BAB 1 — PESANTREN YANG TERLALU TENANG

Mystery Series 35

Latip Maulana Ishak menarik napas panjang saat berdiri di depan gerbang Pesantren Rawa Hitam.
Bukan karena gugup… tapi karena ia masih belum percaya kalau orang tuanya benar-benar menurunkannya ke pesantren tanpa diskusi, tanpa rapat keluarga, tanpa musyawarah besar.

"Ini… beneran tempatnya?" gumam Latip sambil menyipitkan mata.

Gerbangnya sederhana, dicat warna krem yang sudah mulai pudar. Pepohonan besar menjulang di kiri kanan, membuat tempat itu terlihat adem… sekaligus sedikit sepi.
Tidak ada santri ribut. Tidak ada suara mengaji. Tidak ada ustad galak yang biasanya muncul sambil pegang rotan.

Yang terdengar justru…
kruk… kruk…

Seekor ayam cokelat berdiri satu meter di depan Latip, menatapnya lama.
Tatapan ayam itu terlalu serius untuk ukuran ayam.

"Assalamu’alaikum…?" Latip coba menyapa, walau jelas ayam tidak bisa jawab.

Ayam itu mengangguk. Mengangguk.
Lalu berkokok pendek — kokokannya terdengar seperti “huk!” — dan berlari ke kebun.

Latip mengangkat alis.
"Oke… ayam pesantren ini kayaknya ketua geng."

Ia menggeser tas selempangnya dan merapikan sarung yang digulung di pinggang. Sarung itu punya satu aturan dari ayahnya: jangan dibuka lipatannya terlalu dalam.

Latip tidak pernah paham alasannya.
Sarung ya sarung, bukan puzzle.

Saat ia masih sibuk mikir, seorang santri muncul dari balik gerbang. Badannya kurus, wajahnya ramah, tapi sorot matanya seperti orang kurang tidur seminggu.

“Kamu… Latip?” tanya santri itu.

“Iya, kok tahu?”

Semua santri biasanya butuh waktu untuk kenalan, tapi orang ini seperti sudah tahu sejak kapan.

Santri itu mengangguk. “Namaku Rafi. Ayo masuk. Tapi hati-hati.”

“Kenapa?”
“Di pesantren ini… hal pertama yang kamu lihat biasanya nggak cuma hal pertama.”

“Apa itu maksudnya?” tanya Latip bingung.

Rafi cuma nyengir. “Nanti paham sendiri.”

Jawaban model begini langsung bikin Latip merasa dirinya masuk ke dunia teka-teki.

---

Masuk ke halaman pesantren, suasananya jauh lebih tenang. Ada bangunan aula, masjid sederhana, dan asrama dengan tembok kusam tetapi terawat.
Beberapa santri duduk sambil membaca buku. Ada yang nyapu pelan. Ada yang tidur di bale bambu sambil ngorok kecil.

Tidak ada yang aneh—kecuali satu jam dinding besar di aula.

Jarumnya bergerak mundur.
PERLAHAN.
SEPERTI.
NORMAL.

Latip tepuk bahu Rafi. “Bro, jamnya rusak.”

“Enggak.”
“Kok mundur?”
“Itu udah biasa.”
“Biasa gimana?!”
Rafi hanya mengangkat bahu santai.

Latip mulai ragu apakah ia sedang masuk pesantren… atau escape room.

---

Mereka jalan menuju asrama. Dalam perjalanan, Latip melihat sumur tua di pojok halaman. Dari jauh, airnya terlihat keruh. Tapi ketika mereka lewat dekatnya, air itu tampak jernih dan bening.

“Kamu lihat?” tanya Rafi tiba-tiba.

“Airnya berubah. Itu pakai sulap?”

“Bukan. Tapi memang begitu.”

“Kenapa begitu?”

Rafi lagi-lagi cuma menjawab dengan wajah ‘nikmati saja dulu hidup’.
“Di sini banyak hal yang lebih baik kamu terima dulu, baru tanya.”

Latip menghembuskan napas panjang. "Pesantren apa ini… kok lebih penuh misteri daripada rumah sakit jiwa?"

---

Sampai di kamar asrama, Rafi membuka pintu. Di dalam, beberapa ranjang tersusun rapi. Di salah satu ranjang ada papan nama kayu bertuliskan:

LATIP MAULANA ISHAK
— seolah nama itu sudah disiapkan jauh sebelum ia datang.

Latip mengerutkan kening. “Kok bisa ada namaku?”

Rafi tersenyum samar. “Di pesantren ini, beberapa hal memang sudah… dipersiapkan.”

“Disiapin buat siapa?”
“Kamu.”

Latip memelototkan mata. “Bro, jangan spooky gitu dong!”

Rafi tertawa kecil. “Tenang. Kamu bakal baik-baik saja kok.”

Kalimat itu tidak membantu sama sekali.

---

Saat Latip meletakkan tas, tiba-tiba terdengar suara dari luar jendela:

“Tip…”

Latip langsung menghampiri jendela. Tidak ada siapa-siapa.

Ia mundur satu langkah.

Suara itu terdengar lagi.

“Lipatan… sarung…”

Latip langsung menutup sarungnya rapat-rapat.
“Ya Allah… siapa yang nguping?!”

Rafi menoleh, wajahnya berubah sedikit serius. “Kamu dengar?”

“DENGARLAH! Dan aku nggak suka!”

Rafi mendekat. “Kalau kamu sudah dengar suara itu… berarti kamu memang orangnya.”

“Orang apa?!” Latip mulai panik.

Rafi tersenyum tipis. “Orang yang bakal nemuin rahasia di pesantren ini.”

Latip terdiam.
Jantungnya berdetak lebih cepat.

Sementara itu, sarung yang ia genggam terasa… sedikit lebih berat dari biasanya.

Seolah ada sesuatu di lipatannya
yang selama ini menunggu untuk ditemukan.

Share this novel

Guest User
 


NovelPlus Premium

The best ads free experience