Series
35
Siang itu, suasana Pesantren Rawa Hitam begitu tenang.
Hembusan angin yang menyentuh dedaunan terdengar seperti bisikan yang sopan, sementara sinar matahari menimpa tanah tanpa menyilaukan. Hari itu seperti dibuat khusus untuk berpikir dengan pelan.
Latip sedang duduk di serambi asrama sambil menjemur sarungnya.
Sarung itu ia lipat rapi—meskipun ia tetap tidak membuka lipatan terdalam, sesuai pesan ayahnya.
Namun hari ini terasa berbeda.
Ada sesuatu tentang sarung itu yang… aneh dengan cara elegan.
Warna cokelat keemasannya tampak lebih hidup di bawah cahaya matahari.
Seakan benang-benangnya memantulkan sesuatu yang tidak terlihat kemarin.
Rafi menghampiri sambil membawa dua gelas teh hangat.
“Minum dulu,” katanya. “Kamu dari tadi ngelamun liatin sarung. Takut hilang?”
“Bukan,” jawab Latip sambil menerima teh, “aku cuma merasa sarung ini… seperti punya bahasanya sendiri.”
Rafi tersenyum. “Kamu mulai paham.”
“Paham apa?”
“Bahwa beberapa benda itu bicara tanpa suara. Kita yang harus belajar mengerti.”
Latip mendengus pelan.
“Rafi… kamu kalau ngomong suka kayak ustad yang belum tidur tiga hari.”
Rafi tertawa kecil, elegan tapi lepas.
“Ya setidaknya ada nuansa hikmahnya.”
---
Saat Latip mengambil sarung itu lagi, jari-jarinya menyentuh bagian bawah kain.
Ada sesuatu yang membuatnya berhenti.
Sebuah pola kecil.
Benang tersusun agak berbeda dari bagian lainnya.
Tidak mencolok.
Tidak aneh.
Hanya pola kecil yang nyaris tak terlihat.
Tapi ketika Latip mengusapnya dengan ibu jari…
Pola itu terasa seperti relief huruf.
Bukan jahitan biasa.
Latip mendekatkan sarung ke cahaya.
Di sana, tersembunyi di antara lipatan:
garis kecil seperti huruf I yang sama dengan daun dan goresan tanah kemarin.
Latip menatap Rafi.
“Ini… sama bentuknya.”
Rafi mencondongkan tubuh.
“Huruf awal ketiga dalam dua hari.”
“Dan semuanya muncul sendiri, Raf.”
Rafi mengangguk.
“Berarti kamu memang sedang diarahkan. Pelan-pelan.”
---
Tepat saat itu, seseorang muncul di depan asrama.
Ustad Gema Pradana.
Langkahnya tenang, dan senyumnya tipis seolah tahu sesuatu tanpa harus menjelaskan.
“Kalian di sini rupanya,” ucapnya.
Rafi berdiri sopan. Latip ikut menyusul.
Ustad Gema memperhatikan sarung di tangan Latip.
“Indah, bukan? Sarung lama biasanya menyimpan cerita yang tidak semua orang bisa baca.”
Latip bertanya dengan hati-hati,
“Ustad… apa sarung seperti ini pernah ada sebelumnya? Maksud saya… sarung yang punya tanda?”
Ustad Gema tidak segera menjawab. Ia menatap langit sebentar lalu berkata:
“Dalam sejarah pesantren, ada beberapa santri yang membawa benda warisan keluarga. Tidak besar, tidak mewah. Tetapi secara halus… memandu mereka menemukan jati diri.”
Lalu ia menatap Latip.
“Kau tidak usah terburu-buru. Rahasia benda itu akan terbuka ketika kau siap.”
Lembut. Tenang.
Kalimat yang terasa seperti bagian dari teka-teki itu sendiri.
Latip mengangguk.
Ia tidak mengerti semua, tapi ia mulai menerima bahwa ia memang tidak perlu memahami semuanya sekarang.
---
Setelah Ustad Gema pergi, suara langkah lembut terdengar.
Zahra datang membawa buku catatan dan sebuah pena biru.
Ia duduk di serambi tanpa banyak bicara.
Keberadaannya menenangkan tanpa usaha.
“Kau menemukan sesuatu?” tanyanya sambil menatap sarung itu.
Latip menunjukkan pola kecil itu.
Zahra memperhatikan dengan mata teliti.
“Garis pertama.”
“Pertama dari apa?”
Zahra menutup bukunya perlahan.
“Kalau ini benar pola awal… biasanya simbol-simbol berikutnya akan muncul saat kau menemukan tempat yang cocok.”
“Tempat?” Latip mengerutkan kening.
Zahra mengangguk.
“Beberapa ada di kolam, beberapa di sumur, beberapa di aula… pesantren ini menyimpan banyak hal, tapi tidak semuanya keras. Banyak yang halus seperti angin.”
Jawaban Zahra membuat siang terasa lebih pelan.
Latip berkata pelan,
“Jadi… aku mencari sesuatu yang nggak tahu bentuknya, di tempat yang belum tahu di mana, dengan petunjuk yang belum tahu maksudnya?”
Zahra tersenyum elegan. “Itu biasanya disebut perjalanan.”
Latip tertawa kecil, tanpa beban.
Untuk pertama kalinya, ia tidak takut pada teka-teki itu.
Ia justru menikmati ritmenya—pelan, halus, sopan.
---
Saat ia kembali menjemur sarung, tiba-tiba seekor ayam cokelat—Pak Manuk, begitu anak-anak menyebutnya—berjalan mendekat.
Ayam itu berhenti tepat di depan sarung.
Tidak berkokok.
Tidak cakar-cakar.
Hanya menatap… dengan cara yang membuat Latip merasa ayam itu sedang membaca pola kain.
Zahra tersenyum.
“Dia memang begitu pada benda yang punya jejak.”
Latip menatap ayam itu balik.
“Pak Manuk, kalau mengerti, tolong kasih petunjuk yang jelas ya.”
Ayam itu berkedip… lalu pergi santai.
Latip menghela napas pelan.
“Ya, setidaknya dia dengar.”
Zahra menahan tawa.
Di pesantren ini, bahkan ayam pun terasa seperti bagian dari perjalanan.
---
Siang itu ditutup dengan angin lembut yang menyentuh ujung sarung Latip.
Seolah sarung itu sendiri berbisik pelan:
“Ini baru awal.”
Dan untuk pertama kalinya, Latip siap melangkah ke babak berikutnya.
Share this novel