ANGGIRGI | 3

Romance Series 1666

Semua berawal dari kedatangan para petugas kepolisian ke rumahku kemarin pagi. Mereka membawa Ayahku untuk ikut bersama mereka, tuduhan yang dilayangkan oleh petugas itu ternyata benar adanya.

Ya, Ayahku memang benar melakukan tindakan kotor itu, bahkan sudah sering menggandakannya. Melakukan hal kotor dan memalukan seperti itu hanya untuk memperbanyak hartanya.

Kasusnya telah diberikan kepada pengadilan, tinggal menunggu waktu kapan sidangnya akan dimulai.

Sosok Ayah yang selama ini kubanggakan karena reputasi dan kehormatan yang dia dapatkan, kini tidak lagi dapat kupandang.

"Nggi.." tarikan tangan seorang pria membuyarkan lamunanku.

Aku menatap wajahnya yang tampan. Wajah yang selalu menghiasi mimpi malamku, wajah yang memenuhi setiap hela nafas yang ku ambil.

"Ayo masuk," pintanya dengan lembut.

Tanpa membantah, aku mengikuti langkah kakinya, dia membukakan pintu mobilnya.

Di dalam mobil hanyalah keheningan meskipun sudah ada dua orang di dalam. Tanpa menoleh ke belakang, aku tahu siapa yang berada di sana, Ibu dan juga Naomi.

Sementara Gery, pacarku, dia menyetir. Kini kami dalam perjalanan menuju rumah baru kami yang sebenarnya milik Tante Rosa, adik Ibu.

Kemarin Ibu menghubunginya dan menceritakan apa yang menimpa kami. Ibu mengatakan bahwa semua kekayaan yang kami miliki telah disita oleh pihak bank, termasuk rumah yang kami tempati.

Tante Rosa yang baik hati pun dengan senang hati memberikan rumah miliknya itu kepada kami. Tante Rosa telah meninggalkan rumah itu sejak lama, kini dia tinggal di Belanda bersama keluarganya. Itulah mengapa dia membiarkan kami tinggal di rumahnya itu.

Aku marah pada Ibu, selama ini dia mengetahui apa yang Ayah lakuin. Satu kali pun dia tidak pernah memberitahukan hal itu pada kami, anak-anaknya.

Aku pun marah pada Ayah, aku tidak akan bisa lagi membanggakan sosoknya yang selama ini kucintai dan kuhormati. Rasa hormat dan cinta itu berganti menjadi benci, meskipun aku tahu bahwa dia adalah Ayahku sendiri.

Bagiku sekarang, dia tidak pantas menyandang gelar seorang Ayah.

Kemarin, wartawan ramai mendatangi rumah kami demi untuk mendapatkan informasi lengkap atas kasus yang menjerat Ayah.

Dia adalah sosok yang cukup dipandang dan dihormati, dan ketika dirinya harus terlibat sebuah kasus yang mencemarkan nama baiknya, para wartawan berbondong-bondong mendatangi rumah kami.

Berita tentang Ayah pun dengan cepat menyebar bagaikan virus, beberapa stasiun televisi memberitakan kasus itu tanpa henti.

Gery mendatangi rumahku dan dia langsung memelukku, seolah dia mengerti dengan apa yang tengah aku dirasakan.

Sungguh saat itu aku tidak meneteskan air mata sedikit pun. Entah kenapa air mata itu enggan keluar untuk menangisi Ayah. Kedua mata itu seolah tahu bahwa air mataku terlalu berharga jika hanya di keluarkan sekedar untuk menangisi seseorang yang kotor.

Sebenarnya apa yang ada dalam pikiran Ayah ketika melakukan hal kotor dan memalukan seperti itu?

Bukankah harta kami sudah cukup banyak Kenapa harus melakukan hal itu?

Gery berjanji tidak akan meninggalkanku apa pun yang terjadi, dia akan terus menemani, berada di dekatku dan tidak akan membiarkan kesedihan mendatangiku karena dia akan terus membuatku bahagia.

Hari ini, dia pun menemani kami menuju rumah yang akan kami tempati.
Sungguh aku beruntung memiliki Gery di sisiku. Dia selalu mensupportku apapun yang terjadi.

Sampai di rumah baru kami, aku segera turun. Sambil merapatkan sweater yang kukenakan, berjalan di belakang Ibu dan Naomi, sementara Gery sibuk membawa barang-barang kami yang tidak terlalu banyak.

Tas yang kami bawa hanya berisi pakaian yang akan kami gunakan sehari-hari. Tidak ada harta yang bisa kami bawa karena semuanya lenyap tanpa sisa. Semua telah disita dan bukan lagi menjadi milik kami.

Aku duduk dengan lemah di kursi yang ada di ruangan utama, sambil memandang Gery yang sibuk membawa tas kami ke dalam kamar. Pandanganku beralih pada Ibu dan Naomi yang ikut duduk denganku.

Wajah Ibu terlihat sayu dan kesedihan itu begitu terpancar dari sana.Aku memang marah padanya karena telah menyembunyikan masalah ini sebelum para petugas itu mendatangi rumah kami, namun melihatnya dalam keadaan setengah bernyawa itu semakin membuatku sakit.

Naomi terus berada di sisi Ibu, seolah tidak ingin sedetik pun jauh darinya. Aku tahu Naomi merasakan kepedihan yang sama seperti kami. Hati Naomi terlalu rapuh untuk menerima setiap kepedihan dalam hidupnya, dengan mudah dia akan menangis ketika tersakiti.

"Lalu, apa rencana kamu selanjutnya?" Gery ikut duduk bersama kami, mengambil tempat di sebelahku sambil merangkul pundakku.

"Aku sedang tidak bisa berpikir, Ger. Jangan tanyakan itu padaku," pintaku.

Dia menarik kepalaku untuk bersandar padanya, rasa nyaman itu terasa ketika dia memanjakanku seperti yang dilakukannya sekarang, sengaja menggerakkan kepalaku di dadanya, dia semakin merapatkan pelukannya.

Suara decitan mobil terdengar dari luar rumah, membuat kami melemparkan pandangan ke sana.

"Maaf gue baru bisa nemui lo sekarang."

Aku mengangguk dan mengajaknya masuk ke dalam.

Ketika dia meneleponku kemarin dan mengatakan bahwa dia turut prihatin atas kasus yang menimpa Ayah, dia pun sudah mengatakan bahwa dirinya tidak bisa segera datang menemuiku. Ada banyak tugas yang harus dia selesaikan di kampusnya dan aku bisa mengerti itu.

"Gue udah ngasih tau Calvin tentang masalah yang menimpa keluarga lo, dia menyesal karena nggak bisa dateng saat ini. Calvin sangat sibuk menghadapi ujian dan beberapa tugas lain, jadi dia harus tetap menetap lama di Amerika," ucap Aji.

Ketika masuk ke dalam, Ibu menyambutnya dan mereka berpelukan.

"Tante,apa baik-baik saja?" tanya Aji ramah.

"Baik sayang, bagaimana denganmu? Sudah lama kamu tidak berkunjung ke rumah,"

"Maaf tan, beberapa tugas di kampus menyita banyak waktu hingga aku tidak memiliki waktu luang," sesal Aji.

Tidak ada senyum terukir di wajah Ibu sebagai balasan atas penjelasan yang diberikan oleh Aji. Sejak kemarin, aku tidak melihat senyum lagi di wajah itu, seakan lenyap bersama kehidupan indah kami.

"Hai, Aji." Naomi menyapa.

"Bersabarlah, kalian kan kuat," Aji tersenyum ramah pada adikku.

Drrtt!

Ibu mengambil ponsel miliknya yang tergeletak di atas meja ketika ponsel tersebut bergetar. Sesaat dia melirik padaku lalu beralih pada Naomi.

Aku memicingkan mata ketika melihat Ibu dengan gugup menjawab panggilan tersebut.

Dia terdiam, tangan kirinya menutup mulutnya yang terbuka, wajahnya terlihat semakin pucat dan ponsel itu nyaris jatuh karena tangannya gemetar. Tubuhnya pun terduduk lemas di sofa.

"Ibu!" teriakku sambil menghampirinya. Sementara Naomi lebih dulu memegangi pundak Ibu.

"Ada apa Bu?" aku berlutut di hadapannya, memengangi kedua tangannya yang dingin dan gemetar.

"A-ayah," suara Ibuku serak dan dia mulai meneteskan air mata.

Aku terdiam mendengar Ibu menyebut nama Ayah.

"Ayah kenapa,katakan sesuatu bu!" Naomi mendesak diiringi dengan suara isakannya.

Aku menunggu jawaban Ibuku dengan cemas dan jantung yang berdegup kencang.

Ada apa dengan Ayah?

Lebih tepatnya masalah apalagi yang ditimbulkannya.

"Ayah.. dia.." susah payah Ibu menjelaskan. "Dia tewas."

Tangis Ibu pecah saat itu juga diikuti Naomi yang sesunggukan sambil memeluk Ibu.Sementara aku hanya terdiam di depan mereka. Entah apa yang ada dalam pikiran Ayah hingga tanpa berpikir panjang dia melakukan semua ini pada kami.

Dimana letak kesalahan yang kami perbuat hingga dengan cepat dia meninggalkan kami sendiri bersama luka yang sempat digoreskannya dalam kehidupan kami sekarang?

***

Ayahku, Demoz, ditemukan tewas di dalam ruang tahanannya.Penyebabnya adalah satu tusukan benda tajam tepat di jantungnya. Dia bunuh diri dengan cara menusuk dadanya sendiri, dan kejadian itu semakin membuatku membencinya.

Dia telah menghancurkan keluarga utuh kami yang bahagia karena kasusnya. Kemudian dia melarikan diri dari kasus yang menjeratnya dengan cara keji seperti itu. Meninggalkan kami bersama dengan beban berat kehidupan yang harus kami tanggung setelah kepergiannya.

Tak ada setetes air mata pun keluar dari pelupuk mataku.

Sejak Ayah dibawa paksa dari rumah hingga kematiannya, aku tidak pernah menangis seperti yang dilakukan Ibu dan Naomi. Hati itu membeku sejak mengetahui pria yang kucintai, banggakan, dan hormati mengkhianati kami dengan cara kejam. Lalu menjerumuskan kami, keluarganya sendiri, dalam penderitaan dan caci maki orang-orang terdekat kami.

Aku melihat kerabat dekat, teman-teman datang ke pemakaman Ayah. Melihat tatapan kasihan, iba, dan mengejek dari mata mereka. Setiap mata yang terlihat menyiratkan ungkapan yang sama, seolah mengatakan bahwa mereka jijik dan membenci keluarga kami. Dan itu semakin membuatku membenci kehidupan ini.

Ketika keluargaku terpuruk, aku bisa melihat posisi musuh dan juga teman dalam hidupku. Orang-orang yang telah kukenal lama dan selama ini mereka selalu bersikap baik pada keluargaku, namun saat ini, tepatnya di pemakanan Ayah, mereka memberikan ekspresi yang tidak pernah terduga sebelumnya.

Sungguh mengejutkan.

Apakah kebaikan mereka pada kami selama ini hanyalah topeng yang menutupi ketakutan mereka terhadap Ayah? Dan kini mereka menunjukkan pada kami seperti apa mereka sebenarnya.

Menyedihkan bukan?
Sangat mengesankan.

Share this novel

Guest User
 


NovelPlus Premium

The best ads free experience