Bab Enam

Romance Completed 43167

KEESOKAN paginya Christopher Scott berdiri di depan jendela dapur dan cemberut menatap langit mendung di luar. Ia memang sudah terbiasa dengan cuaca kota London yang tidak menentu, tetapi itu tidak berarti ia menyukainya. Ia menyesap tehnya, lalu kembali memusatkan perhatian pada adonan panekuk di atas meja dan menghela napas. Ia suka memasak, dan ia meyakini kata-kata ibunya sejak ia masih kecil, bahwa sarapan adalah makanan paling penting dalam sehari. Sayang sekali kedua teman satu flatnya tidak meyakini hal yang sama. Julie hanya perlu secangkir kopi di pagi hari dan Naomi terlalu sibuk untuk makan. Kalau tidak ada Chris di sini, kedua gadis itu pasti sudah kering kerontang seperti tengkorak. Ia mendongak ketika pintu kamar Naomi terbuka dan Naomi yang terbungkus jubah tidur muncul dengan wajah pucat dan lingkaran hitam di sekeliling matanya. “Astaga, lass, apa yan gterjadi padamu? Kau terlihat seperti tidak tidur semalaman,” kata Chris.

“Tidak bisa tidur,” gumam Naomi dengan suara serak sementara ia duduk di salah satu dari tiga kursi kayu di meja makan dan mengangkan kedua kaki ke atas kursi.

“Tunggu sebentar,” kata Chris cepat. “Akan kutuangkan teh untukmu, lalu kau bisa menceritakannya padaku.”

“Cerita tentang apa?”

“Jangan pura-pura bodoh, Sayang,” kata Chris sambil meletakkan secangkir teh yang mengepul di depan Naomi, lalu duduk di hadapannya. “Aku sudah mengenalmu cukup lama untuk tahu bahwa kau sedang ada masalah. Sekarang kau boleh menceritakannya padaku sambil makan. Ini panekuknya dan ini madunya.

Aku tahu kau suka makan panekuk dengan madu.”

Naomi tersenyum kecil ketika Chris mendorong sepiring panekuk hangat ke arahnya. “Kau terdengar seperti ibuku,” gumamnya pelan.

“Seseorang memang harus berperan sebagai ibu kalau ada kau dan Julie di sini,” omel Chris. Tetapi kemudian ia tersenyum ketika melihat Naomi mulai melahap panekuknya. “Sekarang ceritakan padaku apa yang membuatmu tidak bisa tidur semalaman?”

“Di mana Julie? Belum bangun?”

“Dia sudah pergi pagi-pagi tadi,” sahut Chris. “Katanya ada audisi.” Naomi mengangguk-angguk.

“Sekarang ceritakan padaku sebelum kesabaranku habis,” desak Chris. Naomi meringis dan melahap panekuknya lagi. Kemudian ia ragu sejenak, sepertinya sedang memikirkan kata-kata yang tepat, lalu berkata dengan hati-hati,

“Ada seorang laki-laki.”

Alis Chris terangkat heran. Selama ia mengenal Naomi, ia belum pernah mendengar Naomi membicarakan laki-laki mana pun. “Laki-laki? Siapa?” “Rekan kerjaku,” lanjut Naomi tanpa menatap Chris. “Lawan mainku untuk video musik ini. Dia...”

“Dia mengganggumu?” tebak Chris dengan alis berkerut.

Naomi mengangkat wajah dan cepat-cepat menggeleng. “Tidak. Tidak, dia tidak... Maksudku tidak seperti itu.” Lalu ia mengalihkan tatapan ke luar jendela.

“Dia tidak menggangguku.”

Ketika Naomi masih diam, Chris menebak lagi. “Kalau begitu, dia merayumu?” Naomi kembali menunduk. “Tidak, dia tidak seperti itu,” gumamnya sambil menghela napas.

“Lalu apa?” Chris mengerang, terlalu penasaran untuk bersikap sabar. Naomi menggigit bibir sejenak, lalu mengangkat wajah menatap Chris dan berkata, “Tidak apa-apa. Sama sekali tidak apa-apa.” Ia mengangkat bahu. “Kau mungkin tidak tahu, tapi aku tidak pernah merasa nyaman bersama... laki-laki dan...”

“Aku tahu,” sela Chris. Ketika Naomi menatapnya dengan bingung, ia menambahkan, “Julie juga tahu.”

“Kalian tahu?” Naomi menatapnya dengan heran.

Chris memutar bola matanya. “Tentu saja kami tahu, Naomi, walaupun kami tidak tahu apa alasannya. Sudah berapa tahun kita tinggal bersama? Selama itu kami belum pernah melihatmu bersama laki-laki mana pun. Jangankan pacar, kau bahkan juga tidak punya teman berjenis kelamin laki-laki. Kecuali aku, tentu saja, tapi itu kasus yang berbeda.”

Naomi meletakkan garpu dan memeluk kedua kakinya.

“Kau mau membicarakan alasannya?” tanya Chris.

“Tidak,” jawab Naomi cepat.

Chris mengembuskan napas pelan. “Baiklah. Kita bicarakan laki-laki ini saja.

Apa masalahmu dengannya? Kau tadi bilang dia tidak mengganggumu.”

“Memang tidak.”

“Dia baik?”

Naomi mengangkat bahu. “Yah... bisa dibilang begitu.”

“Dia tampan?”

“Apakah itu ada hubungannya?”

“Banyak! Nah, dia tampan atau tidak?”

Naomi terdiam sejenak, lalu bergumam, “Lumayan.”

Chris bersandar kembali. “Baiklah. Jadi dia baik dan juga tampan. Sejauh ini aku tidak melihat ada masalah.”

Naomi menarik napas panjang, menoleh ke luar jendela, lalu bergumam, “Dia...

dia mengingatkanku pada hal-hal yang tidak pernah ingin kuingat lagi.” Chris menatap Naomi sejenak. “Maksudmu, dia mengingatkanmu pada seseorang di masa lalumu? Seseorang yang tidak menyenangkan?” tanyanya pelan. Naomi menoleh ke arah temannya dan tersenyum masam. “Aku lupa kau pintar membaca pikiran wanita,” gerutunya.

Chris tidak menghiraukan kata-katanya dan terus bertanya, “Tapi seseorang di masa lalu itu bukan dia, kan?”

“Bukan.”

“Lalu kenapa kau menyamakan orang itu dengan dia?”

“Aku tidak...”

“Tidak?” tanya Chris dengan alis terangkat. Lalu ia mendesah pelan dan mencondongkan tubuh ke depan dan menggenggam tangan Naomi. “Dengar, Naomi, aku tidak tahu apa yang terjadi di masa lalu. Mungkin kau pernah terluka karena seorang laki-laki. Atau mungkin alasannya sama sekali berbeda. Entahlah. Hanya kau yang tahu. Tapi kau harus tahu bahwa tidak semua laki-laki itu sama.

Rasanya tidak adil memusuhi semua laki-laki hanya karena kesalahan satu orang. Terutama apabila laki-laki itu sebaik yang kaukatakan tadi.” Ia tersenyum. “Lakilaki yang normal, tampan, dan baik sulit didapatkan, kau tahu?” Naomi ikut tersenyum mendengarnya. “Aku tidak bermaksud menjalin hubungannya dengannya, kau tahu?”

“Aku tahu. Tapi tidak ada salahnya berteman, bukan?” kata Chris ringan. “Kalau dia ternyata tidak sebaik yang kaukira, atau kalau dia macam-macam padamu, kau punya aku di sini. Begini-begini aku bisa menendangnya sampai ke negara tetangga, kau tahu? Atau Julie bisa meminta salah seorang pengawal pribadi ayahnya menghabisinya di tempat.”

Seulas senyum mulai tersungging di sudut bibir Naomi.

Chris ikut tersenyum. “Tapi kalau nantinya dia memang terbukti baik dan kalau kau memang tidak tertarik padanya, kau boleh melemparkannya kepadaku. Siapa tahu...?”

Kali ini Naomi tertawa.

“Baguslah kau sudah tertawa. Sekarang habiskan panekukmu dan pergi mandi,” kata Chris puas. Lalu ia terdiam sejenak dan mengerjap. “Astaga, aku benar-benar terdengar seperti ibu-ibu.”

* * *

Kafe kecil khas Inggris di West End itu terlihat ramai. Bukan oleh para tamu yang ingin menikmati secangkir teh atau sandwich mentimun, tapi oleh para staf produksi video musik yang saling mengobrol dan berseru dalam bahasa Korea. Sementara para stafnya sibuk mempersiapkan semuanya, Bobby Shin duduk di luar kafe, menempati salah satu meja bundar bercat putih di trotoar, dengan secangkir kopi panas di hadapannya. Langit siang itu terlihat mendung, tetapi Bobby Shin sama sekali tidak khawatir. Syuting hari ini seluruhnya akan dilakukan di dalam ruangan.

“Halo, Hyong.”

Bobby Shin mengangkat wajah dari lembaran-lembaran kertas di pangkuannya dan langsung bertatapan dengan Danny Jo yang entah bagaimana sudah menempati salah satu kursi besi di hadapannya. “Oh, halo. Kau sudah makan siang? Kalau belum sebaiknya kau pergi makan dulu karena kami semua sudah makan tadi,” kata Bobby Shin sambil kembali menunduk menatap kertas-kertasnya. Danny tidak menjawab, malah memandang berkeliling sejenak, lalu kembali menatap Bobby Shin. “Hyong sudah melihat Naomi?”

Bobby Shin menggeleng. “Sepertinya dia belum datang. Mungkin sebentar lagi.”

“Hyong, apa pendapat Hyong tentang dia?” tanya Danny tiba-tiba.

“Dia profesional,” sahut Bobby Shin sambil kembali membalik-balikkan kertas di pangkuannya. “Punya wajah yang cocok untuk video musik ini.” “Maksudku selain itu,” kata Danny. “Apa yang Hyong ketahui tentang dia?” Kali ini Bobby Shin mengangkat wajah dan menatap Danny dengan tatapan heran. “Apakah ada hal lain yang perlu kuketahui tentang dia selain kenyataan bahwa dia profesional, memiliki wajah yang cocok untuk video musik ini, juga sangat cocok berpasangan denganmu?” Bobby Shin balas bertanya. “Bagaimanapun juga, Tae-Woo sudah memutuskan sejak awal bahwa dia ingin kau membintangi video musik yang ini. Jadi kami hanya perlu mencari model wanita yang cocok denganmu.”

Danny meringis. “Dengan kata lain, Hyong tidak tahu apa-apa tentang dia di luar urusan pekerjaan?”

“Apakah aku harus tahu?” tanya Bobby Shin heran. Ia tidak pernah mengurusi urusan pribadi model-modelnya. Baginya, selama mereka melakukan semua yang diinginkannya di depan kamera, ia tidak peduli dengan apa pun yang mereka lakukan di belakang kamera.

Danny mengembuskan napas, lalu berkata, “Sepertinya dia tidak suka padaku.” “Masa?” tanya Bobby Shin acuh tak acuh. “Apa yang sudah kaulakukan padanya?”

“Aku tidak melakukan apa-apa.”

Bobby Shin menyipitkan mata memandang melewati bahu Danny. “Itu dia,” katanya. “Orang yang kaucari-cari sudah datang.”

Danny segera berbalik dan melihat Naomi Ishida sedang berjalan menghampiri Yoon yang melambai-lambaikan tangan ke arahnya.

“Kau harus mengerahkan pesonamu, Danny. Usahakan agar dia menyukaimu, paling tidak di depan kamera,” kata Bobby Shin. “Hari ini kalian berdua akan tampil bersama di depan kamera dan aku tidak mau ada masalah.”

“Aku tahu,” Danny mendesah. Lalu ia tersenyum masam, berdiri dan berjalan pergi. Saat itu Bobby Shin baru melihat langkah kaki Danny yang timpang.

“Hei, Danny, apa yang terjadi dengan kakimu?” tanyanya.

Danny mengibaskan sebelah tangan. “Tidak ada yang perlu dikhawatirkan.”

Bobby Shin mengangkat bahu. Ia hanya berharap Danny tidak akan terlihat timpang di depan kamera.

* * *

Naomi sudah tahu Danny Jo berjalan menghampiri mereka bahkan sebelum Yoon menyerukan nama laki-laki itu dengan nada cemas. Naomi menoleh dan langsung bisa menebak apa yang membuat Yoon terdengar cemas. Langkah Danny Jo terlihat timpang. Namun sebelum Yoon sempat bertanya lebih jauh, seseorang berseru memanggilnya dan hal berikut yang disadari Naomi adalah ia sudah ditinggal berdua dengan Danny Jo.

“Halo,” sapa Danny sambil tersenyum cerah. “Kuharap kau mendapat waktu istirahat yang cukup semalam.” “Ya,” gumam Naomi singkat.

Tiba-tiba Danny Jo membungkuk dan mendekatkan wajahnya ke wajah Naomi. Naomi terlalu kaget untuk bergerak. Mata Danny Jo mengamati wajahnya, lalu lakilaki itu memiringkan kepala sedikit dan bergumam, “Tapi kau masih terlihat pucat pagi ini. Kurang tidur?”

Naomi mengerjap dan cepat-cepat mundur selangkah. “A-ada apa dengan kakimu?” tanyanya agak tergagap karena ingin mengalihkan topik pembicaraan. Danny menunduk menatap kakinya, lalu tersenyum. “Seseorang menginjak kakiku semalam,” jawabnya ringan. “Kemarin tidak terasa sakit, tapi tiba-tiba pagi ini kakiku sudah bengkak. Aneh, bukan?”

Seseorang menginjak kakinya semalam? Naomi mengangkat wajah dan menatap Danny Jo yang masih tersenyum. “Aku?” tanyanya ragu. Ia ingat ia memang menginjak kaki Danny Jo di tangga restoran kemarin malam. “Jangan khawatir,” Danny menenangkannya. “Tidak ada tulang yang patah.

Dikompres sedikit saja pasti sembuh.”

Naomi masih tidak yakin. Mungkin memang tidak ada tulang yang patah, tapi...

“Kau sudah ke dokter?” tanyanya.

Danny mengangkat bahu. “Untuk apa ke dokter hanya gara-gara masalah kecil ini?”

Alis Naomi berkerut samar.

“Kalau kau masih merasa bersalah,” sela Danny cepat, “kau bisa mentraktirku makan. Aku belum sempat makan siang dan aku ingin sekali makan fish and chips. Kau sudah makan siang?”

“Aku sudah sarapan,” kata Naomi.

Danny mendesah. “Sarapan dan makan siang itu berbeda. Kau tidak mau jatuh pingsan lagi, bukan?” Ketika Naomi mendelik ke arahnya, senyumnya malah bertambah lebar dan ia menambahkan, “Ayo, ikut aku. Syutingnya baru akan dimulai dua jam lagi dan aku tahu tempat yang menjual fish and chips paling enak di seluruh penjuru London. Semoga saja mereka belum pindah.”

Naomi membuka mulut ingin menolak, tetapi ia teringat pada pembicaraannya dengan Chris di meja dapur pagi tadi. Tidak ada salahnya berteman, bukan? Dan Danny Jo sendiri juga mengatakan hal yang mirip seperti itu kemarin malam.

Naomi menutup mulutnya kembali dan menatap Danny Jo yang sedang menyerukan sesuatu kepada Sutradara Shin dalam bahasa Korea. Mungkin berkata bahwa mereka akan pergi makan siang. Kemudian ia kembali menoleh kepada Naomi, masih dengan senyum cerah yang sama. “Kita pergi sekarang?” tanyanya.

Naomi ragu sejenak, lalu ia pun mengangguk.

Ia akan mencobanya. Mencoba berteman dengan Danny Jo.

Share this novel

Guest User
 


NovelPlus Premium

The best ads free experience