Series
35
Sore itu pesantren terasa damai. Angin sore mengibaskan tirai bambu, sementara suara santri mengaji terdengar sayup di kejauhan. Latip duduk di serambi, menatap sarungnya yang tergantung di tali jemuran dengan pandangan bingung.
“Latip, ngelamun aja. Sarungmu mau disembah, ya?” goda Nawi yang lewat sambil membawa ember.
“Lah, aku ini bukan ngelamun, Wi. Aku mikir, kenapa tiap kali sarung ini kering, pasti ada aja yang aneh.”
“Aneh apanya?”
Latip menatapnya serius. “Kemarin warnanya biru muda, sekarang jadi agak keunguan. Aku cuci pakai sabun biasa, lho.”
Nawi tertawa. “Mungkin sarungnya lagi galau, Tip. Terserahlah, yang penting jangan sampai sarungmu dikira barang antik terus dijual ke kolektor.”
Latip hanya geleng-geleng. Tapi dalam hati ia memang mulai merasa, sarung peninggalan kakeknya itu bukan sembarang kain. Sejak pertama ia bawa ke pesantren, kejadian-kejadian aneh mulai bermunculan.
---
Malamnya, setelah isya, Latip sedang menulis catatan hafalan di kamar. Angin berhembus pelan, membawa aroma tanah basah. Ia membuka kitab kecil yang diberikan Kyai Harun minggu lalu. Tapi saat membuka halaman tengahnya, sesuatu jatuh dari sela-sela kertas.
Sebuah surat tua.
Kertasnya kekuningan, tinta hampir pudar.
Tertulis di bagian atas:
“Untuk keturunan Maulana Ishak, penjaga rahasia cahaya.”
Latip membaca pelan-pelan.
Isinya aneh — bukan pesan biasa, tapi teka-teki.
> “Jika engkau menemukan sarung itu, maka ketahuilah:
dalam setiap lipatannya tersimpan doa,
dan di lipatan terakhir, tersimpan kebenaran yang hanya bisa dibuka oleh hati yang bersih.”
Latip mengerutkan dahi.
“Lipatan terakhir? Sarungku ada lima belas lipatan, siapa juga yang mau ngitung satu-satu?”
---
Tiba-tiba dari jendela terdengar suara pelan.
“Latip… kamu baca surat dari kakekmu, ya?”
Latip menoleh. Itu Raisa, santriwati cerdas yang sering membantu di perpustakaan pesantren. Ia berdiri di luar jendela sambil membawa kitab tafsir.
“Kok kamu tahu?” tanya Latip curiga.
Raisa tersenyum kecil. “Karena Kyai Harun suruh aku bantu kamu. Beliau bilang, cuma kamu yang bisa membuka rahasia itu… tapi kamu nggak akan bisa sendiri.”
“Lho, maksudnya aku ini butuh bantuan siapa?”
“Ya aku, siapa lagi?” jawab Raisa datar, tapi matanya berkilat geli.
Latip langsung kikuk. “Eh, iya sih, cuma… biasanya aku buka sarung sendiri, nggak pernah berdua.”
Raisa menatapnya tajam tapi menahan tawa. “Latip, tolong ya, konteksnya jangan dibelok-belokin.”
---
Keduanya lalu duduk di serambi, membuka surat itu bersama. Angin malam berhembus lembut, membuat suasana terasa hangat tapi misterius.
“Lihat bagian ini,” kata Raisa menunjuk tulisan samar. “Ada bekas cap lilin, tapi bentuknya bukan bulat… ini kayak ukiran simbol ular melingkar.”
“Ular?” Latip langsung merinding. “Jangan bilang ular beneran, aku trauma. Pernah diserang tali jemuran yang mirip ular.”
Raisa tertawa kecil. “Ular itu simbol penjaga. Bisa jadi rahasia itu dilindungi sesuatu yang bukan sekadar benda.”
Latip menghela napas panjang. “Jadi, maksudnya aku ini keturunan penjaga benda misterius? Bukannya penjaga sandal kyai?”
“Kalau kamu penjaga sandal, nggak mungkin ada surat begini, Latip,” jawab Raisa lembut.
---
Hening sejenak.
Dari kejauhan terdengar suara jangkrik. Lampu minyak bergoyang tertiup angin.
Raisa memandangi sarung yang tergantung di dinding. “Mungkin rahasianya nggak cuma di sarung itu, tapi di siapa yang memakainya.”
Latip terdiam. Kata-kata Raisa seperti menembus pikirannya.
Tapi ia menutupi rasa kikuknya dengan senyum jenaka.
“Kalau begitu, mulai sekarang aku harus lebih sering nyuci sarung, ya. Siapa tahu makin bersih makin banyak rahasianya keluar.”
Raisa menghela napas sambil tertawa kecil.
“Kamu ini, antara lucu dan nyebelin tipis banget bedanya.”
“Tipis kayak kain sarungnya,” sahut Latip cepat.
Mereka tertawa bersama — suara tawa yang sederhana, tapi hangat.
Dan tanpa mereka sadari, dari sarung itu keluar cahaya samar, seperti hembusan bintang yang menyala sebentar lalu padam.
Latip tak melihatnya. Tapi Raisa sempat menoleh.
Ia tahu… rahasia itu baru saja mulai terbuka sedikit.
Share this novel