ANGGIRGI | 2

Romance Series 1666

Kini aku sedang sarapan bersama dengan keluarga yang sangat aku cintai. Memulai hari dengan orang yang aku sayangi merupakan kebahagiaan tersendiri bagiku.

Obrolan pagi pun dimulai, Ibu nggak ada henti-hentinya menanyakan kegiatan apa saja yang akan aku dan Naomi lakukan hari ini.

Merupakan pertanyaan rutin setiap pagi dan menjadi kewajiban bagi Ibu untuk mengetahuinya.

Sementara Ayah, dia hanya mendengarkan tanpa memberikan komentar apa-apa, namun dia tetap menyimak setiap obrolan kami.

Jika kami tertawa, dia pun ikut tertawa sambil sesekali menatap kami. Ayah memang tidak terlalu banyak bicara seperti Ibu. Sikapnya di rumah, sangat berbeda dengan sikapnya di kantor.

Ibu bekerja sebagai direktur di kota ini. Namanya cukup dikenal dan sosoknya cukup dihormati serta disegani.

Segalanya akan Ayah lakukan demi membahagiakan keluarga, merupakan sosok pemimpin yang tangguh di mata kami semua.

Aku meneguk habis segelas susu coklat dan mengakhiri sarapan pagi. Namun, belum sempat beranjak dari kursi, suara bel membuat kami yang berada di ruang makan saling melempar pandang.

Aku bertanya-tanya, siapa yang bertamu sepagi ini. Tidakkah mereka tahu jam berapa sekarang? Masih terlalu pagi untuk berkunjung.

"Aku yang akan membukakan pintu," ucapku pada yang lain.

Segera, aku pun beranjak menuju ruang depan untuk membuka pintu dan melihat siapa yang ada di luar sana. Beberapa petugas kepolisian tengah berdiri di hadapanku dengan seragam yang sama. Namun satu di antaranya mengenakan seragam berbeda dari yang lain.

"Selamat pagi." Dia memberi hormat padaku.

Aku mengangguk.

"Ada yang bisa saya bantu?" tanyaku ramah.

"Kami ingin bertemu dengan Tuan Demoz untuk membicarakan beberapa hal penting dengannya."

"Ayahku sedang sarapan di dalam. Anda bisa mengatakannya padaku. Akan kusampaikan pesan anda padanya."

"Tidak, kami harus bertemu langsung dengan Tuan Demoz."

"Saya mengerti. Tapi tidakkah kalian sadar keadaan di sini? Waktu kalian untuk datang ke rumahku tidak tepat, Ini masih terlalu pagi untuk para tamu. Atau jika anda tidak keberatan datanglah lagi nanti, bukan pada jam seperti ini," ucapku kesal.

"Kami harus bertemu Tuan Demoz sekarang juga!"

Aku menatap sebal petugas itu karena berani berteriak padaku. "Yah! Ada orang mencarimu!" teriakku kencang, berharap Ayahku yang berada di dalam dapat mendengarnya.

Bukan hanya Ayah yang muncul, tetapi Ibuku dan juga Naomi. Mungkin teriakanku mengganggu mereka hingga membuat mereka segera keluar untuk mengetahui sesuatu yang membuatku berteriak.

"Tuan Demoz."

Salah seorang petugas yang tadi berbicara padaku mengulurkan tangannya pada Ayahku. Ayahku pun membalas uluran tangan itu dengan gugup sementara aku hanya memandang mereka berdua bergantian.

Seharusnya Ayah mengatakan sesuatu pada para petugas ini karena telah mengganggu waktu kebersamaan kami.

"Maaf jika mengganggu. Kedatangan kami kemari untuk membawa anda ke kantor demi penyelidikan kasus korupsi yang mangatas namakan anda."

"Apa yang anda ucapkan?" dengan cepat aku bertanya, menatap dengan tajam wajah petugas itu. "Ketahuilah bahwa kata-kata anda barusan bisa membawa ke dalam jeruji besi. Aku bisa melaporkan semua yang anda ucapkan barusan itu pada pihak yang berwenang, anda tahu benar siapa Ayahku, dan tidak sepantasnya anda memberikan tuduhan kotor dan tidak bermoral itu padanya!" teriakku pada para petugas yang berdiri di depan pintu utama rumahku.

"Sebagai petugas kepolisian yang telah menangani berbagai kasus, kami tidak mungkin menuduh seseorang tanpa bukti yang kuat, dan kami pun tidak mungkin melakukan tindakan ini pada Ayahmu. Kami tahu seperti apa reputasi beliau di kota ini. Jika anda ingin semuanya jelas, datanglah ke kantor kami, dengan senang hati kami akan melayanimu dan menunjukkan padamu bukti yang telah kami dapatkan," balas petugas itu dengan penjelasannya yang sangat panjang.

"Tidak! Ini tidak mungkin! Anda pasti keliru! Ayahku tidak mungkin terlibat kasus seperti itu apalagi korupsi. Anda sendiri tahu seperti apa reputasi Ayahku, lalu mengapa Anda menuduh Ayahku terlibat kasus korupsi?" nada suaraku semakin meninggi.

"Kami tidak punya banyak waktu, Tuan Demoz."

Petugas itu tidak menggubris bantahanku. Dia lebih fokus pada Ayah. "Anda harus ikut kami sekarang juga," tambahnya.

"Tunggu! anda tidak bisa melakukan ini sesuka hatimu di rumahku!" aku berdiri di depan Ayah, mencoba menghalangi mereka yang ingin mendekat dan membawa Ayah bersamanya.

"Kami mohon, jangan mempersulit tugas kami. Jika anda ingin melihat bukti yang kami dapat, silahkan datanglah ke kantor," petugas itu meminta.

Kami semua tidak percaya dengan yang dikatakan salah satu petugas yang kutebak adalah pemimpin dari petugas yang menjemput Ayah.

Aku bersikeras membantah semua tuduhan yang dia berikan pada Ayahku tapi, para petugas itu bahkan tidak sama sekali mempedulikan teriakan dan bantahan yang kuberikan pada mereka.

Dengan komando yang diberikan oleh pemimpin mereka, salah seorang petugas lainnya mendekati Ayah dan mengunci sebuah borgol pada kedua tangan Ayah.

"Tidak! Apa yang kalian lakukan?! Lepaskan benda itu dari tangan Ayahku!" aku berteriak pada para petugas itu sambil memegangi tangan Ayah, mencoba melepaskan borgol yang telah melingkar di tangannya. "Pah, katakan sesuatu pada mereka!" aku meminta pada pria yang sangat kucintai itu, namun dia hanya diam membisu sedari tadi.

Saat itu aku benar-benar kehilangan kendali, layaknya seorang wanita yang telah kehilangan akal, jika kalian melihatku mungkin kalian akan beranggapan bahwa aku sudah gila. Aku tidak tahu harus berbuat apa selain berteriak dan memohon.

"Ayah!" Naomi pun berteriak sambil menangis, dia dan aku memegangi lengan Ayah, mencoba menahannya agar tidak dibawa pergi.

Aku tidak terima dengan perlakuan yang para petugas itu lakukan, mereka menyeret paksa Ayah untuk masuk ke dalam mobil tanpa mengindahkan teriakan dan tarikan dari tanganku dan Naomi.

Aku berteriak diikuti Naomi, berusaha membebaskan pria yang kami sayangi agar ke luar dari dalam mobil terkutuk itu. Namun dia hanya diam di dalam sana tanpa menoleh atau mengatakan sesuatu pada kami.

Seolah dia hanya bisa pasrah dan menuruti semua keinginan petugas yang menyeretnya. Dalam hati terasa begitu sakit.

Mungkinkah semua tuduhan yang diberikan kepada Ayah adalah benar adanya? Apakah Ayah benar melakukan perbuatan keji, kotor dan memalukan itu? Benarkah Ayah terlibat dalam kasus korupsi seperti yang dituduhkan oleh para petugas tadi?

Dan aku pun terdiam menyadari sikap Ayah yang tiba-tiba dingin terhadapku.

Pintu kaca itu tidak lagi kuketuk dan suara teriakan dari bibir ini tidak lagi terdengar. Naomi memelukku ketika dua mobil itu melaju meninggalkan halaman rumah kami yang luas, hingga menghilang di balik gerbang depan.

Tatapan mataku kosong ke depan, sementara Naomi masih menangis di pelukanku.

"Lakukan sesuatu, jangan biarkan mereka membawa Ayah."

Isakan Naomi semakin membuat hatiku tersayat dan dadaku begitu sesak.

Tapi air mataku tidak mengalir seperti yang terjadi pada Naomi.

"Nggi.. " suara lirih itu terdengar oleh telingaku.

Aku menoleh ke belakang dan mendapati Ibu berdiri di depan pintu utama rumah sambil memeluk tubuhnya sendiri. Ibu memeluk erat kedua lengannya yang terbalut sweater rajut berwarna merah.

Tidak ada sepatah kata pun meluncur dari bibir ini untuk sekedar membalas panggilan Ibu, seakan tidak tahu apa yang harus dikatakan. Bahkan hanya untuk menggeleng pun, kepala ini tidak mampu.

Kejadian ini seolah membuat semua inderaku tak bekerja, hanya bisa diam menatap Ibu yang menangis di sana. Suara tangisnya bahkan terdengar olehku yang berada cukup jauh dari tempatnya berdiri.

Dari situlah aku menyadari bahwa tuduhan yang dilayangkan pada Ayah adalah benar adanya.

Dan kehidupanku berubah sejak saat itu.
Empat bulan yang lalu..

Share this novel

Guest User
 


NovelPlus Premium

The best ads free experience