BAB 6 — BUKU CATATAN YANG TIDAK SENGAJA TERBUKA

Mystery Series 35

Sore hari di Pesantren Rawa Hitam selalu punya warna sendiri—tidak terlalu jingga, tidak terlalu redup, seperti langit sedang mencoba menjaga kesopanan.

Latip duduk di teras aula sambil menggantung sarungnya yang sudah kering. Angin sore bergerak pelan, cukup untuk membuat sarung itu berkibar elegan seperti bendera kecil keluarga yang belum ia pahami.

Saat ia sedang mengikat tali gantungan, dua suara familiar mendekat.

“Bang Latip!”
“Kami kepleset!”

Dua bocah kembar, Hilmi dan Helmi, datang belepotan tanah.

Latip mengangkat alis. “Kepleset di mana?”

“Di dekat sumur tua!” jawab Helmi sambil bangga, padahal tidak ada hal yang perlu dibanggakan.

“Kami jatuh bareng, Bang,” tambah Hilmi.

“Jadi jatuhnya kompak.”
“Masya Allah elegan banget,” Latip menanggapi dengan nada datar.

Keduanya tertawa sambil menunjukkan sebuah buku kecil yang tampak lusuh.

“Kami nemu ini tadi!”

Latip mengambil buku itu.
Kulitnya cokelat, sampulnya polos, tapi ada bekas tanda seperti goresan huruf I di pojok kiri.

“Sini, kalian cuci muka dulu,” kata Latip sambil menyuruh mereka lari ke tempat wudu.

Setelah bocah-bocah itu pergi, Latip membuka buku itu perlahan.

Halaman pertama penuh coretan tanggal.
Halaman kedua… catatan pendek.

“Kejadian aneh, hari pertama: ayam melihat sumur tiga kali.”

Latip mengernyit.
“Ini… buku siapa?”

Ketika ia membalik halaman ketiga, suara langkah pelan menghampiri.

Itu Dina, sahabat Zahra.
Perempuan pendiam yang selalu membawa buku catatan lain di tangannya.

“Kamu menemukan buku itu?” tanyanya lembut.

Latip menatapnya.
“Ini buku siapa?”

“Bukan milik santri baru,” jawab Dina, “tapi bukan juga milik santri lama.”

“Terus milik siapa?”

Dina menarik napas pelan, wajahnya tetap anggun.
“Aku hanya tahu… buku itu pernah dicatat oleh seseorang yang ingin menemukan pola.”

“Pola apa?”

“Pola yang tidak ingin terlihat.”

Penjelasannya terdengar seperti teka-teki level santai tapi membuat otak bekerja keras.

---

Belum sempat Latip bertanya lebih jauh, suara lain datang dari arah bawah tangga.

“Latip.”

Zahra muncul dengan langkah lembut, membawa tas kecil berisi kitab.
Angin sore seperti ikut ikut lembut setiap kali dia lewat.

Dina memberi isyarat halus lalu mundur sambil berkata pelan,
“Hati-hati. Buku itu suka membuka halaman yang bukan untuk hari ini.”

Setelah Dina pergi, Latip menggaruk kepala.
“Kenapa semua orang di sini ngomong kaya trailer film?”

Zahra tersenyum tipis. “Karena yang kamu temukan bukan buku biasa.”

Ia duduk di samping Latip, jaraknya teratur, tapi cukup dekat sehingga suara angin terdengar seperti bisikan kecil di antara mereka.

Zahra membuka halaman tengah dengan hati-hati.

Di sana tertulis:

“Tanda pertama biasanya muncul di kain.”

Zahra menatap sarung Latip.
“Tuh.”

Latip menelan ludah.
“Oke… ini mulai agak serem tapi elegan.”

Zahra tertawa pelan—tawa yang halus, seperti suara gelang kecil.
“Kamu terlalu mudah tegang.”

“Ya… soalnya semua hal yang gampang jadi aneh sekarang.”

“Kamu harus santai. Misteri itu bukan untuk dikejar. Tapi diikuti.”

“Didampingi juga boleh?” Latip melepas kalimat itu tanpa sadar.

Zahra menoleh.
Ada senyum kecil—sangat halus, tapi cukup membuat Latip menunduk cepat-cepat.

Romansa halus: sukses.

---

Tidak lama kemudian, seseorang muncul sambil mengipas wajahnya dengan mukena.

“Mas Latip!”

Itu Fikri “Kumis”, santri senior yang terkenal suka mencatat kejadian tidak wajar.

“Aku tadi lihat kamu pegang buku,” katanya.
“Itu buku pengamat, ya?”

“Pengamat apa?” tanya Latip.

“Pengamat hal-hal yang tidak mau diam,” jawab Fikri dengan mantap, padahal tidak jelas maksudnya.

Zahra menunggu Fikri menjelaskan.
Tapi Fikri malah duduk, mengambil singkong goreng dari saku… lalu mengunyah dengan pelan.

“Fikri,” Zahra mengingatkan, “jelasannya?”

“Oh iya.”
Fikri menelan.

“Pokoknya kalau buku itu kebuka sendiri… jangan panik.
Buku itu cuma mau ngasih tau kalau kalian di halaman yang tepat.”

Latip dan Zahra saling menatap.
Misteri lembut + komedi ringan: kombo sempurna.

---

Saat sore hampir habis, halaman buku itu tiba-tiba… terbuka sendiri.

Pelan.
Tanpa ada angin kencang.
Hanya satu lembar yang bergerak seperti sedang menunjuk arah.

Halaman itu berisi catatan pendek:

“Tanda kedua berada di tempat yang tak disentuh matahari.”

Zahra membaca ulang tiga kali.
“Tempat tanpa matahari…”

“Gudang?” tanya Latip.

“Bisa.”

“Sumur tua?” tambahnya.

“Itu juga bisa.”

“Laci ustad?”

Zahra melirik.
“Itu jangan.”

Latip mengangguk cepat-cepat.

Buku itu tetap terbuka, seolah menunggu.

Lalu Zahra menutupnya pelan.

“Baik,” katanya lembut.
“Kita cari tempat itu… santai saja. Jangan terburu-buru.”

Latip mengangguk.
“Besok?”

Zahra tersenyum.
“Besok. Misteri itu… enaknya dimulai pagi-pagi.”

Latip tertawa pelan.
“Terserah kamu. Aku cuma ikut alur.”

Dan sore itu menutup babak baru dengan cahaya yang perlahan menghilang, meninggalkan mereka berdua, buku lusuh, dan sarung yang semakin terasa hidup.

Share this novel

Guest User
 


NovelPlus Premium

The best ads free experience