ANGGIRGI | 9

Romance Series 1666

Ketika mataku terbuka, sosok tampan Irgi yang tengah tertidur pulas pertama kali terlihat di pagiku saat ini.

Di satu sisi, dia bagaikan malaikat putih karena telah menyelamatkan ku dalam situasi hidup yang suram. Tapi disisi lain, dia juga sekaligus sebagai malaikat hitam yang telah membawaku ke dalam suatu hubungan terlarang. Meskipun tak ada yang terjadi di antara kami, tapi bukankah selalu bersamanya membuat dirinya dan kekasihnya menjadi renggang?

Aku menatap wajah yang begitu tampan, jika dibandingkan dengan pria lain mungkin dia adalah pria yang paling bahagia di dunia.

Perlahan dia membuka kedua matanya, mata yang terpancar begitu tenang terkontras oleh cahaya matahari di pagi hari lewat cela kaca jendela membuatnya seakan bersinar bagaikan pangeran putih di kerajaan matahari.

"Selamat pagi," sapaku lembut sambil mengusap kepalanya pelan memainkan rambutnya yang indah, sesekali aku mencium aroma shampoo yang begitu menenangkan.

Dia tersenyum dan menarikku ke dalam pelukannya,ia menenggelamkan wajahnya di leherku sesekali ia mengendus-ngendus disana.

"Gi, stop. Geli ih, " aku merasa begitu geli atas apa yang ia lakukan, bagai anak kucing bermanja dengan induknya.

"Aku menyukai aroma tubuhmu, sangat menenangkan bagiku, biarkan aku selalu berada di pelukanmu."

Aku tersenyum mendengar ucapannya. Benarkah seperti itu? Aku bahkan tak dapat menjawab ucapannya.

"Kamu balik gih. Bukannya Angel sudah kembali sejak kemarin?" tanyaku.

Terasa kepalanya mengangguk di lekukan leherku.

"Tapi, kamu kenapa memintaku untuk temani kamu, kalo Angel udah ada? Kamu nggak kangen sama dia? "

"Gapapa, aku hanya ingin bersamamu saat ini," jawabnya lebih tepat seperti berhenti menyuruhku bertanya lagi.

"Tapi Angel bakalan curiga kalo kamu nggak temui dia sekarang."

Ia memelukku semakin erat, detak jantungnya pun berdegup begitu kencang. Irgi seperti memiliki kepribadian yang berbeda-beda. Aku baru menyadarinya sekarang.

Kadang dia bisa menjadi sangat marah layaknya iblis, lalu kemudian berubah lembut layaknya malaikat putih. Dan itu sungguh membuatku bingung karena sikapnya menjadi sangat susah ditebak. Sikap yang selama initidak pernah dia tunjukkan.

"Bukankah kita sudah sepakat untuk tidak mencampuri urusan pribadi masing-masing?"

Benar, aku mengingat kesepakatan itu, tak ada diantara kami yang berhak untuk ikut campur dalam urusan pribadi.

"Aku nggak bermaksud ikut campur dalam urusan pribadi kamu Gi, tapi aku cuma coba buat Angel tidak mencurigai apa yang terjadi di belakangnya selama ini. Dan aku juga gak mau nantinya masalah yang ka-"

Belum juga aku melanjutkan perkataanku Irgi menmpelkan jarinya dibibirku.

   "Kamu tuh mulai bawel ya," ucapnya.

Mungkin baginya pertanyaan yang meluncur dari bibirku sudah melampaui batas yang telah kami sepakati.

Aku memandang wajah Irgi yang begitu sendu kali ini, entah mengapa bayangan akan Angel yang tidak sengaja terlihat kemarin pagi kembali terlintas, dan dorongan untuk bertanya padanya perihal keberadaan Angel itu muncul.

Namun, aku juga tidak ingin Angel curiga pada Irgi yang tidak lain adalah tunangannya sendiri.

Bukankah disetiap akhir pekan Irgi selalu menemani Angel setiap waktu, tapi kali ini berbeda, apa mereka tengah bertengkar atau sebagainya? Tapi apa pentingnya bagiku?

***

"Nggi, ada yang nyari tuh."

Aku menoleh pada pelayan yang menghampiriku. "Siapa?"

"Tau tuh, temen lo kali."

Aku menyipitkan mata, mencoba mengenali pria yang berada di depan. Sepertinya aku tidak asing dengan bentuk tubuh yang dimilikinya.

Ketika dia berbalik aku hanya bisa tersenyum pahit ketika melihat dia tersenyum dan berjalan mendekat.

Dia, tiga bulan lamanya menghilang dan kini muncul kembali di hadapanku dengan senyum manisnya yang dulu selalu bisa membuaiku. Tanpa rasa bersalah sedikit pun di wajahnya.

"Bagaimana kabar kamu Nggi?" dia bertanya seolah tak ada yang terjadi di antara kami.

"Menurut lo?" aku mencoba bersikap acuh padanya.

Sungguh, meskipun dia pernah begitu berarti dalam hidupku, tapi aku tidak ingin melihatnya lagi atau bahkan bertemu dengannya.

Rasa yang dulu pernah tercipta untuknya benar-benar telah menghilang bersama dirinya karena pengkhiantan dan rasa sakit yang dia berikan.

"Aku harap kamu ngerti Nggi," kali ini senyum yang tadi dia tunjukkan lenyap begitu saja saat mengatakan itu.

"Sorry, gue sibuk."

Aku bersiap meninggalkannya namun tangannya dengan cepat mencekal lenganku. Aku berhenti sejenak menatap tangannya yang berada di lenganku.

Apakah dia tidak sadar dengan yang dilakukannya sekarang? Apa lagi yang ia inginkan? Tidakkah dia puas dengan apa yang telah dilakukannya dulu? Tidakkah dia ingat rasa sakit yang pernah dia goreskan di hatiku?Membuangku hanya karena kasus yang menimpa keluargaku?

"Kita harus bicara Nggi," dia tidak menyerah.

Aku mencoba mengatur nafas agar bisa mengendalikan emosi, aku tidak ingin kehilangan kendali di sini, terlalu banyak orang jika harus melampiaskan amarah di depan para pelayan hanya karena pria tidak penting yang datang ini.

"Gue gak ada urusan sama lo, jadi gue minta sama lo buat menyingkir dari hadapan gue," ucapku dingin tanpa mengalihkan tatapan dari tangannya.

Dia melepaskan tanganku.

"Aku nggak nyangka kamu bakalan berubah secepat ini," ucapnya sambil tersenyum pahit.

Apa? Apa yang dia katakan? Berubah? Bahkan aku tak bisa mendefinisikan dimana letak perubahan di diriku.

Bagaimana mungkin dia bisa mengatakan hal yang seharusnya aku yang menanyakannya tapi malah dia tujukan padaku?

Jika dia bisa berubah karena keluargaku terlibat kasus, maka aku pun bisa berubah dari Anggi yang lemah menjadi kuat seperti sekarang tanpa seorang pun bisa merendahkannya.

Aku memberanikan diri menatap matanya. Kehidupan pahit yang telah aku dijalani selama ini tanpanya dan dia ikut andil dalam menjerumuskanku ke dalam kesakitan, membuatku membangun dinding yang begitu kokoh dalam hati, untuk selalu mengingatkan bahwa aku bukanlah wanita lemah.

"Lo yakin? Gue rasa setiap orang bisa berubah ketika mengetahui bahwa orang yang dicintainya telah berubah menjadi makhluk muna dan kejam," balasku. "Gue harus pergi, ada hal yang harus gue lakuin dibandingkan berada disini menemui lo yang sama sekali nggak penting," lanjutku lalu meninggalkan dia yang masih terpaku dengan ucapanku.

Pria itu sempat menjadi seseorang yang berarti dalam hidupku, sebelum dia meninggalkanku demi wanita lain.

Aku menghempaskan pintu toilet cukup keras dan menguncinya dari dalam. Aku butuh ketenangan dan tidak tahu harus kemana kutuju.

Tubuh ini luruh di balik pintu toilet. Suasana sepi membuatku dapat menumpahkan segala keluh kesah yang begitu sesak didadaku.

Aku sungguh tak mengerti apa yang terjadi. Kenapa dia datang kembali setelah sekian lama menghilang? Apa yang diinginkannya sekarang? Bukankah dia telah bertunangan dengan wanita suci pilihannya?

Tanpa terasa air mataku mulai menetes demi tetes, diiringi suara sesunggukan yang tidak dapat ku tahan, dadaku pun mulai terasa sesak.

Aku terakhir menangisinya adalah tiga bulan lalu ketika dia meninggalkanku. Dan aku memilih untuk mengakhiri hubungan kami yang telah terjalin selama satu setengah tahun lamanya.

Apakah dia tidak tahu betapa sakitnya diriku saat itu? Betapa hancurnya menjadi kepingan-kepingan yang sulit untuk disatukan kembali, bahkan mungkin tal bisa disatukan kembali.

Aku terpuruk dalam luka yang begitu mendalam, sementara dirinya sendiri berbahagia dengan wanita suci bahkan begitu perfect baginya di sana.

Keputusan sepihak yang dia ambil tanpa memperdulikan penolakan dariku dan itulah yang pada akhirnya menjerumuskan ku dalam dunia yang sesat dan gelap saat ini.

Selain karena kebutuhan hidup yang terus mendesak, kepergiannyalah yang menjadi alasan aku menjadi wanita simpanan. Dan saat ini perasaan cinta yang ada dalam hatiku kini telah tertutup oleh rasa benci yang lebih dalam dari apa yang sebelumnya aku pertahankan untuknya dan dengan begitu mudah ia lepaskan.

Share this novel

Guest User
 


NovelPlus Premium

The best ads free experience