Bab 7

Romance Series 732

Sesampainya di parkir valet restoran timur tengah yang di tuju, Dian justru membuka dasi, dan kancing kemejanya sengaja dibiarkan terbuka hingga hampir setengah dada, memperlihatkan bentuk dada six pack yang membusung.

"Ardhan, apa kabar?" menjulurkan tangan bersalaman dengan rekan kerja sekaligus mantan teman SMA nya tetapi beda kelas.

"Good, thanks sudah bertanya.Wow, ngegym di mana, bro?"

Dian tak menjawab, matanya sibuk menuju ponselnya yang berdering dengan tulisan di layar 'mama' , mengangkat telunjuk sambil menaikkan alis setengah, isyarat minta izin untuk menjawab telpon.

"Iya, Ma," sapa Dian sedikit menjauhkan ponsel dari telinga karena Bu Magali langsung melengking bicara keras sekali.

"Malam ini kamu masih nggak datang juga ke rumah mama, besok mama akan mengundurkan diri sebagai Direkturmu, Dian!"

Shit.

Mama benar-benar geram kali ini dengan ulah Dian yang mangkir setiap diberitahu bahwa akan dijodohkan oleh seorang gadis, anak kenalan Mama atau Papanya.

Sudah lebih dari lima kali, Dian hendak dijodohkan oleh anak pengusaha maupun anak dokter kenalan Papanya, namun setiap kali itu juga dia menghindar bahkan menolak.

Baginya sulit percaya dengan adanya suatu hubungan karena pernah terluka karenanya, dipermainkan seorang wanita. Mikhaila Savitri.

"Oke Mah, nanti Dian pasti datang, jam berapa ceweknya sampai rumah sih?"

"Hei, jaga bahasamu, dia bukan barang!"

Dian menepuk dahinya sambil menggigit bibir bagian atas, menggaruk kepala bagian belakang, menarik rambutnya.

Baginya saat ini yang penting jangan sampai ancaman Mama terlaksana, mengundurkan diri sebagai direktur, karena tanpa instruksi dan nasehat-nasehat dari Mama, Dian bukanlah apa-apa.

"Kamu lagi di mana Bos?"

"Ketemu Pak Ardhan, Ma. Mau nitip salam?"

"Suruh cepat selesaikan itu proyek perbaikan jembatan, di televisi mama lihat anak-anak jauh sekali memutar kalau mau ke sekolah."

"Oke Ma, Love you."

"Love you five thousand, kid."

Dian tersenyum lalu masuk kembali ke room yang sudah di pesan, makanan juga telah tersaji lezat dengan komposisi lengkap. Senampan nasi biryani dengan potongan daging kambing, makan siang yang membuat mereka terlihat akrab satu sama lain membicarakan rencana kerja ke depan.

Ardhan adalah salah satu pimpinan proyek yang sangat jarang bekerja di balik meja, tugasnya mengawasi dan menyelesaikan pekerjaan di lapangan, baik di kota maupun pulau terluar.

Sehingga sangat segan dia menginjakkan diri ke kantor apabila tidak terpaksa, dan kali ini dia kembali setelah berbulan-bulan melaksanakan tugas di Batam.

Mereka nampak sangat akrab satu sama lain, sesekali saling mengumpat kasar atau bicara tentang wanita. Menceritakan petualangan cinta yang membara dari satu ranjang ke ranjang lainnya. Kebetulan mereka punya luka yang sama tentang wanita, sama-sama pernah disakiti sangat dalam hingga dipermalukan.

"Wanita itu sama saja sebenarnya dengan pria, makhluk visual dan matre. Coba saja kita ini jelek, miskin, blehh ... apalah. Mati!" umpat Ardhan sembari meneguk kopi arab di gelas kecil.

Dian terseyum miring mendapati bahwa perkataan itu ada benarnya juga, baginya wanita sama saja, hanya fisik yang beda, bagaimana tujuan akhirnya tetap sama, mencari keuntungan semata dari kelemahan seorang pria.

Mengusap wajahnya sembari menyesap kopi, mereka kembali membahas seputar pekerjaan, hingga hampir tiga jam berganti-ganti topik akhirnya mereka sepakat untuk meninjau lokasi di luar daerah Minggu depan.

"Nggak entertain nih bentar malam, Dhan?" Dian tergelitik berpetualang malam ini, namun Ardhan nampak menyipitkan mata, membentuk tangannya menyerupai pistol membidik wajah Dian.

"Kemudian sepulang happy-happy ditembak Bu Magali, Darr. Matilah kita, Dian."

Menggebrak meja teringat janjinya akan pulang malam ini menemui gadis ke enam yang ditawarkan setengah memaksa untuknya. Kembali menarik rambutnya sambil menggulung lengan sebatas siku, membuat tangan kekar yang ditumbuhi bulu-bulu halus itu makin terlihat macho.

"Ah perempuan bikin repot aja," sergah Dian sangat geram, namun dia punya rencana membuat perjodohan ini gagal di awal. Melihat ke arah arah arloji, lalu berdeham menyampaikan ide gila pada Ardhan.

Dian mengajak Ardhan untuk mabuk-mabukan, selepas jam pulang kerja, membuat pria itu terkekeh dengan ide yang paling tak masuk akalnya.

"Mabuk? Kenapa nggak kamu kawinin aja tuh perempuan, kalau sudah bosen, tinggalin, lumayan kan statusnya duda keren." Ardhan tersenyum miring penuh rencana licik nan jahat.

Dian menggeleng sambil menyesap lagi kopi di tangannya, sangat bingung bagaimana jika Mama memaksanya untuk menerima gadis itu. Kasihan jika hanya menjadi permainan saja, karena siapapun yang dipilihkan untuknya pasti wanita baik-baik. Mama tak mungkin mengambil calon menantu perempuan sembarangan.

Bibit, bebet, bobotnya pasti sudah di telisik hingga tujuh turunan, delapan tanjakan, sembilan belokan, karena prinsip Mama, siapapun calon menantunya, harus tahu toto kromo, unggah-ungguh, nggak sekedar enggeh-enggeh. Entahlah.

Dian memanggil pelayan lalu membayar tagihan, berfikir sebentar alasan untuk tidak pulang ke rumah, namun kali ini di layar tertera nama 'Papa' yang menelpon, lagi-lagi mengingatkan bahwa kesehatan Bu Magali sedang terganggu, maka jangan coba-coba Dian membuat masalah kali ini, karena jika tidak, maka Kakaknya yang berprofesi sebagai perwira kepolisian tak akan segan-segan menggelandangnya bahkan memborgol bila perlu, untuk membawanya pulang.

"Mampus aku," umpatnya membuat Ardhan penasaran, lalu mengintip ponsel Dian sambil mengacak wajahnya.

"Mampus emang kamu kali ini, eh selamat deh," balas Ardhan mengolok dengan menyodorkan tangan hendak menyalami namun buru-buru Dian menarik ludah di kerongkongannya dan meludahi telapak tangan Ardhan.

'Cuhh.'

"Sialan nih orang," sergah Ardhan sambil terkikik malah mengeringkan ludah itu dengan mengusapkannya di lengan Dian.

Mereka akhirnya tiba di parkiran mobil, Ardhan sedikit berdecak kagum dengan sedan keluaran terbaru warna hitam milik Dian yang nampak mengkilap terkena cahaya matahari.

Mengambil ponsel sambil berswafoto di depannya dengan mata mengerling.

"Najis," olok Dian mencebik.

"Biarin."

Kemudian mereka bersalaman sambil saling merangkul, Dian menggaruk-garuk rambut bagian belakang seolah ingin mengatakan sesuatu, membuat Ardhan seolah paham.

"Slowly, mereka cuma perempuan seperti pada umumnya, Bos. Kasih aja yang mereka perlu, mereka mau, beres, kan?"

Dian mengangguk lalu masuk ke mobilnya kembali ke kantor pukul empat sore, langsung ke ruangannya melintasi ruang kerja Alma. Sekertaris itu buru-buru mengikuti dari belakang, membacakan beberapa telpon penting yang masuk dan surel-surel penting yang urgent harus dijawab secepatnya.

Tangannya begitu sibuk dengan catatan dan pena sehingga tak sempat menahan pintu ruangan Dian yang hendak menutup cepat, membuatnya hampir menabrak daun pintu, namun Dian menahannya dari dalam membuat bahu Alma yang dari tadi menegang langsung melemas seketika.

"Terima kasih Pak Dian," ucap Alma mendadak salah fokus dengan penampilan Dian yang sedikit acak-acakan tanpa dasi beserta kemeja yang tidak dikancing sempurna.

Dian hanya fokus pada ponsel di genggamnya, mengabaikan sekertarisnya yang sudah meneguk saliva berkali-kali melihat penampilannya sore ini.

"Oke lanjutkan, Al." sambil berjalan menuju kursi komisaris yang nyaman itu, mengempaskan tubuh sambil mengayun-ayunkan sandaran kursinya, sesekali mengusap dagunya yang mulus atau meneguk sebotol air mineral di atas meja.

"Jadi malam ini agenda saya apa, Al, yang kira-kira harus malam ini?"

"Malam ini, Bapak free."

'Sial. Habislah aku!' ucapnya dalam hati, lalu menoleh pada Alma yang nampak langsung kebingungan menoleh ke langit-langit ruangan karena sedari tadi memandangi bosnya tanpa berkedip.

"Kenapa Al? ada yang aneh pada diri saya?"

"M-maaf Pak Dian, tumben sore ini kurang rapi, maaf kalau saya lancang, dasi bapak di mana?"

Dian mengeluarkan dasi yang dia linting dan selipkan ke dalam kantung celana, menyerahkan kepada Alma, membuat wanita itu gemetaran salang tingkah. Mau di apakan dasi itu, apakah harus dia simpan, ataukah Dian sedang ingin, dia memasangkannya.

Alma merasakan tubuhnya kedinginan mendadak namun darahnya terasa mendidih saat Dian memutar kursi ke arahnya sambil mengangkat dagu. Memperlihatkan leher kekar dengan jakun seksi khas pria macho.

Sial.

Dian membuatnya kesulitan berkonsentrasi tiap kali melakukan itu, memasangkan dasi untuknya mungkin sudah sering, namun jika biasanya dilakukan pagi hari, jika kali ini sore hari entah untuk apa tujuan pria itu.

Dua pasang mata itu saling bertatapan sejenak saat dasi itu mulai dililit dalam kerah baju Dian, namun mendadak kedua kaki Alma seperti lumpuh layu mendadak bergetar hebat dan terhuyung, untung saja tangan Dian sigap menangkap pinggang ramping sekertaris itu.

Membuat Alma sungguh-sungguh bagai tersiram air es di ubun-ubun setelah terbakar matahari seharian.

"Maaf Pak Dian," ucapnya terdiam sesaat sambil merapikan kerah baju dan kancing-kancing kemeja yang tadi terbuka.

"Oke Al, kamu boleh pergi sekarang."

Ya ampun.

Dian ternyata tidak menganggap kejadian mendebarkan itu sebagai sesuatu yang istimewa, mungkin baginya tak penting lagi bagaimana perasaan wanita, biarkan mereka sibuk bermain dengan imaninasi dan fantasi sendiri, yang jelas jika mereka bermain hati, sakitnya tanggung saja sendiri.

Share this novel

Guest User
 


NovelPlus Premium

The best ads free experience