai mengikuti audisi dan aku akan pergi makan siang bersama teman-temanku.” Naomi memandang melewati bahu Julie dan melihat lima teman Julie menunggu agak jauh dari sana.

“Kau sudah makan? Kalau belum, ikut saja dengan kami,” kata Julie. Lalu matanya beralih kepada Danny yang duduk di samping Naomi. “Tentu saja temanmu juga harus ikut.”

Tidak salah lagi. Naomi mengenali kilatan penuh minat di mata hijau Julie. Temannya itu pasti heran melihat Naomi duduk-duduk di taman bersama seorang laki-laki. Tadi pagi Chris berkata bahwa ia belum pernah melihat Naomi bersama laki-laki mana pun. Sudah pasti Julie juga belum pernah melihatnya. Dan Naomi yakin Julie akan menceritakan kejadian luar biasa ini kepada Chris kalau ia pulang nanti.

Tiba-tiba Naomi merasakan cubitan di lengannya. Ia meringis dan melotot menatap Julie. Yang ditatap hanya tersenyum manis kepadanya, lalu kembali menatap Danny. Maksudnya sangat jelas. Naomi mendesah dalam hati, lalu berkata patuh, “Julie, ini... Danny.” Lalu ia menoleh ke arah Danny. “Ini Julie, teman satu flatku.”

Julie menampilkan senyum panggungnya yang paling cerah sementara Danny berdiri dan mengulurkan tangan. “Senang sekali berkenalan denganmu,” kata Julie sambil menjabat tangan Danny. “Aku tidak tahu Naomi punya teman—aduh!” Ia melotot kepada Naomi yang mencubitnya, lalu kembali memasang senyum cerahnya kepada Danny. “Jadi, kalian mau ikut makan siang bersama kami?” Naomi melihat Danny Jo juga menyunggingkan senyumnya, yang pastilah menjadikannya model paling diminati di Korea seperti yang dikatakan Yoon.

“Terima kasih atas tawaranmu, tapi kami baru saja makan.”

“Oh, begitu,” gumam Julie sambil menatap Naomi dengan tatapan penuh arti.

“Kalau begitu, Naomi, sampai bertemu di rumah nanti.” Lalu ia menoleh kepada

Danny. “Dan sampai jumpa, danny. Sekali lagi, senang berkenalan denganmu.”

Setelah Julie kembali kepada teman-temannya dan menghilang dari pandangan,

Danny berkata, “Temanmu sepertinya menyenangkan.”

Naomi mengangkat bahu. “Jangan tertipu dengan senyumnya. Kadang-kadang dia bisa menyulitkan.” “Lebih menyulitkan darimu?”

Naomi meliriknya, lalu tersenyum samar. “Ngomong-ngomong, kurasa sudah waktunya kita pergi.”

Danny menatap jam tangannya sekilas. “Benar juga. Sebentar lagi Hyong pasti kalang kabut kalau kita belum muncul.”

Naomi bangkit dan memandang berkeliling untuk yang terakhir kalinya. “Aku harus datang ke sini lagi lain kali,” gumamnya.

“Kalau kau butuh teman, kau boleh mengajakku,” kata Danny.

Naomi menatapnya.

Danny balas menatapnya dengan alis terangkat. “Apa? Kita masih tetap berteman walaupun syuting video musik ini selesai, bukan? Kau boleh menghubungiku, kau tahu, kalau kau butuh teman. Misalnya kalau kau merasa tidak ingin makan siang sendirian, atau misalnya kau tidak ingin duduk sendirian di taman.”

Naomi berpikir sejenak, lalu perlahan-lahan, ia menghela napas panjang dan tersenyum tipis. “Akan kuingat itu,” katanya.

* * *

Naomi benar ketika berpikir Julie pasti akan bercerita kepada Chris tentang dirinya yang terlihat duduk di taman berdua dengan laki-laki. Tetapi ia salah ketika mengira Julie akan menunggu sampai ia pulang ke rumah baru menceritakannya. Malah begitu sudah menghilang dari pandangan Naomi, Julie langsung mengeluarkan ponsel dan menghubungi Chris.

“Kau melihat apa?” tanya Chris di ujung sana. Suara berisik panci, piring, dan seruan orang-orang terdengar di latar belakang.

“Aku melihatnya bersama seorang laki-laki di taman,” kata Julie sekali lagi.

“Dan aku melihat dia tersenyum.”

“Siapa? Naoi?”

“Tentu saja Naomi. Siapa lagi?” cetus Julie. “Mereka bahkan makan siang bersama! Aku hampir tidak percaya melihatnya.”

“Oh, mungkinkah laki-laki itu adalah laki-laki yang diceritakannya padaku tadi pagi?” gumam Chris, lebih pada dirinya sendiri.

“Apa?”

Chris menceritakan apa yang terjadi di dapur flat mereka tadi pagi, apa yang dikatakan Naomi, dan apa yang dirasakan Chris sendiri. “Bagaimana menurutmu?” tanya Chris pada akhirnya.

Julie mengetuk-ngetuk dagu dengan jari telunjuk. “Kurasa kau benar.” “Laki-laki itu, bagaimana tampangnya?” tanya Chris. Julie bisa mendengar tawa dalam suaranya.

“Sangat tampan. Benar-benar tipemu,” kata Julie sambil terkekeh pelan. “Dan dia kelihatannya baik.”

“Aduh, aku jadi ingin melihatnya,” erang Chris. Tetapi suaranya dengan segera berubah serius. “Lalu bagaimana dengan Naomi? Apakah dia baik-baik saja?” “Ya,” sahut Julie. “Kau tahu, aku melihatnya tersenyum, bahkan tertawa, bersama laki-laki itu. Sudah lama sekali aku tidak melihatnya seperti itu. Itu bagus, bukan?”

“Ya. Ya, tentu saja,” sahut Chris. Ia terdiam sejenak, lalu menambahkan,

“Kuharap begitu.”

* * *

Bukankah Danny bilang Naomi tidak menyukainya? pikir Bobby Shin dalam hati sambil mengamati kedua orang itu dari belakang kamera. Apakah yang dinamakan tidak suka itu seperti ini?

Saat itu adalah pengambilan adegan Danny dan Naomi bersama dan hubungan kedua orang itu terlihat baik-baik saja, di depan maupun di belakang kamera. Malah Bobby Shin agak tidak sabar ketika Danny selalu membuat Naomi kehilangan ekspresi serius yang diinginkannya. Seharusnya mereka berdua berdiri berhadapan dan berpegangan tangan, lalu wajah Naomi perlahan-lahan terangkat menatap Danny, dan setelah itu ia harus tersenyum dengan mata berkaca-kaca karena akhirnya ia berhasil bertemu dengan laki-laki yang selalu menolongnya dan mencintainya dari jauh. Seharusnya itu menjadi adegan yang romantis. Tetapi kenyataannya?

“Danny, kita tidak sedang membuat film komedi di sini,” Bobby Shin memperingatkan dari belakang kamera.

Danny berbalik dan membungkukkan badan meminta maaf. Naomi juga ikut membungkukkan badan, tetapi ia melakukannya sambil membekap mulut dengan tangan, menahan tawa.

Bobby Shin mengembuskan napas. “Sekali lagi,” katanya.

“Astaga, jangan tertawa terus. Aku jamin kau tidak mau melihat Hyong kalap,” kata Danny kepada Naomi, namun Bobby Shin bisa melihat mata Danny bersinarsinar tertawa. Lalu ia menunduk dan mengatakan sesuatu kepada Naomi yang tidak terdengar oleh Bobby Shin, dan sedetik kemudian gadis itu menatap Danny dengan matnaya yang besar itu dengan tatapan heran, lalu melirik Bobby Shin, dan akhirnya kembali menatap Danny yang mengangguk-angguk kecil.

Bobby Shin menghela napas dan menggeleng-geleng. Anak itu benar-benar...

Kemudian ia melihat senyum Naomi perlahan-lahan mengembang. Oh, oh, oh! Bobby Shin dengan cepat memberi isyarat kepada kamerawan yang memegang kamera satu untuk mengambil gambar close-up. Segera saja wajah Naomi yang tersenyum memenuhi monitor di hadapan Bobby Shin.

Sangat bagus, pikir Bobby Shin sambil tersenyum senang. Ia sudah pasti bisa memakai gambar ini nanti.

Bobby Shin kembali mengangkat wajah dan menatap kedua orang yang berdiri di depan kamera itu. Ia tidak peduli bagaimana bentuk hubungan mereka. Naomi Ishida boleh saja tidak suka pada Danny—walaupun Bobby Shin tidak yakin kenyataannya seperti itu—dan Danny boleh saja bercanda sesuka hatinya, asalkan Bobby Shin bisa mendapatkan gambar yang diinginkannya. Hanya itu yang penting. Setidaknya bagi Bobby Shin. Dan saat ini pekerjaan harus tetap dilanjutkan. Bobby Shin bertepuk tangan dua kali dan berseru, “Semuanya kebali ke posisi awal. Kita coba sekali lagi.”

Share this novel

Guest User
 


NovelPlus Premium

The best ads free experience