Bab 6

Romance Series 732

Rasa sakit tak mungkin sedalam ini jika tak menyangkut perasaan yang dipermainkan. Mika sungguh membuat hidupnya kacau pasca pelecehan yang dia lakukan di depan teman-teman gengnya.

Bagaiamana Dian yang begitu polos bisa diperdaya sedemikian rupa hingga menjadi bahan olok-olokan hampir di semua penjuru sekolah.

Membuatnya jadi kehilangan kepercayaan diri.

Siang itu menjelang ujian semester, Dian mendapat secarik kertas dari Clara Ayudia. Teman sekelas Mika, yang sudah lama menaruh hati pada Dian.

'Temui aku di depan perpustakaan sepulang sekolah, Dian.'

Hanya menunduk ragu-ragu sembari berprasangka buruk, tentang apa lagi semua ini, apakah ini permainan Mika lagi? Menjebaknya!

Sial.

Nampaknya rasa sakit itu masih saja kalah dengan rasa penasaran dan keinginan untuk balas dendam.

Mengetuk-ketukkan jemari di atas meja sambil menerka, sungguhkah surat itu dari Clara?

"Kenapa Dian?" tanya Fauzan sambil membuka-buka buku Sosiologi.

"Surat ini dari mana sih? Nggak mungkin ah dari Clara."

"Jadi menurutmu dari siapa?"

"Nggak tau," balas Dian cepat sambil menelungkup di atas mejanya.

Dian memejamkan kedua matanya, membayangkan seandainya itu benar-benar dari Clara, karena sesungguhnya mereka sempat dekat saat kelas satu, hanya saja, Dian tak terlalu suka jika Clara bergaul dengan geng Mika saat itu, meskipun belakangan, dia tahu bahwa Clara hanya penasaran menjadi bagian dari cewek-cewek popular di sekolah.

Pikirannya mendadak terhempas.

Terbangun saat seorang sekertaris pribadi menggoyangkan bahunya sedikit keras.

"Pak, Pak Dian,tamunya sudah datang," ucap wanita cantik berambut lurus itu sambil menyunggingkan senyum menawan. Dian berdeham sambil merapikan dasi yang sedikit miring.

"Saya bantu Pak Dian?" sekertaris itu begitu cekatan berjinjit merapikan dasi atasannya sambil sesekali mencuri pandang. Sungguh pagi ini Dian sangat keren setelah memangkas sedikit rambutnya.

"Sudah cukup, Alma." Dian mengalihkan pandangan ke arah lain sembari membenarkan kancing di pergelangan tangannya.

Dian berlalu namun sebelumnya berbalik tajam termenung sesaat menatap Alma, sekertarisnya.

"Terima kasih, kamu boleh kembali ke ruanganmu," ucap Dian memerintah dengan nada dingin.

Alma mengangguk tanpa suara, menggigit bibirnya sambil memicingkan matanya hingga segaris menahan sikap angkuh Dian Nagara Saputra, bosnya.

Melangkah melalui beberapa staff yang terlihat membungkuk maupun menyapa, nyatanya Dian seperti tak tertarik dengan remeh temeh maupun basa-basi , terus menatap ke depan seolah hanya berjalan dalam sunyi sendiri.

Memasuki ruang meeting dengan meja oval bagian tengahnya, beberapa pria tengah baya menunggu sambil berdiri menyambutnya.

"Selamat," Dian menggantung ucapan menoleh ke arah arloji di tangan kanan.

"Siang," lanjutnya sembari tersenyum disambut tawa ringan relasi bisnisnya.

Pertemuan itu membicarakan rencana kerja sama perluasan usaha di Malaysia. Tentu saja karena saat ini Dian menjabat sebagai komisaris utama PT. Keraton Gas & Energy Internasional, perusahaan yang diwariskan oleh mendiang kakeknya.

Kebetulan Ibunya Dian adalah anak tunggal seorang pengusaha sukses di bidang minyak dan gas bumi. Perusahaan itu cukup besar dan merepotkan jika harus di urus olehnya seorang diri, sedangkan saudara-saudara Dian memilih karir Militer maupun menjadi seorang Dokter.

Magali, nama Ibunya Dian, memang seorang wanita karir namun lambat laun kemampuannya dalam berbisnis sudah termakan usia, membuat Dian mau tak mau, suka tak suka dipersiapkan untuk mengambil alih perusahaan tersebut.

Untung saja, Dian memiliki kemampuan dan skill yang mumpuni serta mental baja menjadi pengusaha di usia muda. Dua puluh delapan tahun.

Ayahnya Dian sendiri berprofesi sebagai dokter spesialis penyakit dalam. Bernama Dokter Anton. Yang nampak tidak tertarik dengan dunia bisnis di luar urusan kesehatan yang memang sudah jadi bidangnya.

"Maaf Mister Chang, saat ini direktur tidak bisa hadir karena kesehatan yang sedang terganggu, jadi saya yang mengambil alih sementara," ucap Dian dengan nada suara yang berat dan jabat tangan yang erat tanda dia benar-benar sosok laki-laki yang berkomitmen penuh pada setiap langkah dan keputusan yang diambil.

Tak lama kemudian, pintu ruang meeting di ketuk dan dibuka tanpa menunggu jawaban, pandangan mereka beralih pada sosok wanita cantik yang membawa baki yang nampak tersenyum lembut meletakkan minuman di hadapan para relasi dan Dian.

"Permisi Pak Dian," ucap Alma menunduk sekelebat mengintip wajah bosnya yang dingin namun seperti hari-hari biasa lainnya, selalu tampan.

"Oke, Al. Thank you, ya." Dian berucap tanpa menatap.

Segera meninggalkan ruang meeting dengan perasaan yang sama setiap harinya, bahagia sekaligus kecewa.

Setahun menjadi sekertaris pribadi, Alma bahkan tak pernah sekalipun melihat bosnya itu tersenyum. Hari-harinya hanya diwarnai dengan tugas dan tanggung jawab penuh sebagai atasan dan bawahan, setiap saat mereka habiskan berdua dengan membahas pekerjaan tanpa romansa seperti halnya hubungan di film-film maupun novel.

"Al, Bos kamu ada?" sapa seorang wanita membuyarkan lamunannya, ujung pena yang sedari tadi digigit akhirnya dilepaskan sambil tersenyum ramah, berdiri sedikit membungkuk.

"Masih meeting, Bu Clara."

"Oke, kira-kira sampai jam berapa?"

Alma melihat ke arah laptopnya yang sudah tersusun semua jadwal kerja untuk Dian hari ini, matanya naik turun lalu mengernyit.

"Seharusnya sudah selesai sepuluh menit lalu, Bu. Karena setengah jam lagi, Pak Dian ada jadwal makan siang dengan Pak Ardhan," ucap Alma sembari mengambil ponsel, mengirimi pesan pada bosnya bahwa dia masih punya jadwal makan siang hari ini.

Clara Ayudia.

Wanita yang saat ini menjabat sebagai pemimpin redaksi majalah fasion wanita itu nampak gusar dibuatnya. Hubungannya dengan Dian tergolong rumit karena hingga bertahun lamanya, tak juga menemui titik kepastian kemana hubungan itu akan berlabuh.

Bahkan, tak pernah sekalipun Dian mengucapkan kata cinta sama sekali, hanya memberi perhatian dan sering menghabiskan waktu berdua setiap ada kesempatan.

Dari kejauhan terdengar suara derap langkah Dian yang nampak cepat lalu berhenti saat melihat kehadiran Clara di kursi tunggu tamu.

"Clara," sapa Dian menggantung ucapan, hanya memicingkan mata, membuat wanita itu bangkit dari duduknya,

Mengikuti langkah kaki Dian menuju ruangan. Clara mengempaskan posisi di kursi tamu ruang kerja Dian.

"Sudah satu minggu kamu tidak menjawab telponku, Dian. Kamu sedang menghindariku?"

"Iya."

Clara terperanjat berdiri menghampiri pria yang sudah bertahun-tahun ini dekat sekaligus menggantung hubungan dengannya. Berjalan ragu-ragu mendekat dengan sepasang netra yang sudah dipenuhi kaca-kaca yang siap meleleh kapanpun.

Sebenarnya ini bukan yang pertama dia menerima perlakuan dingin dari Dian. Pria itu memang sering tiba-tiba saja menjauhinya bahkan menumpahkan kekesalan yang meledak-ledak tentang entah apa, namun Clara selalu menahan diri untuk tak berdebat dengannya.

"Sialan kau Dian," hardiknya berdiri di hadapan pria yang dia cintai namun entah, kenapa hatinya begitu dingin untuk digenggam.

"Aku masih ada urusan, pergilah, Cler."

Clara tiba-tiba mendekat dan melingkarkan tangannya di pinggang Dian sambil mendongak ke atas, melihat jakun naik turun milik pria itu, menambah kesan macho sekaligus seksi.

Menempelkan kepalanya di dada bidang milik laki-laki yang seringkali dia rindukan jika sehari saja tak bertemu. Lama menunggu akhirnya Dian membalas pelukan hangat dari Clara sembari mengencup pucuk kepalanya. Sedikit senyum akhirnya tersungging dari bibirnya, melepaskan pelukan itu dan mundur satu langkah, Clara merapikan dasi sambil membelai dagu mulus yang nampaknya baru saja dicukur oleh sang empunya.

"Aku menyukai wajahmu ketika clean-shave begini, Dian. Sungguh."

"Really?" Dian lagi-lagi menyipitkan matanya ke arah Clara. Tatapan sinis namun selalu membuat kedua kaki wanita itu mendadak lemah bagai kehilangan tulangnya.

"Kita ketemu nanti malam?"

Dian melihat arloji klasik di tangan kanan sambil merapatkan bibir hingga tinggal segaris, nampak mengingat-ingat sesuatu. Sepertinya dia butuh bertanya pada Alma tentang jadwalnya nanti malam, apakah ada acara entertaint dengan relasi kerja seperti malam-malam biasanya.

"Nanti akan kuhubungi, pergilah, aku masih ada pekerjaan saat ini, Cler."

Clara lagi-lagi menunjukkan wajah sedih, memeluk tubuh Dian untuk kesekian kalinya sambil sedikit memohon, agar pria itu meluangkan sedikit waktunya untuk sebentar saja menemuinya di luar jam kerja. Mendekapnya dengan erat hingga tubuhnya meremang, membuat Dian akhirnya iba melihat wanita itu.

"Tunggu aku di apartemenmu, Cler. Aku akan datang, hhmm?"

Clara tersenyum bahagia bagai anak kecil yang sedari tadi merengek minta mainan dan di kabulkan.

Mengecup pipi Dian sedikit agresif, akhirnya wanita cantik itu pamit meninggalkan ruang kerja berukuran besar itu dengan mata berbinar-binar.

Bukan tanpa alasan Dian menjadi sedingin ini, trauma masa lalu saat dia dijadikan bahan taruhan oleh Mika akhirnya membuatnya tak percaya dengan wanita lain, bahkan dengan perasaannya sendiri.

Sejujurnya, Clara sudah sedikit menyentuh hatinya namun entah, terkadang melihat wanita itu mengingatkannya pada Mika, sehingga perasaan benci sering muncul tiba-tiba, ingin sekali bisa menyakitinya hanya sekedar menyampaikan dendam dan amarah yang belum terlampiaskan.

Dian berdiri mematung menatap pemandangan kota dari balik jendela lantai enam ruang kerjanya sambil bersandar di meja, menyesap kopi gingseng yang tersedia di atas meja.

Membiarkan angannya berkelana ke arah masa lalu yang sangat menyakitkan untuk dikenang.

"Dian, aku ingin menciummu di toilet sekolah," ucap Mika sehari sebelum kejadian memalukan itu. Meneguk saliva sambil rasa sakit mendadak menyerang kepalanya saat itu.

"Di toilet? Kenapa harus di sana, Mika? Masih banyak tempat yang lain, bukan?" tanya Dian yang malam itu sedang mengerjakan tugas sekolah.

Nada bicaranya yang berat namun lembut membuat Mika terkadang juga sedikit memiliki Feel tersendiri dengan cowok cakep itu, namun gadis itu terlalu angkuh untuk sekedar berdamai dengan statusnya, punya cowok yang nggak popular, nggak banget!

Dian sendiri sebenarnya bukan cowok biasa saat itu, hanya saja dia tidak terlalu pintar dalam bidang akademis, namun gaungnya sebagai pemain basket dan perenang professional sudah terdengar bahkan sampai ke sekolah lain.

Namun Dian bukanlah cowok yang suka pamer, jika siswa lainnya memilih show off berkumpul bersama komunitas-komunitas motor, mobil, cowok itu lebih suka menghabiskan waktu berenang atau bermain basket dengan clubnya.

Sedangkan Mika butuh sosok cowok yang mentereng saat itu, membuatnya harus membuang satu-satunya cowok terbaik untuk bisa mendekatinya.

Tiba-tiba pintu ruang kerja itu diketuk perlahan, terdengar lirih suara Alma, sekertarisnya.

"Pak ... " menggantung ucapan saat telunjuk Dian menjulur bergerak-gerak ke kiri kanan tanda tak ingin bicara.

"Maaf Pak, tapi makan siang dengan Pak Ardhan, apa mau diundur saja ?"

Dian sedikit kesal namun ketika hendak berbaik dengan kasar, tiba-tiba saja Alma sudah berdiri tepat di belakangnya, membuat kopi gingseng di tangannya sedikit tumpah di pakaian sekertarisnya itu karena tangan yang sedikit tersenggol.

Bukannya minta maaf, Dian hanya melihat dengan tatapan dingin pada Alma yang buru-buru mengambil tisu untuk membersihkan noda di bajunya.

"You okay?" tanya Dian berlalu tanpa menunggu jawaban. Seperti biasa, Alma menggigit bibirnya menghadapi pria tampan berhati dingin ini.

Keluar dari ruangan, Dian menghubungi supir untuk bersiap ke Restoran timur tengah untuk makan siang dengan Pak Ardhan membahas pekerjaan.

"Maaf Pak Dian, saya sedang bersama Bu Magali ke Optik untuk mengganti kaca mata," jawab supir.

Siang itu Dian terpaksa menyetir sendiri mobilnya, merenggangkan sedikit dasi sambil menempelkan siku kanan di jendela, menunggu kemacetan.

Share this novel

Guest User
 


NovelPlus Premium

The best ads free experience