THE WINTER

Fantasy Series 2678

Self defense adalah suatu bentuk tindakan pertahanan diri dari segala jenis gangguan baik lingkungan maupun secara emosional. Mengelola self defense secara normal menjadi mekanisme diri yang baik tapi apabila dilakukan berlebihan justru menimbulkan efek manipulatif dan self harm.

 

Memeluk pinggangnya penuh erat membuat jantung Hoon berdetak lebih cepat. Sangat manis rasanya seperti coklat karamel bikin terbang melayang ke langit yang tinggi. Tidak dipungkiri terbayang masa depan yang membentang luas dan sempurna.

 

Hoon tidak akan mencuri kesempatan ini secara paksa dan senonoh. Dia hanya ingin membelai perasaan calon kekasih hatinya, masih mendengar suara sayup-sayup penuh teliti dan saksama. Hyun masih saja menutup kedua matanya dengan peluh keringat dingin. Demam membuatnya bermimpi buruk, apakah itu terlalu sakit bagimu?

 

Hoon memeluk ringkihnya badan Hyun yang masih tetap saja mengoceh tiada henti di samping kupingnya. Suasana semakin haru sekaligus mencengkam, ingin saja Hoon membawa lari Hyun dari ruangan ini dan membawanya ke rumah yang sesungguhnya. Rumah yang hangat memeluk rasa gelisah dan kesepiannya.

 

Hoon mungkin saja menikmati seluruh kebersamaan ini, melihat wajahnya begitu dekat dan sepuas hati. Menimbulkan sisi Hoon yang ingin memiliki seutuhnya baik raga dan hatinya. Hoon tidak akan membuang kesempatan sempurna ini.

 

Hyun semakin mengerang random dipelukan pria itu seperti wanita yang baru saja kehilangan seorang suami yang sangat dicintai sepenuh jiwa dan raga. Hoon mengelus kepalanya berulang kali. Dia bertekad meredakan rasa sakit yang dirasa sama cowok manis ini.

 

Bukan saja mempunyai begitu besar rasa sayang pada kekasihnya itu tetapi ada rasa iba yang begitu dalam. Hoon tahu rasa sakit kehilangan orang yang begitu kita sayang. Ya menyakitkan. Hoon tidak akan membiarkan orang ini dalam kesakitannya lagi kelak.

 

Mengalami semuanya saat ia berumur sembilan tahun. Saat itu ia merasa kecewa pada Tuhan yang sangat ia percaya akan selalu menjaga dirinya dan keluarga kecilnya. Rasa kehilangan ayah saja sudah menjadi duka lalu disusul sang adik yang harus kehilangan nyawanya di tangan predator pedofilia.

 

Sejak saat itu Hoon menjadi penganut ateis sedangkan ibunya agnostik. Jangan salahkan mereka karena kehidupan ini yang telah mempermainkan mereka.

 

“Mengapa kau tidak menyayangiku lagi eomma?”

“Tentu saja aku menyayangimu.”

“Kalo eomma sayang padaku tentu saja tidak melimpahkan semua kesakitan ini kepadaku.”

“Maafkan atas tidak keberdayaanku dan rasa egoisku.”

“Maafkan aku Jenny, aku mengakui semua kesalahanku.”

“Ma...maaf..maafkan aku Jenny.”

“Aku akan mengabulkan permintaanmu untuk menukar seluruh penderitaanmu. Aku akan bersamamu selamanya.”

 

Hoon mengeratkan pelukannya semakin dalam, mengecap dahinya dan mengatakan kalimat menyentuh di telinga Hyun.

“Kamu pantas untuk memaafkan dan berdamai dengan dirimu sendiri. Kamu tidak perlu lagi merusak hidupmu.”

 

Pada dasarnya Hoon mengerti tidak ada manusia yang sempurna dari cacat aib keburukan hati dan tidak sempurnanya fisik. Hoon percaya kesempurnaan itu ada jika seseorang menghargai dirinya sendiri dan menebarkan kasih sayang.

 

Hoon mengecap kening Hyun beberapa detik. Hoon tahu Hyun membutuhkan seseorang yang sabar di sampingnya dan seorang psikiater. Hoon tidak menyatakan Hyun mengalami sakit jiwa, melainkan niat ingin menghapus penderitaan depresi pasca trauma dari benak Hyun. Hidup Hyun pantas untuk mendapatkan kebahagiaan dan rasa damai.

 

Suasana yang terjadi semakin larut dari rasa haru dan kesedihan. Sembari memandangi wajah Hyun yang masih belum membuka matanya dan menoleh bentar ke arah Dahye yang juga seperti Hyun.

 

Hoon mengingat memori pertama kalinya bertemu mahasiswa ini. Dia tersenyum geli jika mengingatnya kembali atas tonjokan dari mahasiswa jurusan farmasi yang tampan ini. Memang salah Hoon juga yang bikin Hyun salah kaprah akan tindakan sang dosen muda tersebut.

Sekilas ingatan Hoon yang tidak secara sengaja menyentuh bokong gempal seorang lelaki muda. Semua orang melihat adegan memalukan itu di bus. Bagaimana pemuda itu harus ikut menonjok supir bus dan om-om badan kekar yang menyenggol pak dosen muda. Ya pemuda itu adalah Hyun seorang mahasiswa farmasi, tapi sayang sekali pertemuan kedua Hyun tidak mengingat wajahnya.

 

Pertemuan kedua masih tidak menyadari mereka di ruangan yang sama. Seperti hari weekend umumnya Dahye akan selalu mengajak Hyun pergi ke kafe, ya apartemen Dahye berseberangan tepat di asrama Hyun. Dahye yang tidak sengaja menyenggol Hoon langsung menundukkan kepalanya sembari meminta maaf. Dengan penuh malu Dahye tidak berani menatap orang yang berada di depannya, suara Hyun memanggil Dahye. Dahye sambil menutup sedikit wajahnya dan bergegas menghampiri Hyun.

 

Hoon tersenyum mengingat semua itu, dan hari ini adalah pertemuan kelima kali tapi pemuda tersebut belum mengingatnya dengan jelas. Belum selesai mengingat seluruh kenangannya ada insiden kecil membuat Hoon tersentak curiga.

 

Lemparan kertas kecil putih mendarat sukses di kepala Hoon dan tak lama terdengar suara pintu terbanting cukup keras. Hoon tersadar kertas kecil tersebut jatuh di bawah disamping kakinya. Dengan tangan panjangnya mengambil kertas tersebut. Nihil, semua hanya kertas kosong tanpa abjad satupun.

Hoon menggerutu kesal pada kertas ampas tersebut dan menebak siapa yang melakukannya. Bertanya siapa dalang iseng di situasi seperti ini. Kondisi yang belum diketahui sebabnya secara pasti.

 

Ibunya melihat mahasiswa itu tidak melepaskan Hoon begitu saja. Beberapa hal kejadian ini justru Ny. Jun ingin mengecek pintu depan. Dia khawatir ada seseorang yang butuh bantuan mereka. But wait dengan kondisi seperti sekarang masih adakah orang yang bisa memasuki ruangan ini?

 

Seandainya pun pintu itu terbuka fakta ruangan ini berada di ruangan bawah yang terkunci besi dan memiliki pin kode dan hanya orang-orang tertentu saja mengetahuinya. Lalu siapakah orang itu?

 

Sekelebat rasa takut muncul apa yang akan terjadi jika dirinya berada di luar. Dia cemas apa yang ditakutkan bahwa bisa saja orang di luar adalah salah satu dari kelompok psikopat, mungkin saja mereka sudah bisa menerobos pintu kaca dan menemukan letak titik lokasi mereka.

 

Terjadi percakapan cukup sengit antara ibu dan anak, mereka saling menawarkan diri masing-masing.

“Atau saja kita tidak usah membuka pintu itu, eomma sudah kehilangan ayah dan adikmu. Jika aku kehilanganmu lebih baik aku mati saja.”

“Aku berjanji lebih berhati-hati dan baik saja.”

“Biarkan eomma saja Tae Hoon.”

“Eomma tenang saja anakmu ini akan berhati-hati.”

 

Hoon tidak mendengarkan permintaan ibunya, Hoon segera melepaskan pelukan Hyun. Sebanyak tiga kali usaha Hoon untuk terlepas dari semua ini, Hoon bergegas berdiri. Dalam situasi seperti ini Hoon juga tidak mengambil tindakan secara gegabah dan semena-mena. Hoon berlari kecil menemui ibunya dan memeluk penuh kasih sayang. Hoon mencium pundak ibunya sebanyak tiga kali.

 

“Aku mengingat ketika umurku tujuh tahun. Mendapatkan nilai lima dan ayah memarahiku telah berbohong dengan hasil ujianku. Eomma tidak memarahiku bahkan memelukku dan berkata tidak apa-apa.”

 

“Aku mengingat di musim panas saat Jisoo masih berumur tiga tahun. Aku sangat cemburu melihat ayah dan eomma lebih memperdulikan adik. Dengan sengaja aku melukai tanganku. Sehingga kalian hanya memperhatikanku. Tapi ibu berkata akan menyayangiku dan Jisoo dengan sama di setiap hela nafasmu. Aku dan Jisoo bagimu adalah kekuataanmu dan alasan eomma mencintai kehidupan ini.”

 

“Bisakah eomma kali ini aku melindungimu untuk diriku sendiri?”

 

Kali ini Ny. Jun menangis sejadi-jadinya dipelukan anak yang begitu ia sayang. Anak satu-satunya yang tersisa dalam hidupnya. Harus merelakan atas keputusan anaknya yang ingin melindunginya. Anaknya sudah begitu dewasa dan bijak dalam mengambil setiap keputusannya.

 

Pelukan itu semakin erat seakan ini perjumpaan terakhir mereka. Mengecup kening ibunya yang masih setengah tidak rela atas keputusannya, niat hatinya sudah teguh untuk melindungi orang-orang yang disayangnya. Bukan sekedar tekad saja Hoon berusaha memproteksi dirinya. Dia genggam barang yang seadanya sekalipun itu garpu untuk melawan jika benar di balik pintu itu adalah orang-orang aneh.

 

Ny. Jun melihat setiap langkah hati-hati Hoon, menghela nafas sebelum membuka pintu besi tersebut. Pikiran agak kacau pada situasi seperti ini. Dia tahu betul ini bukan mimpi belaka.

 

Pintu besi sudah mulai terbuka pelan-pelan, pandangannya tajam lurus dan semakin lebarnya pintu matanya segera menoleh kiri dan kanan. Lalu tanpa permisi sebuah tangan menarik tangan Hoon dengan kuat dan menghempaskannya di lantai. Gadis bertopi hitam ini memiliki tenaga yang luar biasa. Dia menutup pintu besi itu dan terdengar jeritan dan pukulan Ny. Jun.

 

“Kamu siapa dan apa maumu?”

“Apa kau tidak mengenaliku?”

“Bagaimana bisa aku mengenalimu?”

 

Tunggu Hoon sepertinya mengenali suara ini, tidak asing baginya. Hoon menebak dalam hati, tapi disisi lain merasa ragu secara segi ilmiah itu tidak mungkin terjadi.

 

“Aku tahu kau sudah bisa menebak dan tebakanmu tidak salah. Kali ini kau harus mendengarkanku dosen muda karena aku tidak punya banyak waktu bermain denganmu.”

 

Gadis itu melepaskan topinya dan ia tersenyum sambil melemparkan dua bungkusan kecil dan besar. Di sisi lain Hoon menatapnya serius. Badannya agak tegang dan matanya sedikit membulat tajam. Dan itu terjadi sebentar dan mimik sang dosen kembali datar.

 

“Bagaimana kau bisa disini sedangkan tadi kamu masih berada di dalam?”

 

Gadis itu segera berlutut di hadapan Hoon dan menyentuh pundaknya. Posisi ini sangat intim sekali kelihatan dari gesture keduanya tidak nyaman. Si gadis itu hanya menjelaskan secara pendek dan tidak detail.

“Yang harus kau lakukan pergilah ke dalam dan rawat Hyun dengan benar. Jika aku sudah sadar nanti dan apapun yang aku lakukan tetaplah fokus merawat Hyun.”

 

Gadis itu memakai topinya kembali dan menarik lengan Hoon dengan seenak udel. Menunjuk dengan tegas agar segera kembali ke depan. Hoon mengangguk dan berbalik berdiam sejenak. Hoon merasa ini seperti halusinasi akibat gempa yang telah membuat otaknya mulai bergeser.

 

Dia penasaran dan kembali melihat ke belakang bahwa faktanya tidak ada seorang pun selain dirinya. Hoon menghela nafas panjang bahwa ini hanya halusinasinya saja akan tetapi ia tersadar sudah menenteng dua bungkus plastik dalam genggamannya.

 

Hoon langsung mengecek isi bungkusan itu ternyata terdapat obat-obatan yang diperlukan dan sisanya stok makanan instan. Hoon tersadar ini bukan sekedar halusinasinya semata melainkan ada sesuatu yang terjadi diluar akal sehat manusia.

 

Hoon berpikir ada sebab dan akibat dari timbulnya gempa. Hoon ingin percaya bahwa gesekan tersebut membentuk dunia paralel dan membuka pintu dimensi lain. Hoon juga ragu karena belum terdapat bukti konkrit pada sains sebelumnya. Hatinya semakin mempertanyakan akal sehatnya. Mengapa ini terlalu nyata dan susah untuk dipungkiri sang dosen muda.

 

 

 

 

 

 

 

Share this novel

Guest User
 


NovelPlus Premium

The best ads free experience