Bab 9 – Simbol Ular dan Mimpi di Bawah Pohon Jambu

Mystery Series 35

Malam itu, angin berembus pelan melewati halaman pesantren. Suara jangkrik bersahutan seperti paduan suara alam.
Latip duduk di bawah pohon jambu, sambil menatap langit penuh bintang. Sarungnya melingkar di pundak, tapi entah kenapa terasa hangat, seolah sedang berdenyut pelan.

“Kalau kamu bisa ngomong, Sarung, ngomonglah. Biar aku nggak pusing sendirian,” gumamnya.

Tak lama kemudian, datang Raisa membawa dua gelas teh hangat.
“Masih mikirin surat itu?” tanyanya sambil duduk di sebelah Latip.

“Iya. Katanya simbol ular itu penjaga rahasia. Tapi kenapa harus ular, ya? Kenapa nggak burung dara gitu, lebih adem.”

Raisa tersenyum. “Ular itu bukan selalu lambang jahat. Dalam banyak kisah kuno, dia simbol pengetahuan dan pengawasan.”

Latip menatapnya dengan wajah serius tapi polos.
“Pengetahuan dan pengawasan… berarti kayak ustaz Iskandar, dong. Banyak tahu, tapi matanya kayak CCTV.”

Raisa menahan tawa. “Kamu bisa aja, Tip. Tapi serius, mungkin kakekmu dulu menyimpan sesuatu yang penting — dan sarung itu semacam kuncinya.”

Latip terdiam. Hening beberapa saat. Lalu ia berkata pelan,
“Kalau begitu, kenapa kunci ini malah jatuh ke aku, santri yang hafal doa makan aja suka kebalik?”

Raisa memandangnya lembut. “Karena kadang Allah milih yang polos untuk jaga sesuatu yang besar. Supaya rahasia itu nggak disalahgunakan.”

---

Beberapa menit mereka diam. Hanya suara daun jambu bergesekan dengan angin.
Tiba-tiba Latip memejamkan mata — dan seketika, matanya berat, tubuhnya condong ke belakang. Ia tertidur.

Dalam mimpinya, ia berdiri di halaman pesantren yang sama, tapi suasananya berbeda. Langit merah jingga, dan semua bangunan tampak tua.
Di depan masjid berdiri seorang lelaki berjubah putih, wajahnya samar.

“Latip…” suara itu berat tapi damai. “Kau sudah menemukan suratnya, tapi belum waktunya membuka lipatan terakhir.”

“Siapa Anda?” tanya Latip.

“Aku Maulana Ishak, leluhurmu. Jaga sarung itu. Saat tanda ular muncul lagi, berarti rahasianya siap terungkap.”

“Tanda ular? Maksudnya yang di surat?”

Lelaki itu tersenyum samar. “Bukan di surat. Di hatimu.”

Tiba-tiba tanah bergetar, dan dari lipatan sarungnya muncul cahaya keemasan berbentuk ular kecil yang melingkar di udara. Ular itu berbisik, tapi suaranya bukan ancaman — lebih seperti lantunan doa.

Latip terbangun mendadak, napasnya tersengal.

---

Raisa yang duduk di sebelahnya langsung panik.
“Latip! Astaghfirullah, kamu kenapa?!”

Latip mengusap wajahnya. “Aku… aku mimpi aneh. Tapi rasanya nyata banget. Kakekku datang. Dia bilang… rahasia itu ada di ‘tanda ular di hati’.”

Raisa mengernyit. “Tanda ular di hati? Maksudnya gimana? Jangan-jangan kamu cuma kebanyakan makan sambal, Tip.”

Latip tertawa lemah. “Aku juga pengin itu cuma mimpi sambal. Tapi… ini.”

Ia membuka sarungnya. Di bagian dalam, dekat lipatan paling bawah, tampak bekas cahaya samar seperti bentuk ular melingkar — seolah baru terbakar di kain.

Raisa menatapnya tertegun. “Itu… munculnya kapan?”

“Pas aku tidur barusan.”

Hening. Angin berhenti berembus.

Raisa menatap Latip dengan pandangan campur antara kagum dan takut.
“Mungkin, Latip… rahasianya mulai terbuka. Dan kamu yang terpilih untuk menjaganya.”

Latip mencoba tersenyum, tapi wajahnya jelas bingung.
“Terpilih? Aku ini cuma santri biasa, bukan superhero bersarung.”

Raisa menatapnya lembut, lalu menepuk bahunya. “Ya tapi, kadang pahlawan itu lahir bukan dari jubah… tapi dari sarung.”

Latip terdiam sebentar, lalu tertawa kecil.
“Kalimatmu itu keren, Sa. Kalau dijual ke penerbit, laku kayaknya.”

Raisa ikut tertawa. “Dasar kamu, Tip.”

---

Sementara mereka tertawa, dari kejauhan, seseorang memperhatikan dari balik bayangan pohon mangga.
Sosok berjubah abu-abu itu berbisik lirih,
“Jadi… pewaris itu sudah menemukan tanda.”

Angin malam kembali berhembus. Dan entah kenapa, suara jangkrik seakan berhenti bersamaan — seolah pesantren itu tahu, rahasia lama baru saja mulai terbangun lagi.

Share this novel

Guest User
 


NovelPlus Premium

The best ads free experience