Bab Empat Belas

Romance Completed 43167

“KALIAN sudah tahu besok adalah hari pertunjukan perdanaku, bukan?” tanya Julie untuk kesekian kalinya hari ini.

Chris mengadahkan wajah dengan gaya dramatis. “Kami tidak mungkin lupa, Julie,” katanya dengan nada ditarik-tarik. “Demi Tuhan, kau terus mengingatkan kami setiap jam. Ada apa denganmu? Tenanglah sedikit.”

Naomi baru saja pulang ketika Julie menariknya ke dapur, di sana Chris yang mengenakan piama sutra ungu sudah berdiri sambil memegang secangkir cokelat panas dan langsung melemparkan pertanyaan tadi. Julie terlihat sangat bersemangat. Juga tegang.

“Aku tidak bisa tenang,” kata Julie sambil berjalan mondar-mandir di dapur mereka yang kecil. “Ini peran utamaku yang pertama. Pertunjukan ini harus berhasil. Harus! Kalau ini berhasil baik, maka kesempatan-kesempatan besar lain akan terbuka untukku. Aku akan terkenal! Aku akan mendapat banyak tawaran! Aku akan mendapat kesempatan berbagi panggung dengan aktor-aktor besar! Aku akan...”

“Wow, berhenti sebentar,” sela Chris sambil mengacungkan sebelah tangan ke wajah Julie. “Pelan-pelan saja. Aku tidak bisa memahami kalau kau berbicara secepat kereta api ekspres. Tarik napas dalam-dalam.”

Julie mengangguk-angguk dan menarik napas dalam-dalam, mematuhi katakata Chris. Namun ia langsung menggeleng, “Tidak, tidak. Ini tidak berhasil. Aku tidak bisa tenang. Apakah kalian sudah mengundang semua teman kalian ke pertunjukanku?”

“Tenanglah, Sayang. Aku sudah mengundang semua temanku dan aku jamin mereka pasti datang,” sahut Chris. Lalu ia mengerdip ke arah Naomi dan berbisik, “Aku sudah mengancanm mereka.” Naomi tertawa.

Julie menoleh ke arah Naomi dan menyipitkan mata. “Bagaimana dengan Danny?” tanyanya. “Kapan dia akan kembali ke London? Waktu itu dia sudah berjanji akan mengajak semua rekan kerjanya ke pertunjukanku. Kalau dia tidak jadi datang...”

“Dia akan kembali malam ini,” sahut Naomi cepat. “Setidaknya itulah yang dikatakannya padaku ketika dia meneleponku kemarin.”

Dan Naomi berharap itu benar. Danny sudah pergi selama lebih dari seminggu dan Naomi berharap bisa segera bertemu dengannya, bukan hanya melihatnya di video yang dikirimkan Danny untuknya. Naomi menghela napas dan mengembuskannya dengan pelan. Sepertinya ia mulai kacau. Danny baru pergi selama seminggu, tetapi kenapa ia merasa seolah-olah Danny sudah pergi lebih dari sebulan?

“Sekarang sudah larut dan aku sudah mengantuk,” kata Chris sambil menguap, lalu menatap Julie, “Dan kalau kau ingin aku tampil prima untuk pertunjukan perdanamu, kau akan membiarkanku tidur dengan tenang.”

Julie memberengut ke arah Chris yang berjalan ke kamarnya sendiri, lalu menoleh ke arah Naomi dan tersenyum. “Aku juga harus tidur sekarang. Aku tidak mau sampai ada lingkaran hitam di sekeliling mataku besok. Selamat malam.” Naomi balas mengucapkan selamat malam dan masih berdiri bersandar di lemari dapur beberapa saat setelah Julie masuk ke kamar. Tubuhnya terasa lelah, namun pikirannya masih segar bugar. Dan seperti yang sering dialaminya akhirakhir ini kalau sedang sendirian, pikirannya langsung melayang pada Danny Jo.

Apakah Danny akan meneleponnya kalau ia sudah tiba di London? Mungkin tidak.

Malam sudah larut dan Danny pasti sangat lelah.

Naomi memejamkan mata dan menggeleng-geleng. Oh, dear. Ini harus dihentikan. Ia tidak bisa memikirkan Danny terus. Yang harus dilakukannya sekarang adalah mandi dan tidur.

Namun ketika ia masuk ke kamarnya sendiri, ponselnya berbunyi. Ia mengeluarkan ponsel dari tas dan menatap tulisan yang muncul di layar. Wajahnya langsung berseri-seri. “Danny!”

“Wah, kedengarannya kau sedang gembira.” Suara Danny terdengar agak lelah, namun masih ada tawa di dalamnya. “Kuharap itu karena kau gembira mendengar suaraku.”

Naomi mendengus pelan, namun ia tidak bisa mencegah senyum lebar yang muncul di wajahnya. “Kau sudah ada di London?”

“Mmm,” gumam Danny membenarkan. “Baru turun dari kereta dan orang pertama yang terpikirkan olehku adalah kau. Aneh, bukan?” “Kau baru memikirkanku setelah turun dari kereta?” gurau Naomi.

“Ah, sebenarnya aku memikirkanmu sepanjang perjalanan pulang,” koreksi

Danny. “Dan setiap hari selama aku tidak ada di London. Setiap hari. Bahkan setiap jam. Bagaimana kedengarannya?”

Naomi tertawa. “Kedengarannya tidak normal.”

“Kau benar. Ini tidak normal,” desah Danny. “Ngomong-ngomong, kenapa kau belum tidur?” “Aku baru pulang.”

“Selarut ini?”

Naomi melirik jam tangan. Memang sudah hampir tengah malam.

“Pemotretannya berlangsung lebih lama daripada yang kukira,” katanya. “Tapi kenapa kau masih meneleponku kalau kau memang merasa ini sudah larut?” “Tadinya aku berencana meninggalkan pesan di kotak suaramu,” aku Danny.

“Tapi karena kau ternyata belum tidur, maukah kau membantuku?”

Sebelah alis Naomi terangkat. “Apa?”

“Sudah lama aku tidak melihatmu dan karena aku sudah tiba di London kurasa aku tidak akan bisa tidur malam ini kalau aku belum melihatmu,” kata Danny.

“Maukah kau melihat keluar jendela?”

Apa? Naomi mengerjap kaget sementara jantungnya mulai berdebar semakin keras dan cepat. Tanpa membuang-buang waktu, ia melompat ke jendela kamar tidurnya dan menyibakkan tirai. Benar saja. Danny Jo sedang berdiri di bawah tiang lampu di seberang jalan di depan gedung flat Naomi. Sebelah tangannya yang tidak memegang ponsel terangkat menyapa Naomi. Wajahnya yang terdongak ke arah Naomi terlihat agak pucat dan lelah, namun senyum yang sangat disukai Naomi itu tetap tersungging di bibirnya.

“Danny,” Naomi merasa hatinya membuncah dan ia tidak bisa menahan senyumnya.

“Atau kau bisa turun sebentar dan membiarkanku melihatmu dari dekat,” tambah Danny pelan.

Naomi tidak ragu sedetik pun. “Tunggu di sana,” katanya, lalu berbalik, melesat keluar dari kamarnya, keluar dari pintu flat dan berlari menuruni tangga. Kurang dari tiga puluh detik kemudian ia sudah menginjak trotoar di depan gedung flatnya. Ia harus mencegah dirinya berlari menyeberangi jalan dan memeluk Danny. Tanpa melepaskan pandangan dari wajah Danny, Naomi memaksa dirinya berjalan dengan tenang menyeberangi jalan yang sudah sepi dan berhenti di depan Danny. “Cepat sekali,” komentar Danny sambil tersenyum ke dalam mata Naomi. Naomi mengangkat bahu. “Yah, semakin cepat aku turun ke sini dan menemuimu, semakin cepat kau bisa pulang dan membiarkan aku tidur.” Danny tertawa pelan. Lalu ia mengangkat sebelah tangannya dan menyentuh pipi Naomi. “Benarkah?”

Mata Naomi melebar, napasnya tercekat, jantungnya berdebar begitu keras sampai rasanya hampir melompat keluar dari dadanya. Tetapi ia tidak bisa bergerak. Tidak bisa berbicara. Tidak bisa bernapas. Mata Danny yang gelap seolaholah menghipnotisnya. Tangan Danny terasa hangat di pipi Naomi yang dingin. Kehangatan tangan itu mulai meresap di kulit Naomi dan menjalari seluruh tubuhnya. Sama seperti waktu itu di flat Danny.

Perlahan-lahan tangan Danny bergerak merangkul bahu Naomi dan menariknya mendekat. Dan sebelum Naomi bisa bereaksi, kedua lengan Danny sudah melingkari tubuhnya, menyelubunginya dengan kehangatan. Naomi mengerjap kaget. Kaget karena Danny memeluknya. Kaget karena ia membiarkan Danny melakukannya. Kaget karena rasa aman yang dirasakannya dalam pelukan Danny.

“Ah, senang sekali melihatmu lagi,” gumam Danny di pelipis Naomi. Naomi pun mengembuskan napas yang ditahannya sejak tadi, seiring dengan ketegangan yang menguap dari tubuhnya. Ia menyandarkan dagunya di bahu Danny dan memejamkan mata. Ia bisa merasakan debar jantung Danny, dan entah kenapa hal itu membuatnya merasakan kedamaian yang belum pernah dirasakannya selama ini.

Lalu suara Danny yang rendah kembali terdengar dai balik kabut kedamaian

yang menyelimutinya dengan nyaman. “Apa yang akan kaulakukan besok?” Sulit rasanya berpikir tentang besok ketika saat ini ia sedang berada dalam pelukan Danny, tetapi Naomi berhasil memaksa otaknya bekerja. “Besok pagi aku harus pergi menemui agenku.”

“Setelah itu?”

“Bersiap-siap untuk menghadiri pertunjukan perdana Julie.”

Danny tertawa kecil. “Kau tidak perlu menghabiskan seharian mempersiapkan diri.” Ia melepaskan pelukannya, kedua tangannya memegang bahu Naomi, lalu ia mengamati Naomi dari kepala sampai ke kaki, lalu kemblai ke wajah Naomi.

“Menurutku kau sudah sempurna.”

Wajah Naomi pun memanas. Ia yakin wajahnya terlihat merah, bahkan di bawah sinar lampu jalan yang remang-remang.

“Setelah kau menemui agenmu, dan sebelum kita menghadiri pertunjukan Julie, bagaimana kalau kau menemaniku menghabiskan hari liburku?” Bagaimana mungkin Naomi menolak sementara Danny tersenyum padanya seperti itu. Dan saat itulah ia menyadari sesuatu, sesuatu yang sudah tersembunyi rapi di dalam hatinya sejak lama, namun kali ini perasaan itu begitu kuat sampai tidak mungkin diabaikan lagi.

Sepertinya ia sudah jatuh cinta pada Danny Jo.

Oh, dear...

Share this novel

Guest User
 


NovelPlus Premium

The best ads free experience