Bab Lima Belas

Romance Completed 43167

KEESOKAN harinya ketika Naomi keluar dari kantor agennya, ia melihat Danny sudah duduk menunggunya di atas sepda motor besar berwarna perak. Danny tersenyum lebar sambil mengulurkan helm kepadanya. “Ini sepeda motor Hyong. Dia meminjamkannya kepadaku hari ini. Ayo, naiklah.” Naomi menatap Danny dan sepeda motor itu bergantian. “Kau harus tahu bahwa ini pertama kalinya aku naik sepeda motor,” katanya ragu.

Danny mengenakan helmnya sendiri. “Benarkah? Kau sudah banyak mendapat pengalaman baru bersamaku, bukan?” tanya Danny ringan. “Dan hari ini kita akan mencari pengalaman baru lagi. Ayo, naiklah. Kau percaya padaku, bukan?” Naomi menatapnya sesaat, lalu perlahan-lahan keraguan memudar dari matanya dan ia tersenyum. “Baiklah.”

Seperti yang dijanjikan Danny, Naomi mendapat berbagai pengalaman baru hari itu. Selama tiga tahun tinggal di London, hari itu Naomi naik sampan di Regent?s Park untuk pertama kalinya, menyaksikan pergantian pengawal kerajaan di Buckingham Palace untuk pertama kalinya, dan naik London Eye untuk pertama kalinya. Lalu mereka makan dan berjalan-jalan di Leicester Square, daerah yang menjadi wilayah pejalan kaki dan pusat hiburan di West End tempat berbagai jenis seniman jalanan bersaing berebut perhatian.

Waktu memang berlalu dengan cepat ketika kau sedang bersenang-senang.

Itulah yang dirasakan Naomi. Ia menyadari bahwa menghabiskan waktu bersama Danny adalah saat-saat paling menyenangkan baginya. Bersama Danny, ia mendapati dirinya sering tertawa, selalu mengalami hal-hal baru yang menyenangkan, dan bisa berbicara bebas. Bersama Danny, Naomi bisa menikmati semua hal yang tidak bisa dinikmatinya sebelum ini, melihat semua hal yang tidak akan bisa dirasakannya seumur hidupnya. Dan bersama Danny, ia bisa melupakan masa lalu dan masa depan, walaupun hanya sejenak, dan hanya menikmati masa sekarang.

Namun Naomi selalu tahu bahwa masa lalu akan kembali menghantuinya. Dan kali ini ia tidak akan bisa mengelak lagi.

* * *

Pertunjukan Julie sukses besar. Semua tiket terjual habis, semua kursi terisi dan respons penonton sangat bagus. Penampilan Julie sendiri sangat memukau. Naomi yakin temannya akan mendapat banyak tawaran bagus setelah pertunjukan ini. “Aku tidak pernah melihat Julie seperti itu. Dia benar-benar hebat, bukan?” kata Miho kepada Naomi di akhir pertunjukan.

Ini adalah pertama kalinya Naomi bertemu lagi dengan Miho setelah Miho menjawab ponsel Danny beberapa hari yang lalu. Miho sama sekali tidak mengungkit-ungkit kejadian itu, jadi Naomi juga tidak pernah bertanya. Miho masih bersikap ceria seperti biasa, dan masih berusaha mendekati Danny setiap ada kesempatan.

Untuk merayakan kesuksesan Julie, setelah pertunjukan berakhir Chris mengadakan pesta kejutan di restoran tempatnya bekerja. Dan berhubung yang mengadakan pesta adalah Christopher Scott, salah satu koki paling terkenal di Inggris, semua tamu yang hadir di pesta itu adalah orang-orang penting dalam dunia seni dan pertunjukan.

Chris dan Julie adalah orang-orang yang tidak pernah merasa resah berada di tengah banyak orang, berlawanan dengan Naomi. Naomi tidak menyukai pesta. Bahkan bisa dibilang ia benci pesta. Tentu saja sebagai model ia harus menghadiri berbagai jenis pesta, baik pesta pribadi yang sopan maupun pesta yang berisik dan gila-gilaan. Namun Naomi tidak pernah tinggal lebih lama dari setengah jam di setiap pesta itu, karena pada setengah jam pertama semua orang masih bersikap sopan dan suasana pesta masih beradab. Tetapi segalanya akan berubah setelah orang-orang menegak minuman keras yang tak pernah berhenti disajikan. Dan Naomi selalu menghindari saat itu.

Tetapi malam ini ia melanggar peraturannya sendiri. Ia sudah bertahan di pesta ini selama hampir dua jam, dan itu karena ia tidak ingin mengecewakan Julie. Julie adalah bintang pesta malam ini dan ia sangat gembira. Naomi tidak mungkin meninggalkan pesta yang diadakan untuk merayakan keberhasilan teman baiknya itu begitu saja. Kalau ia melakukannya, ia akan merasa seperti orang yang tidak berperasaan.

Ia menoleh ke arah Danny yang berdiri di sampingnya dan sedang berbicara dengan salah seorang tamu pesta. Naomi tidak meminta Danny menemaninya, tetapi sepertinya Danny menyadari kegelisahan Naomi di tengah-tengah orang banyak, karena laki-laki ini tidak pernah meninggalkan sisinya sepanjang malam itu.

Naomi menarik napas dalam-dalam dan memandang berkeliling. Alunan musik dan suara orang-orang yang mengobrol mulai membuatnya pusing. Ia mulai merasa sesak napas. Ia harus pergi dari sini. Julie dan Chris pasti akan mengerti kalau Naomi pulang lebih dulu.

“Ada apa?”

Mendengar suara Danny, Naomi menoleh dan memaksakan seulas senyum. “Tidak apa-apa. Aku hanya...” Naomi terlihat ragu. Ia memandang berkeliling lagi, dan kembali menatap Danny. “Apakah menurutmu aku boleh pulang lebih dulu?” Danny memiringkan kepala sedikit, masih tetap menatap Naomi. Lalu ia tersenyum ringan. “Tentu saja. Kita akan pamit pada Chris dan Julie, lalu aku akan mengantarmu pulang.”

* * *

Wajah Naomi terlihat agak pucat. Danny tahu Naomi tidak nyaman berada di tengah-tengah pesta yang ramai seperti ini dan ia bisa merasakan ketegangan yang memancar dari diri gadis itu. Ia tersenyum dan berkata, “Tentu saja. Kita akan pamit

pada Chris dan Julie, lalu aku akan mengantarmu pulang.” Kelegaan pun terlihat jelas di wajah Naomi.

Ketika mereka hendak beranjak pergi, seseorang berseru memanggil Danny. Danny menoleh dan melihat seorang pria jangkung dalam balutan jas mahal sedang berjalan menerobos kerumunan ke arahnya. “Oh, Dong-Min Hyong?” gumamnya pada diri sendiri, heran melihat salah seorang temannya dari Korea di sini. Naomi menyentuh lengannya dan berkata, “Biar aku saja yang pergi mencari

Chris dan Julie.”

Danny mengangguk. “Baiklah. Aku akan menunggumu di sini.”

Setelah melihat sosok Naomi menghilang di antara kerumunan orang-orang. Danny kembali menoleh ke arah Kim Dong-Min yang menghampirinya sambil memegang segelas sampanye dan tersenyum lebar.

“Hyong, apa kabar?” sapa Danny ketika Kim Dong-Min sudah berdiri di hadapannya. “Ini benar-benar kejutan. Kapan Hyong di London?”

Sebenarnya Danny dan Kim Dong-Min tidak bisa disebut teman. Danny hanya mengenalnya sebagai salah seorang teman dekat almarhum kakak laki-lakinya, Jo Seung-Ho, dan orang yang dulu pernah berniat mendekati kakak perempuannya, Anna Jo.

“Danny, aku sudah mendengar bahwa kau ada di London, tapi aku sama sekali tidak menyangka bisa kebetulan bertemu denganmu di pesta ini,” kata Kim DongMin sambil tersenyum lebar dan menjabat tangan Danny. Dari dekat wajahnya yang tampan terlihat agak merah. “Aku tiba di London tiga hari yang lalu. Urusan pekerjaan. Dan karena besok aku harus kembali ke Seoul, temanku mengajakku ke sini. Pesta yang hebat, bukan? Orang-orang terkenal dan wanita-wanita cantik. Ini baru namanya pesta.” Matanya dilayangkan ke seluruh ruangan dan senyumnya semakin lebar.

Danny tersenyum tipis tanpa berkomentar. Ternyata Kim Dong-Min masih sama seperti dulu. Penggemar pesta dan wanita. Diam-diam Danny bersyukur Kim Dong-Min tidak berhasil menarik perhatian Anna bertahun-tahun yang lalu. Danny tidak mau membayangkan kakak perempuannya menikah dengan pria seperti ini. Dong-Min kembali menatap Danny dan matanya berkilat-kilat penuh arti. “Ngomong-ngomong, kalau tidak salah tadi aku melihatmu berbicara dengan seorang wanita cantik,” katanya. “Kalau tidak salah, wanita itu Naomi Ishida, bukan? Model terkenal dari Jepang itu?”

Mata Danny agak menyipit. Ada sesuatu dalam nada suara Dong-Min yang tidak disukainya. “Ya,” gumamnya datar, “itu memang dia.”

Dong-Min meneguk sampanyenya dan terkekeh. “Wah, tidak kuduga ternyata seleramu sama dengan kakakmu.”

Danny baru hendak membuka mulut untuk bertanya apa maksud Dong-Min ketika seseorang menyentuh lengannya. Ia menoleh dan langsung bertatapan dengan Miho Nakajima.

“Danny, maaf, boleh bicara sebentar?” tanya Miho. Lalu ia menoleh ke arah

Dong-Min dan tersenyum manis. “Kuharap Anda tidak keberatan.”

Sebelum Danny menjawab, Dong-Min sudah menyela cepat, “Tentu saja tidak. Tadi aku melihat seseorang yang kukenal di sana, jadi kurasa aku harus pergi dan berbicara dengannya.” Ia mengangkat bahu dan menyunggingkan senyum miring kepada Miho, lalu menatap Danny. “Oke, Danny, kita akan bicara lagi nanti.”

* * *

Di mana Julie dan Chris? Naomi tidak melihat mereka di mana-mana. Ia harus pulang sekarang dan ia harus memberitahu Chris atau Julie sehingga kedua temannya itu tidak mengkhawatirkannya kalau mereka tiba-tiba menyadari Naomi sudah tidak ada.

Naomi mengembuskan napas dengan keras. Yah, kalau dipikir-pikir, dalam suasana seperti ini, kemungkinan besar Chris dan Julie bahkan tidak memikirkannya. Semua orang terlihat sedang bersenang-senang. Semua orang, kecuali Naomi sendiri.

Ia memijat pelipisnya sejenak. Tidak bisa, ia harus keluar sekarang. Ia akan mencoba menelepon Chris dalam perjalanan pulang nanti. Sebaiknya ia kembali ke tempat Danny. Ia berbalik dan berjalan kembali ke tempat ia meninggalkan Danny bersama temannya tadi. Tetapi apa yang dilihat Naomi sedetik kemudian membuat langkahnya mendadak terhenti.

Danny memang masih berdiri di sana, namun kini ia tidak lagi sedang berbicara dengan temannya. Kini yang berdiri di hadapannya adalah Miho. Danny berdiri memunggunginya, jadi Naomi hanya bisa melihat wajah Miho yang tersenyum lebar kepada Danny. Lalu Danny mengatakan sesuatu yang membuat Miho tertawa.

Dan itu bukan pemandangan yang menyenangkan.

“Naomi, kenapa berdiri di sini seperti orang bingung?” tanya Chris yang tibatiba saja sudah muncul di sampingnya.

Naomi tersentak dan menoleh. “Oh, Chris. Tidak apa-apa.”

Chris segera melihat penyebabnya. Ia tersenyum pada Naomi dan bertanya,

“Kau mau aku menyeret Miho menjauh dari Danny?”

Naomi menggeleng. “Tidak apa-apa, Chris. Kebetulan kau ada di sini.”

“Ada apa?”

“Aku ingin pulang lebih dulu. Tolong sampaikan juga kepada Julie.”

“Kenapa?”

Naomi tersenyum kecil. “Kau tahu aku tidak suka pesta-pesta seperti ini,

Chris.”

Chris berpikir sejenak, lalu berkata, “Baiklah. Tunggu sebentar di sini. Aku akan mengantarmu pulang.”

“Tidak usah,” Naomi cepat-cepat menyela. “Kau tuan rumah di sini. Mana mungkin tuan rumah meninggalkan tamu-tamunya begitu saja? Lagi pula, tadi Danny bilang dia yang akan mengantarku pulang.” Ia kembali melirik Danny.

“Tetapi karena sekarang sepertinya dia sedang sibuk, aku akan pulang sendiri saja.” Chris menggeleng. “Aku bisa kembali lagi ke sini setelah mengantarmu,” katanya. “Tunggu di sini. Aku akan memberitahu Julie dan setelah itu kita bisa pulang.”

Naomi mendesah pasrah ketika Chris berbalik pergi. Tetapi ia juga tidak mau menunggu lebih lama lagi di sini. Kenapa ia harus merepotkan Chris dan merusak malam Julie? Kenapa pula ia harus menunggu Danny mengantarnya pulang? Ia bisa pulang sendiri. Sambil menarik napas, Naomi pun berbalik dan berjalan ke arah tempat penitipan jaket.

Namun tempat itu kosong. Di mana penjaganya? Naomi berdiri sebentar di meja penjaga sambil menoleh ke kiri dan kanan, mencari si penjaga tempat penitipan yang sepertinya juga ikut berpesta. Setelah beberapa menit berdiri di sana dan si penjaga belum kembali, Naomi memutuskan untuk masuk dan mencari jaketnya sendiri.

Sementara mencari jaketnya, bayangan Danny dan Miho bersama kembali tebersit dalam otaknya. Naomi cepat-cepat menggeleng untuk menyingkirkan pikiran itu. Mereka hanya mengobrol biasa. Kenapa ia harus kesal melihat Danny mengobrol dengan wanita lain? Yah... sebenarnya ia tidak kesal hanya gara-gara Danny mengobrol dengan Miho, tetapi kesadaran bahwa Miho sedang berusaha merayu Danny dan cara Miho tersenyum pada Danny-lah yang membuat Naomi kesal.

Kekesalan yang tiba-tiba muncul kembali membuat Naomi menarik jaketnya dengan kasar dari gantungan. Ia harus keluar dari sini, pikirnya untuk yang ketujuh belas kalinya malam ini. Udara malam akan menjernihkan pikirannya. Tetapi ketika ia keluar dari bilik penyimpanan jaket, ia melihat seorang pria berwajah Asia berdiri di depan bilik. Naomi langsung membeku di tempat, berharap bumi menelannya, berharap ia bisa menguap begitu saja, berharap pria itu tidak melihatnya. Tetapi tentu saja harapannya tidak terkabul.

“Ah, rupanya kau ada di sini,” kata pria itu sambil tersenyum miring. “Kau

Naomi, bukan? Aku masih ingat padamu.”

Jantung Naomi mulai mengentak-entak dadanya, ia tidak bisa bernapas, ia tidak bisa bersuara. Kepanikan mulai menjalari dirinya dengan kecepatan penuh. Dengan tangan terkepal, ia memaksa dirinya membuka mulut untuk mengatakan sesuatu, namun tidak bisa. Ia tidak bisa bersuara. Hanya satu hal yang terpikirkan olehnya.

Pergi. Secepatnya.

“Wow, wow, tunggu sebentar,” kata pria itu sambil menahan lengan Naomi ketika Naomi berusaha berjalan melewatinya.

Naomi terkesiap keras dan menyentakkan tangannya secepat kilat. Pria itu menyipitkan mata menatap Naomi. “Masih galak seperti dulu,” gumamnya pelan.

Naomi terbelalak kaget. Kata-kata itu dan napas pria itu yang berbau alkohol membuat sekujur tubuh Naomi merinding. Apa maksudnya? Apakah ia pernah bertemu dengan—Ya, Tuhan!

Tubuh Naomi mulai gemetar sementara ia merasa dirinya meluncur kembali ke masa lalu. Ke hari itu, tiga tahun yang lalu. Hari saat ia merasakan ketakutan terbesar dalam hidupnya. Hari yang menghancurkan seluruh hidupnya. Hari saat ia untuk pertama kalinya berpikir untuk mengakhiri hidupnya.

“Kalau kau tidak mengingatku, aku bisa maklum,” pria itu melanjutkan sambil menyunggingkan senyum miringnya. “Kau tentu lebih mengenal Jo Seung-Ho.” Nama itu membuat napas Naomi tercekat dan ketakutan besar yang pernah dirasakannya satu kali itu pun kembali melandanya.

“Kau masih ingat padanya, bukan?” desak pria itu sambil maju selangkah.

“Bagaimanapun juga kalian pernah bersenang-senang.”

Naomi mundur selangkah, namun ia sadar jalannya terhalang dan ia mundur kembali ke bilik penyimpanan jaket. Ketakutannya kini mulai lepas kendali.

Matanya terbelalak liar menatap pria yang berdiri di hadapannya itu.

Pria itu mendesah berat, naun matanya tidak pernah lepas dari wajah Naomi. “Apakah kau tahu Seung-Ho sudah meninggal? Ah, tentu saja kau tahu. Karena sekarang kau beralih kepada adiknya.” Ia maju selangkah lagi.

Naomi mundur lagi, semakin jauh ke dalam bilik yang penuh jaket dan remangremang.

“Kau tahu,” lanjut pria itu dengan nada melamun. “Kalau kupikir-pikir, kurasa

Seung-Ho tidak akan keberatan kalau kau menemaniku sebentar.” Pria itu mengulurkan tangan menyentuh pipi Naomi dan Naomi otomatis menepis tangannya dan mundur selangkah lagi. “Tidak,” kata Naomi dengan suara tercekat dan gemetar. Ia menatap pria yang kini menghalangi jalan keluar itu dengan panik. “Biarkan aku lewat.”

Naomi berusaha berjalan melewatinya, namun pria itu tiba-tiba mencengkeram bahu Naomi dan mendorongnya ke dalam bilik penyimpanan jaket. Naomi mendengar jeritan keras ketika ia jatuh tersungkur di lantai, lalu menyadari bahwa itu adalah suaranya sendiri.

“Kalau kau bisa menemani Seung-Ho dan adiknya, kau tentu juga bisa menemaniku. Sebutkan hargamu.” Naomi mendengar pria itu berbicara dengan nada malas yang ditarik-tarik. Naomi mendongak dan melihat pria itu sudah masuk ke bilik sempit tersebut dan menutup jalan keluar. Tubuhnya mulai gemetar dan perasaan ngeri membuat sekujur tubuhnya lumpuh. Ia tidak bisa melakukan apa pun selain menatap pria itu dengan mata terbelalak ketakutan. Ia sudah bersumpah ia tidak akan pernah merasakan ketakutan seperti ini lagi. Ia sudah bersumpah... Ia harus menjerit. Ia harus menjerit minta tolong. Kenapa suaranya tidak mau keluar?

Sebelum Naomi sempat berpikir, pria itu mulai menarik jaket Naomi dengan kasar. Naomi memekik dan berusaha melepaskan diri, tetapi tangan pria itu langsung membekap mulutnya dan menahannya di lantai. Otak dan pandangan Naomi berubah gelap. Ia terus menjerit walaupun mulutnya dibekap dengan kasar.

Ia terus meronta, mencakar, dan menendang dengan membabi buta walaupun

sepertinya hal itu sama sekali tidak berpengaruh.

Lalu tiba-tiba Naomi mendengar suara keras, sedetik kemudian tangan yang mencengkeram wajahnya itu terlepas dan pria itu tiba-tiba tersungkur di sampingnya. Masih diliputi kengerian dan tidak menyadari apa yang sedang terjadi di sekelilingnya. Naomi cepat-cepat merangkak menjauh dan meringkuk di sudut, berusaha memperbaiki pakaiannya yang berantakan dengan tangan yang gemetar hebat sambil terisak keras di luar kendali.

* * *

Ketika Danny tidak bisa menemukan Naomi di ruang pesta, ia memutuskan untuk mencari ke tempat penitipan jaket, melihat apakah Naomi sudah pulang atau belum. Tetapi tidak ada orang yang terlihat di sana. Ia hampir saja berbalik pergi kalau bukan karena mendengar suara aneh di dalam bilik penyimpanan jaket. Ketika ia masuk untuk memeriksa, tidak ada satu hal pun di dunia yang bisa mempersiapkannya menyaksikan apa yang sedang terjadi. Kim Dong-Min sedang menahan Naomi di lantai sambil berusaha merobek pakaiannya.

Dalam sekejap darah yang mengalir dalam tubuh Danny seolah-olah membeku. Tanpa berpikir lagi, ia mencengkeram kerah kemeja Dong-Min, menariknya berdiri dengan satu sentakan keras, lalu meninju wajahnya. Begitu Dong-Min tersungkur di lantai, Danny langsung menariknya berdiri lagi dan mendorongnya dengna kasar ke dinding, lengannya yang kuat menjepit leher Dong-Min. Saat itu Danny benar-benar kalap, tidak bisa berpikir jernih. Yang dirasakannya hanyalah amarah yang begitu besar yang belum pernah dirasakannya sebelum ini. Amarah hebat yang membuatnya ingin menuntut darah. Membuatnya sanggup membunuh siapa pun yang menyakiti Naomi.

Dong-Min mencengkeram lengan Danny, berusaha melepaskan lengan Danny dari lehernya. “Dan... Danny,” rintihnya dengan suara tercekik.

Tepat pada saat itu Chris menyerbu masuk ke bilik penyimpanan jaket dan terkesiap keras melihat apa yang ada di hadapannya. “Danny!” serunya kaget. “Apa yang terjadi?”

Mengabaikan Chris, Danny tetap menatap wajah Kim Dong-Min lekat-lekat. “Aku akan membunuhmu,” gumam Danny dengan suara yang sangat rendah, sangat dingin, dan sangat serius. Keheningan yang menyusul terasa sangat mencekam sementara Kim Dong-Min menatap Danny dengan mata terbelalak dan wajah merah padam karena sesak napas.

Chris bergegas menghampiri Danny dan berusaha menghentikannya. “Danny...

Danny, dia tidak bisa bernapas.”

Danny tidak menunjukkan tanda-tanda bahwa ia mendengar suara Chris.

Matanya yang gelap dan menusuk sama sekali tidak beralih dari wajah Kim DongMin. “Kalau kau berani menyentuhnya sekali lagi... Kalau kau berani mencoba menyentuhnya sekali lagi,” lanjutnya dengan nada dingin dan mengancam yang sama, “percayalah padaku, aku akan membunuhmu.”

Danny pasti akan mencekik Kim Dong-Min sampai kehabisan napas di sana kalau Chris tidak menyela. “Danny, sebaiknya kau melihat keadaan Naomi.” Nama Naomi berhasil menyadarkan Danny. Tanpa berkata apa-apa lagi, ia melepaskan Dong-Min, menatap pria itu jatuh lemas ke lantai seperti onggokan lembek dan terbatuk-batuk. Chris bergegas menariknya berdiri dan mendorongnya keluar dari bilik itu. Danny yakin Chris juga akan langsung melempar Kim DongMin ke jalan.

Setelah Chris membawa Dong-Min keluar dari pandangannya. Danny berbalik dan jantungnya serasa ditikam ketika ia melihat sosok Naomi yang meringkuk di sudut dengan tubuh gemetar sambil terisak. Danny harus menahan diri untuk tidak langsung menarik Naomi ke dalam pelukannya. Sebagian kecil otaknya yang masih berfungsi memberitahunya bahwa Naomi pasti sangat ketakutan saat ini dan Danny tidak boleh menambah ketakutannya.

Danny berlutut di depan Naomi, lalu mengulurkan tangan ke wajahnya. Tetapi

Naomi terkesiap keras dan menempelkan diri ke dinding. “Ini aku,” bisik Danny.

“Naomi, ini aku. Danny.”

Mata besar itu menatapnya dengan ketakutan nyata, ketakutan yang membuat dada Danny terasa sangat sakit. Naomi tidak mengenalinya. Naomi mengira Danny akan menyakitinya seperti Kim Dong-Min.

“Tidak apa-apa,” bisik Danny lagi. Suaranya terdengar serak karena berbagai emosi yang mencekat tenggorokannya. “Kau sudah aman. Aku berjanji.” Naomi masih tidak bersuara dan tubuhnya jelas-jelas masih gemetar, tetapi tatapannya yang liar mulai berubah. Ia mengerjap satu kali, dua kali, lalu Danny melihat kesadaran perlahan-lahan meresap ke dalam mata itu. Naomi sudah mengenalinya.

Danny beringsut duduk di samping Naomi, lalu merangkulnya. Tubuh Naomi terasa kaku, namun Danny tetap mendekatnya. Sekejap kemudian tangis Naomi pun pecah. Ia bersandar di pundak Danny dan menangis tersedu-sedu. Danny telah melakukan satu kesalahan malam ini. Ia membiarkan Naomi sendirian di tengah banyak orang. Seharusnya ia tetap bersama Naomi. Kalau ia tetap bersama Naomi, gadis itu pasti tidak akan mengalami kejadian mengerikan ini. Danny sama sekali tidak bisa membayangkan apa yang akan terjadi pada dirinya sendiri kalau Naomi sampai terluka. Ia tidak akans anggup menanggungnya. Ia yakin ia bisa gila.

“Semuanya akan baik-baik saja,” Danny bergumam lirih kepada Naomi yang masih menangis. Ia mempererat pelukan dan menyandarkan pipinya di puncak

kepala Naomi. “Dia tidak akan menyakitimu lagi. Aku berjanji.”

Share this novel

Guest User
 


NovelPlus Premium

The best ads free experience