Bab 9

Romance Series 732

Setiba di ruangan, Dian berdeham menarik perhatian semua keluarga yang ada dalam ruangan itu. Sekejap suasana mendadak hening dan sorot mata seolah terpusat pada satu tujuan, tengan Dian yang mencengkeram pergelangan tangan Mika, dengan wajah dingin yang sesekali menyeringai jahat.

"Talk, Mika. Explain!" ucap Dian sedikit menyentak.

Mika menggelengkan kepalanya dengan cepat, berkali-kali sambil berusaha melepaskan tangannya dari cekalan tangan Dian.

"Ada apa Dian?" tanya Papa dengan heran. Air mata sudah menggenang di sudut-sudut mata wanita itu. Hatinya sangat tak siap untuk mengatakan kejadian yang sebenarnya di masa lalu, yang membuat Dian patah hati sekian lama, menjadikannya pria yang tak punya perasaan.

Mika menunduk tak mampu lagi berkata-kata. Hatinya sakit sekali, mengingat bagaimana perlakuannya saat itu.

"Oke, maaf. Mika tidak mau dijodohkan dengan saya, Om, Tante, Ma, Pa, alasannya silahkan tanya sendiri, saya harus pergi sekarang."

Dian melepaskan begitu saja cekalan di tangan Mika, membuat gadis itu berlari ke pelukan Ibunya, menangis sesenggukan. Membuat semua orang kebingungan dengan apa yang terjadi, karena pria itu langsung berlalu pergi, meninggalkan teka-teki yang menggantung bagi semua yang berada di dalam ruangan.

Bu Magali langsung berteriak lantang, "kembali, kau Dian!" membuat langkah pria itu terhenti dan berbalik, manunggu instruksi Mama berikutnya.

"Ke sini!"

Dian mengangkat bahunya sambil menggeleng perlahan, Niken bergegas menghampiri adiknya, di susul oleh Irwan, kakak sulungnya yang menjabat sebagai perwira di kepolisian, menenteng borgol hendak di pakaikan di pergelangan tangan adiknya itu.

Niken menatapnya sangat lembut, lalu membawanya sedikit menjauh, ke ruang makan keluarga, hendak mengkonfirmasi apa maksud sikapnya begitu.

"Dia, Mbak, perempuan itu ... dia!" ucap Dian berapi-api dengan nada bergetar.

"Sedalam itukah, Dian?"

Irwan nampak heran dan bingung dengan apa yang sedang mereka bicarakan saat ini, sejujurnya dia tak begitu sering bicara dengan saudara-saudaranya, sehingga sungguh-sungguh tak tahu dengan apa yang terjadi sebenernya.

Hanya mengayun-ayunkan borgol di tangannya, bersiap-siap jika ternyata saudaranya itu berbuat hal-hal yang menjengkelkan bagi kedua orang tuanya.

"Kamu mengenal Mika sebelum ini, Dian?" tanya Irwan akhirnya tak tahan dengan rasa penasaran yang berputar-putar di kepalanya. Sambil menatap wajah Niken yang nampak sedih, Dian menjawab perlahan.

"Bukan hanya mengenal, dia bahkan pernah mencium bibirku, Mas."

Irwan tersenyum menggoda namun juga heran kenapa reaksi Dian dan Niken nampak tak sejalan dengan romantisme yang diceritakan.

Dicium wanita secantik Mika di masa remaja, pria mana yang tidak suka, kecuali dia punya penyimpangan seksual, atau kelainan.

"Itu waktu mereka masih remaja, Mas Irwan, saat SMA," sambung Niken berusaha menjelaskan sepengatahunya saja.

"Bagus dong, bukannya termasuk kasus langka, dua orang mantan teman sekolah akhirnya berjodoh."

"Masalahnya ..." Dian menghentikan ucapannya, kemudian melanjutkan tanpa mengambil pusing akibat yang ditimbulkan karena perkatannya.

"Dia sudah melecehkanku, Mas!"

"Melecehkan bagaimana? Laki-laki dilecehkan? Diperkosa maksudnya?"

Dian dan Niken berpandangan sama bingungnya, namun yang pasti keberadaan Mika malam itu bagai sebuah keajaiban nyata tentang adanya suatu karma, karena rasa malu yang Dian rasakan nyaris sama sakitnya dengan kekecewaan Mika malam ini .

Yang Mika tak sadari adalah bagaimana Dian di masa depan akhirnya menjadikan semua perempuan hanya sebatas objek senang-senang di atas ranjang, saat satu-satunya harapan yang dia miliki hilang, dan dipandang sebelah mata bahkan di abaikan begitu saja oleh Mika.

Dian menyodorkan kedua tangannya untuk diborgol saja ketimbang harus menerima perjodohan dengan Mika, tetapi Irwan punya pemikiran berbeda.

"Kamu membencinya karena dia tidak membalas perasaanmu, atau karena dia mengerjaimu?"

"Dia sudah mengurungku selama beberapa menit di toilet untuk berciuman, lalu mengundang kawan-kawannya menunggu di luar, menurutmu bagaimana?"

"Nice."

Dian meremas wajahnya kemudian mengusap-usap hidungnya, menatap bingung pada Niken.

"Nikahi dia, Dian. Ini giliranmu."

Terlihat kilat di mata hitamnya saat mendengar perkataan Irwan,expresinya sudah tak sesantai tadi namun sekejab kemudian nampaknya semua kembali normal.

Sungguh saat cinta itu rasanya bulat terasa dan tak terbalas justru malah terabaikan, sakitnya bagai jatuh menggelepar di atas lautan yang perih dan hancur seketika, apalagi mental Dian memang tak sekuat Irwan jika untuk urusan asmara.

"Maksudnya gimana, Mas Irwan?" tanya Niken penasaran dengan rencana kakaknya.

"Kamu pernah mencintainya, Dian?"

"Dulu."

"Pernah, Kan?"

Dian mengangguk. Namun hati itu sudah rusak, tak sama seperti sebelumnya, membuatnya jadi sungguh-sungguh tersesat dalam kehidupan malam, terseret oleh lingkungan, pergaulan dan kawan-kawan yang terkadang memiliki luka yang sama pedihnya, hanya beda orang, dan berlainan kasusnya.

Menikah dengan Mika tentu saja bukannya pilihan terakhir, kecuali dengan satu rencana. Balas dendam.

"Dia bukan perempuan yang under grade juga, Kan. Masalah cinta apalagi hati bisa di urus belakangan, Dian. Jangan bodoh, kamu akan lebih menyesal ketika mama marah atau makin parah hanya karena egomu saja. Kita ini laki-laki, lihatlah, apa ruginya menuruti kehendak orang tua kali ini, hm?"

Rasanya Dian tak perlu menangis namun hatinya jadi semenyedihkan ini memikirkan antara orang tua dan sakit hatinya.

Tiba-tiba ponselnya berdering tertera nama Clara yang mungkin sudah bersiap dengan segala pakaian dan wewangian menggoda seperti biasanya.

Wanita yang dengan rela mengisi kekosongannya dari satu malam ke malam lainnya, tanpa mau menuntut apapun, termasuk komitmen.

"Aku harus pergi," ucap Dian setelah melihat Clara mengirimkan foto lingerie warna merah maroon.

Sial.

Dian sangat membutuhkan wanita seperti Clara malam ini, karena entah di sadari atau tidak, perempuan itu selalu membuainya dengan rasa nyaman. Sabar dan penurut.

Clara juga sangat telaten mengurus keperluan di apartemen Dian, baik dari segi kebersihan maupun mendesain isi di dalam ruangannya.

Jika sama-sama boleh memilih, tentu saja Dian akan memilih Clara. Kesetiaan dan kesabarannya menghadapi Dian sudah sangat teruji.

Teringat saat Dian menemui Clara siang itu di depan perpustaan yang sudah lengang seperti tertulis di secarik kertas, gadis itu nampak sedih memandangnya.

"Its oke Dian, Im yours, maaf, maksudku, kamu nggak sendiri."

"Aku dan Mika sungguh-sungguh berciuman di toilet, Clara."

"Lalu kenapa? Itu manusiawi, bukan?"

"Manusiawi? Melecehkan orang, manusiawi?"

Clara menyentuh jemari Dian, menggandengnya menuju kantin. Gadis manis itu memang menyukai Dian sejak lama, namun ketidak matangan sikap dengan beberapa hal membuat hubungan mereka memang terpaksa menggantung begitu saja.

Hubungan tanpa status itu berlanjut hingga ke perguruan tinggi. Clara, gadis pintar yang sering mengkritisi kebijakan-kebijakan akhirnya menempuh Ilmu Komunikasi dan bertekat menjadi seorang jurnalistik.

Sedangkan Dian memutuskan mengambil Managemant Bisnis, dan melanjutkannya di luar negeri, saat Bu Magali memberikan warning bahwa dialah yang akan melanjutkan perusahaan keluarga berikutnya.

Saat akan berangkat keluar negeri, Dian berpamitan pada Clara yang kala itu sudah menjadi reporter lapangan dan sering bepergian. Mengunjungi apartemen miliknya di malam terakhir sebelum Dian pergi.

Suasana sangat emosional saat itu, Dian sendiri tak yakin akan sanggup berjauhan dengan Clara yang sering mengisi hari-harinya, bahkan sejujurnya menyentuh sekeping hatinya yang dingin.

Mereka saling menyemangati satu sama lain di depan televisi, saat itu Clara yang pulang bekerja nampak lelah dan sedikit berantakan, hanya mengenakan crop top warna jingga dengan hot pants mondar mandir menyajikan makanan ringan dan minuman di hadapan Dian yang sudah membuka hampir semua kancing kemejanya hingga tersisa paling bawah, menunjukkan dada bidang nan kekar mempesona.

"Minum, Dian."

"Oke, Thanks ya, Cleer."

Awalnya mereka hanya menonton pertandingan bulu tangkis sambil sesekali beradu argument siapa pemain terbaik, hingga tak sadar, mereka saling menyenggol. Melirik sekejap kemudian beradu pandangan.

Semua tak ada yang direncanakan hingga naluri menyentuh hati keduanya. Dian mengusap wajah cantik Clara, wanita itupun sedikit membuka bibirnya seakan mengizinkan pria itu untuk merasakan apa yang ada di dalamnya.

Namun ternyata tak hanya itu, hubungan mereka bahkan lebih jauh lagi. Dian dengan rakus mencumbu Clara yang nampak pasrah dan menikmati permainan dengan gelenyar tak biasa sesudahnya.

"Maaf Clara, aku akan bertanggung jawab jika ..." Dian mencium bahu polos yang halus mulus di hadapannya, sambil mendekap erat bagian lain di bawah selimut.

"Hamil? Jika aku hamil, Dian?"

"Hm, jika hamil."

Clara hanya tersenyum mengangkat lehernya, membiarkan Dian mengulanginya lagi malam itu berkali-kali.

Lalu ingatkan itu seolah menguat saat bunyi ponsel lagi-lagi berdering, dengan nama yang sama tertera di sana.

Irwan yang nampak memahami kelakuan saudaranya hanya tersenyum memikirkan jika satu hubungan yang akan dibawa ke jenjang  lebih serius tidak hanya melibatkan aku dan kau, namun juga 'dia'.

Saat ini Dian sedang memikirkan sosok 'dia' yang entah siapa dan dimana. Namun garis kasar di pelipisnya dan cemas tiap kali menatap layar ponsel seakan member jawaban bahwa sosok 'dia' mungkin sudah memiliki sedikit tempat di hatinya.

"Pergilah temui perempuanmu, Dian, biar aku yang membereskan semua ini."

"Oke, thanks ya, Mas."

Selangkah Dian berlalu, wajah Mama nampak berkaca-kaca di balik pintu, menyeka bulir-bulir air mata yang mulai menetes. Mata indah nan sayu itu mengatup seakan merasakan pedih yang sungguh sangat menyayat.

Irwan dan Niken saling berpandangan, entah apa yang sudah mama bicarakan dengan keluarga Mika, namun nampaknya Dian tak punya pilihan lain melihat kesedihan mendalam di mata mama.

"Baik, Ma. Akan kunikahi dia untuk mama, persiapkan saja semua, " ucap Dian dengan expresi dingin, berlalu melewati mama yang masih mematung sambil mengurut dadanya.

Share this novel

Guest User
 


NovelPlus Premium

The best ads free experience