Bab Dua Puluh Dua

Romance Completed 43167

Seoul, Korea Selatan

Dua tahun kemudian

MATAHARI bersinar cerah dan langit terlihat biru ketika Danny mengendarai mobil keluar dari gedung apartemennya. Musim semi benar-benar sudah tiba. Sejenak Danny termenung. Musim semi sudah tiba lagi dan itu berarti sudah dua tahun berlalu sejak terakhir kali ia bertemu dengan Naomi. Sejak terakhir kali ia berbicara dengan Naomi. Sejak Naomi meninggalkannya.

Dering ponsel membuyarkan lamunannya. Ia melirik ponselnya dan memasang earphone ke telinga. “Ya, Nuna. Ada apa?”

“In-Ho, aku butuh bantuanmu,” kata Anna Jo tanpa basa-basi.

Alis Danny terangkat heran. “Bantuan apa?”

“Aku ingin kau menjadi model untuk iklan koleksi pakaian musim panasku,” kata kakaknya cepat. “Aku tahu, aku tahu... Sekarang ini kau pasti sangat sibuk dengan pekerjaanmu sebagai sutradara. Oh, ngomong-ngomong, aku sudah melihat musik video yang kaubuat untuk penyanyi baru itu dan aku harus mengucapkan selamat kepadamu. Dia pasti akan terkenal gara-gara video musiknya. Tapi mari kita kembali ke topik awal. Aku ingin kau yang menjadi modelku. Bagiku tidak ada

lagi model yang lebih cocok selain dirimu. Bagaimana?” Danny tersenyum. “Tapi, Nuna, besok aku harus pergi ke Jepang.”

“Ke Jepang? Untuk apa? Ada pekerjaan di sana?”

Danny ragu sejenak. “Bukan. Aku hanya ingin menemui seseorang di sana.”

“Tapi tentunya tidak akan lama, bukan? Pemotretan untuk iklanku akan dilakukan minggu depan. Tentunya kau sudah kembali saat itu?” tanya Anna penuh harap.

Danny mendesah berlebihan, namun bibirnya tersenyum. “Baiklah, Nuna. Tapi aku tetap akan meminta bayaran.”

“Siapa yang menyangka model dan sutradara terkenal sepertimu masih butuh uang?” gerutu kakaknya.

Danny hanya tertawa.

“Ngomong-ngomong, siapa yang ingin kautemui di Jepang?”

Danny menghela napas. “Seseorang yang sangat ingin kutemui selama dua tahun terakhir ini,” sahutnya pelan.

Kakaknya terdengar bingung. “Seseorang yang... Siapa?”

Danny tersenyum lagi. “Lain kali saja kuceritakan. Dah, Nuna.”

Tanpa menunggu jawaban kakaknya Danny memutuskan hubungan dan melepas earphone dari telinga. Ia menghela napas sekali lagi.

Dua tahun terakhir ini sama sekali tidak mudah bagi Danny dan keluarganya. Wanita yang dulu meyakini dirinya sebagai orang yang digosipkan dalam skandal dengan kakak Danny, memang benar-benar mengira dirinyalah yang dimaksud dalam gosip. Dan wanita itu sama sekali tidak keberatan dijadikan bahan gosip karena ia memang bermaksud mendongkrak popularitasnya.

Walaupun ada beberapa pihak yang menerima pernyataan wanita itu, banyak juga pihak yang masih meragukannya dan merasa bahwa sebenarnya memang ada kejahatan yang terjadi. Namun karena tidak adanya bukti dan saksi yang kuat untuk mendukung kecurigaan mereka, perlahan-lahan skandal itu pun mereda, walaupun tidak sepenuhnya karena sampai sekarang pun masih ada orang yang mempertanyakan kebenaran skandal itu.

Setelah skandal kakak laki-lakinya mereda dan memastikan keluarganya baikbaik saja, Danny kembali ke London untuk melanjutkan pekerjaannya dengan Bobby Shin. Setahun kemudian itu ia kembali ke Seoul dan memulai peran barunya sebagai sutradara video musik. Video musik pertama yang digarapnya sukses besar dan sejak itu banyak tawaran datang kepadanya.

Danny sudah menepati janjinya. Ia sudah memberikan waktu yang dibutuhkan Naomi, ia sudah menjadi sutradara terkenal, dan ia tidak pernah mencoba menghubungi Naomi selama ini. Sebenarnya yang terakhir itulah yang paling sulit dilakukan. Tidak bertemu dan berbicara dengan gadis itu saja sudah cukup membuat danny tertekan. Tetapi tidak tahu di mana Naomi, apa yang sedang dilakukannya, bagaimana keadaannya, membuat Danny hampir gila. Itulah sebabnya ia pergi mencari Chris Scott, mantan teman satu flat Naomi, ketika ia kembali ke London dan menanyakan alamat Naomi di Jepang. Danny tersenyum masam mengingat semua yang harus dilakukannya demi mendapatkan alamat itu dari Chris.

Walaupun Danny sudah berhasil mendapatkan alamat Naomi, ia tidak pernah berusaha menemui gadis itu. Karena ia sudah berjanji dan ia bermaksud menepati janjinya.

Namun dua tahun bukan waktu yang singkat. Setidaknya bagi Danny. Tentu saja dalam dua tahun ini keadaan sudah kurang-lebih kembali seperti sedia kala. Skandal kakaknya sudah mulai terlupakan karena banyaknya skandal baru, yang melibatkan artis-artis baru yang sedang terkenal. Nama Naomi sama sekali tidak siangkut-pautkan dalam skandal kakak Danny. Keluarga Danny berhasil melewati masa sulit itu dengan baik, bahkan ibunya juga sudah mulai berusaha menjodohkannya seperti dulu. Segalanya terlihat baik.

Segalanya kecuali dirinya sendiri.

Danny tidak merasa baik. Dan ia tahu ia tidak akan pernah merasa baik sampai

Naomi kembali kepadanya. Karena itulah ia memutuskan untuk pergi ke Jepang.

Kalau Naomi tidak bisa datang kepadanya, ia yang akan pergi menemui gadis itu.

* * *

Anna Jo tersenyum puas sambil menurunkan ponsel dari telinga.

“Bagaimana?” tanya asistennya dengan nada penuh harap.

“Tentu saja dia setuju melakukannya. Adikku itu selalu bisa diandalkan,” kata

Anna senang. Lalu tiba-tiba teringat sesuatu. “Bagaimana dengan model wanitanya?

Mereka menerima tawaran kita?”

Baru-baru ini ia melihat iklan di salah satu majalah yang menampilkan seorang model wanita yang menurutnya sangat cocok mewakili koleksi pakaian terbarunya.

Ia langsung menyuruh asistennya mencari tahu tentang model itu. “Mereka belum memberikan jawaban,” kata si asisten, menjawab pertanyaan Anna tadi.

Anna mendesah dan menggigit bibir. “Katakan pada mereka bahwa aku tahu ini agak terburu-buru, tapi aku benar-benar berharap bisa bekerja sama dengan model yang itu.” Ia terdiam sejenak, lalu bertanya, “Ngomong-ngomong, siapa namanya?”

Si asisten melirik buku catatannya, lalu menjawab, “Naomi Ishida. Dan apakah kau tahu dia pernah membintangi video musik Jung Tae-Woo bersama adikmu?”

* * *

Tokyo, Jepang

“Naomi,” panggil Keiko dari ruang duduk. “Kau sudah siap? Mereka sudah menunggu kita di bawah.”

Tidak terdengar jawaban dari kamar. Keiko menghela napas dan berjalan ke kamar tidur yang ditempatinya bersama saudara kembarnya. Ia melongokkan kepala ke dalam kamar. “Naomi.”

Naomi sedang duduk di kursi meja tulis. Kedua kakinya diangkat ke atas kursi dan dagunya ditopangkan ke lutut. Matanya menatap kosong ke depan dan jelasjelas sedang melamun.

“Naomi,” panggil Keiko lagi, sedikit lebih keras.

Kali ini Naomi tersentak dan menoleh. “Oh, ada apa, Keiko?”

“Kau sudah siap? Mereka sudah menunggu kita di bawah,” kata Keiko.

Naomi mengerjap tidak mengerti.

Keiko masuk ke dalam kamar. “Kita akan makan malam di tempat Nenek

Osawa. Kau ingat?”

Yang dipanggil Kakek dan Nenek Osawa sebenarnya adalah pasangan tua yang menempati apartemen di lantai bawah. Mereka juga adalah penanggung jawab gedung apartemen yang hanya bertingkat dua itu dan sering sekali mengundang semua penghuni lain—yang hanya berjumlah lima orang termasuk Naomi—makan malam bersama.

“Ah, kau benar. Kenapa aku bisa lupa iu?” gumam Naomi sambil bangkit dari kursi. “Tunggu sebentar. Aku akan segera siap.”

Keiko bisa melihat bahwa saudara kembarnya sedang risau. “Ada masalah apa, Naomi?” tanyanya langsung.

Naomi berhenti di depan lemari pakaian dan berbalik menghadap Keiko. Ia menggigit bibir, ragu, lalu akhirnya berkata, “Aku mendapat tawaran pembuatan iklan di Korea. Iklan pakaian.” Ia berhenti sejenak, menarik napas. “Perancangnya adalah kakak perempuan Danny.”

Keiko tahu siapa Danny yang dimaksud Naomi. Ketika Naomi kembali ke Tokyo dua tahun lalu, Naomi telah menceritakan semuanya. Semuanya. Ia menceritakannya sambil menangis tersedu-sedu. Termasuk rahasia gelap yang sudah dipendamnya selama bertahun-tahun. Ia menceritakan semua itu kepada Keiko pada hari pertama ia kembali ke Tokyo. Saat itu Keiko benar-benar terguncang mendengar tentang kejadian mengerikan yang dialami Naomi dan sedih membayangkan Naomi menanggung semua luka dan mimpi buruk itu sendirian.

Pada akhirnya Keiko hanya bisa berkata pada Naomi bahwa ia senang Naomi menceritakan semua itu kepadanya dan berkata bahwa ia berharap kini Naomi merasa sedikit lebih lega karena telah mencurahkan seluruh beban hatinya. Ia juga meyakinkan Naomi bahwa semuanya akan baik-baik saja. Kemudian mereka berdua pun menangis bersama.

Satu hal yang mereka sepakati bersama adalah bahwa orangtua mereka tidak perlu tahu tentang masalah ini. Tidak ada gunanya. Malah hanya akan menambah beban dan luka. Lagi pula orang yang melakukan kejahatan itu sudah meninggal dunia dan bagaimaanpun juga Naomi bisa dibilang baik-baik saja. Keiko juga tahu alasan Naomi kembali ke Tokyo adalah Danny Jo. Danny adalah adik laki-laki penjahat yang menyakiti Naomi, namun Danny juga adalah satu-satunya pria yang entah bagaimana berhasil menyelinap masuk dan memiliki hati Naomi. Keiko mengerti dilema yang dihadapi saudara kembarnya. Sungguh, ia mengerti. Tapi...

“Apakah menurutmu kakak perempuannya itu tahu tentang dirimu?” tanya Keiko.

Naomi menggigit bibir. Danny tidak mungkin memberitahu kakak perempuannya tentang masalah Naomi. Tidak mungkin. “Tidak,” sahutnya, lalu mengangkat bahu. “Entahlah. Aku tidak tahu.”

“Jadi apakah kau menerima pekerjaan itu?” tanya Keiko lagi.

Naomi merentangkan kedua lengannya dan menjatuhkannya ke sisi tubuhnya. “Aku tidak tahu. Aku belum memutuskan,” sahutnya. Ia mengangkat sebelah tangan ke kening. “Kalau aku menerima pekerjaan itu, ada kemungkinan aku akan bertemu kembali dengan Danny.”

“Lalu kenapa? Kau tidak ingin bertemu dengannya?”

Naomi menahan napas. Dan tiba-tiba saja, tanpa peringatan apa pun, setetes air mata jatuh bergulir di pipinya. Ia duduk di pinggiran tempat tidur dan berusaha mengendalikan diri.

“Naomi.” Keiko segera menghampirinya dan duduk di sampingnya. “Ada apa?”

Naomi mencoba menarik napas dan mengembuskannya untuk mengendalikan diri, namun tidak benar-benar berhasil. “Bodoh, bukan? Sudah dua tahun berlalu, tapi aku masih tetap seperti ini setiap kali mendengar namanya. Aku masih belum bisa melupakannya. Apa yang salah denganku?”

“Apa yang salah denganmu?” Keiko balas bertanya. “Naomi, tidak ada yang salah dengna dirimu. Kau hanya mencintainya.”

Naomi berpaling ke arah Keiko. Ia membuka mulut, namun tidak ada kata-kata yang keluar.

“Kau tidak pernah mengakuinya kepadaku, Naomi, tapi aku tahu apa yang kaurasakan,” kata Keiko. “Alasan apa lagi selain itu yang membuatmu begitu tekun mengikuti kursus bahasa Korea selama ini?” Naomi menutup mulutnya.

Keiko melanjutkan, “Dua tahun adalah waktu yang cukup lama untuk berpikir dan mengambil keputusan. Kau sudah berhasil menghadapi masa lalumu, mimpi burukmu. Sekarang waktunya kau menghadapi apa yang ada dalam hatimu.”

Naomi menggigit bibir, lalu berkata lemah, “Tapi...”

“Dia bukan kakaknya.”

Kata-kata Keiko membuat Naomi terdiam. Kata-kata itu sama seperti yang pernah diucapkan Danny.

Aku bukan kakakku. Aku tidak akan pernah menyakitimu.

Apakah kau percaya padaku?

Kuharap kau bisa. Kalau bukan sekarang, mungkin suatu hari nanti. Oh, Naomi memang percaya. Naomi percaya padanya. Ia tahu Danny tidak seperti kakaknya. Sungguh, ia tahu. Hanya saja... “Bagaimana dengan keluarganya?

Bagaimana kalau mereka tahu tentang kejadian itu?” tanyanya. “Tidak, tidak... Aku belum siap.”

Keiko meremas pundak saudaranya. “Kau sendiri pasti sudah ribuan kali memikirkan pertanyaan itu selama dua tahun terakhir ini dan aku yakin sampai sekarang kau belum menemukan jawabannya. Apa yang membuatmu berpikir bahwa menunggu satu hari, satu bulan, atau satu tahun lagi akan ada bedanya?” “Mereka pasti akan membenciku,” gumam Naomi sambil menggeleng, “kalau mereka sampai tahu yang sebenarnya.”

“Kenapa mereka akan membencimu?” tanya Keiko heran. “Naomi, bukan kau yang bersalah di sini.”

Naoi tertegun. Ya, Keiko benar. Ia tidak bersalah dalam masalah itu. Ia tidak bersalah...

“Tapi dua tahun sudah berlalu,” kata Naomi dengan suara bergetar. “Sudah terlalu lama. Keadaan mungkin sudah berubah. Dia mungkin sudah berubah.

Segalanya mungkin sudah terlambat.”

Keiko merangkul pundak Naomi dan berkata, “Tapi kau tidak akan tahu sebelum kau mencobanya, bukan? Kalau keadaan memang sudah berubah, kalau dia memang sudah berubah, bukankah lebih baik kau mengetahuinya dengan pasti daripada bertanya-tanya selama sisa hidupmu?”

Naomi menatap saudara kembarnya dan bertanya-tanya sejak kapan Keiko berubah sebijak ini? Tetapi Keiko memang jenis orang yang selalu berpikir rasional. Mungkin itu ada hubungannya dengan kegemaran Keiko membaca buku. Naomi tahu apa yang dikatakan Keiko itu benar.

“Kau tahu aku benar, Naomi,” kata Keiko lagi, seolah-olah bisa membaca pikiran suadara kembarnya.

Kali ini Naomi tersenyum, menghapus air matanya dengan telapak tangan dan mengangguk. “Seperti biasanya, Keiko. Kau benar,” katanya. Lalu ia menghela napas dalam-dalam. “Kurasa aku akan menerima pekerjaan itu.”

Keiko balas tersenyum. “Bagus kalau begitu. Sekarang ayo kita pergi makan malam. Mereka pasti sudah kelaparan setengah mati karena menunggu kita.”

Share this novel

Guest User
 


NovelPlus Premium

The best ads free experience