Bab 8

Romance Series 732

Alma meninggalkan ruangan bosnya sembari menggerutu, waktu menunjukkan pukul enam petang. Sekertaris itu masih sibuk memeriksa beberapa data dan kertas kerja, menyalin jadwal-jadwal untuk Dian esok hari.

Tak sadar, pria pujaan hatinya sedang berjalan mendekat, lagi-lagi dengan dasi yang sudah terlepas dan kancing baju berantakan, singgah dan duduk bersandar di kursi depan meja Alma.

Membuat wanita itu kaget sekaligus terpukau dan senang tentu saja, Pak Dian Nagara Saputra, mau singgah ke meja kerjanya.

"Kenapa? Mingkem!" ujar Dian dengan nada ketus menyebalkan. Membuat Alma salah tingkah dan malu setengah mati dibuatnya. Mulutnya memang sempat terbuka karena terpesona, namun mendadak harus mengatup karena rupanya pak Dian terlalu dingin untuk memahami, dia sangat amat dikagumi banyak kaum hawa.

"Pak Dian butuh saya?"

Pemilihan kata yang ambigu membuat Dian menyipitkan mata ke arah Alma lalu tersenyum miring kemudian menyandarkan bahunya.

"Butuh kamu, buat apa?"

"Entah."

'Berani-beraninya dia berkata begitu, Alma sialan,' hardik lelaki itu dalam hati, namun dia mengerti. Iya mengerti. Bahwa Alma mungkin sudah lelah bekerja seharian. Itu saja.

Akhirnya Dian berdiri sambil mengetukkan telunjuk di atas meja tanpa menoleh. Lagi-lagi membuat Alma salah tingkat dan mendongak ke atas, menatap dagu indah milik atasannya sambil meneguk saliva berkali-kali.

'ganteng banget nih cowok,' bisiknya dalam hati.

Namun seolah suara hati itu terdengar oleh Dian, mendadak pria itu berbalik dan bertanya sesuatu.

"Ada yang ingin disampaikan?"

Tergagap Alma akhirnya hanya bisa menggeleng dengan cepat, dengan kaki yang dingin terasa tanpa tulang mirip pudding sutra. Lemah.

"Pak Dian nampak tampan," ucap Alma dengan nada bergetar lalu merutuk dengan kata-katanya sendiri.

Membuat Dian tersenyum sambil terus berjalan namun berbalik dan melihat ke arah Alma, "thank you sudah bekerja dengan baik, Al. See you ya." Gadis itu langsung mematung tak bergerak, satu tahun ini tak pernah sekalipun bosnya bersikap demikian. Ada apa dengan Pak Dian?

Alma tersenyum seraya mengangkat bahunya, rasanya bagai di siram bunga-bunga hingga membumbung tinggi ke angkasa. Pak Dian, hanya menyapa saja rasanya luar biasa.

'Take care always bos,' desahnya perlahan saat punggung Dian menghilang di hadapan.

***

Memacu kendaraan perlahan, Dian sedikit bingung antara kembali ke rumah pribadinya atau sungguh-sungguh harus menemui gadis berikutnya di rumah orang tauanya.

Menggerutu kesal karena mengingat warning oleh papa mengenai kondisi mama yang memburuk belakangan ini membuatnya mau tak mau harus mampir dan menyerahkan diri.

Masuk ke rumah dengan halaman luas dan pagar otomatis, nyatanya banyak sekali mobil terparkir di sana.

'habislah kau Dian,' umpatnya di balik kemudi.

Sesosok pria menghampiri, meminta kunci untuk menyusun parkir mobil , membuat kepala Dian mendadak sakit dan rasanya ingin pecah saja.

"Ada banyak orang di dalam?"

"Banyak Mas Dian, kayak orang mau nyerang gitu."

"Waduh."

Dian melangkah gontai menyusuri lorong berpilar sangat tinggi menuju ruang pertemuan. Semewah itu hunian keluarga Dian yang baru di tempati lima tahun belakangan ini.

Disambut oleh kakak perempuannya yang berprofesi sebagai Dentist. Buru-buru menariknya ke ruangan lain, membersihkan wajah berminyak dan menyodorkan pakaian bersih.

"Jorok banget Bos ini," goda kakaknya Dian tersebut.

"Mbak Niken nih pasti deh, nggak praktek emangnya?"

"Nggak. Mama lagi sakit tadi, tekanannya sampai dua ratus per seratus, aku takut pembuluh darah nya pecah jadi ya udah aku jaga mama aja, tutup praktek."

"Anak-anak mana?"

"Ada, ayok cepetan."

Dian pakai baju sekenanya saja namun sungguh tak mengurangi ketampanan pria matang yang hati dan sikapnya begitu dingin itu.

Berjalan menuju ruang pertemuan, di sana banyak mata tertuju pada Dian, namun justru matanya terpaku pada gadis semampai nan manis yang tertunduk di ujung meja.

Mikayla?

Dadanya berdesir sesaat, antara senang, kesal, ingin marah namun sekali lagi, dia memandang mama yang nampak sangat lemah dengan wajah pucat.

Wanita itu, Mika, mendongak dengan reaksi yang sama. Kaget bukan kepalang melihat Dian yang nampak sangat tampan saat ini, dan lagi, kaya raya.

"Dian, ini Mika, Pramugari, anaknya cantik, pinter, mama rasa pas jika dipasangkan denganmu," ujar mama dengan nada datar tak bertanya dulu pendapat Dian.

Orang tua Mika ternyata juga pengusaha namun masih skala kecil, bisa saja pernikahan ini punya kepentingan lain melihat masa lalu Mika yang terkenal sebagai cewek-cewek berkelas.

Mika hanya berdiri mematung memperhatikan Dian dari kejauhan, lalu berbisik sejenak dengan ibunya, bahwa dia ingin bicara dulu berdua dengan Dian.

Tentu saja mereka tidak keberatan, Mika menghampiri Dian, dan mengajaknya mengobrol di pinggir kolam renang.

"Apa kabar Dian?" sapa Mika dengan lembut, namun bagi Dian, Mika tak lebih dari wanita yang jago berpura-pura.

Membuatnya sedikit muak namun juga rindu. Sejujurnya rindu itu mengulik hatinya, sekedar saling bertegur sapa, apa salahnya?

"Hidup, kau?"

"Mati."

"Maksudnya?"

"Iya, Mati. Mika yang sekarang, tak sama lagi Dian."

Mereka duduk di kursi ayun yang lumayan panjang di tepi kolam. Namun tiba-tiba ponsel Dian berdering. Clara.

Sialan.

'Kenapa perempuan-perempuan ini sungguh sangat merepotkan malam ini,' umpatnya dalam hati sambil mematikan ponselnya.

Mika nampak sangat sedih ketika ingin menceritakan sesuatu, membuat Dian menepuk punggungnya, dan Mika menyandarkan kepala di bahu Dian.

"Aku minta maaf, Dian."

Terlambat, sudah berapa wanita yang menjadi korban pelampiasan kekecewaan, yang membuatnya sedikit paranoid untuk dekat dengan wanita lebih dalam.

"Minta maaf karena apa, Mika? Pura-pura suka atau karena telah mempermalukanku?"

"Karena telah mempermalukanmu."

Mika melingkarkan tangannya di lengan kekar Dian yang pernah merengkuh pinggangnya ketika berciuman di toilet saat itu. Ingatan tentang kejadian itu berkelebat saat Mika mencium dari jarak dekat wangi tubuh Dian yang tak berubah sejak SMA. Wangi maskulin.

Sesungguhnya Mika sangat menyesal telah mempermainkan perasaan Dian, karena dia satu-satunya pria yang setiap berkencan selalu membawakan sekuntum bunga maupun coklat, sangat romatis kala itu.

Hanya saja ego sebagai remaja beken kala itu megaburkan fakta bahwa, satu-satunya pria terbaik yang pernah dia temui adalah Dian. Sedangkan cowok-cowok lain hanya mengajaknya bersenang-senang dan bubar ketika sama-sama bosan.

"Owh, hanya itu?" Dian menoleh ke samping, tepat di kening Mika yang nampak bersih dan terawat. Hampir saja dia mengecupnya, namun rasa marah itu rupanya lebih menguasai akal dan logikanya.

"Aku sungguh-sungguh menyukaimu saat itu Dian, hanya saja ..." Mika mengentikan ucapannya, menarik nafas dalam-dalam kemudian melanjutkan dengan nada yang sedikit bergetar.

"... gengsi."

Dian tersenyum miring, menepis tangan Mika yang masih melingkar di lengannya, menariknya untuk berdiri dan kembali ke ruang pertemuan keluarga.

"Kita mau kemana, Dian?"

"Sampaikan itu semua pada orang tuaku, please."

"Apa? Tapi kenapa?"

Dian mencekal pergelangan tangan Mika, setengah menyeretnya, mambuat beberapa pelayan ketakutan, namun Dian meletakkan telunjuk di depan bibir, isyarat agar mereka tutup mulut dan tak ikut campur.

Mika sudah meronta, namun tangan itu lebih keras lagi meremas, hingga akhirnya tiba di ruang keluarga, wajah Mika memucat bagai kehilangan aliran darah.

Share this novel

Guest User
 


NovelPlus Premium

The best ads free experience