Series
35
Pagi menjelang Dzuhur, Latip berjalan santai menuju aula setelah selesai menyapu halaman kecil depan asrama. Angin bertiup lembut, membuat tiap helai daun bergerak pelan seperti menari. Suasana pesantren begitu damai—damai yang hampir terlalu rapi.
Saat ia melangkah melewati pohon besar dekat sumur, sebuah suara lembut terdengar dari belakang.
“Assalamu’alaikum, Nak Latip.”
Latip menoleh.
Seorang lelaki tua bersorban putih duduk di bangku kayu, menatap kolam dengan tatapan dalam tetapi penuh keteduhan.
Itu Buya Samudra.
Wajahnya berkerut namun cerah, seperti orang yang sudah terlalu lama berdamai dengan dunia.
Latip refleks membalas, “Wa’alaikumussalam, Buya.”
Buya mengangguk pelan. “Bagaimana pesantennya? Sudah menemukan ketenangan?”
Latip tersenyum kikuk. “Alhamdulillah, tenang, Buya. Mungkin… terlalu tenang.”
Buya tertawa kecil—tawa yang tidak memecah suasana, tapi justru menambah kehangatan pagi.
“Tenang itu kadang menyimpan hal-hal yang ingin ditemukan pelan-pelan.”
Latip mengangguk tanpa benar-benar paham.
Buya menunjuk sarung Latip dengan jari keriputnya.
“Itu sarung bagus. Dijaga baik-baik, Nak.”
Ada jeda beberapa detik.
Latip bertanya hati-hati, “Buya kenal sarung ini?”
Buya tidak menjawab langsung. Ia menatap kolam seakan melihat sesuatu di dalamnya.
“Beberapa benda membawa cerita jauh sebelum pemiliknya lahir,” katanya lembut.
“Kau cukup memakainya dengan hati bersih. Sisanya akan menuntun diri.”
Latip ingin bertanya lebih, tapi sebelum sempat, Buya menepuk bahu kursi dan berdiri.
“Jangan terburu-buru mencari, Latip. Tanda itu akan muncul sendiri.”
Lalu Buya pergi langkah demi langkah… dengan tenang, elegan, dan seolah menyatu dengan suasana pesantren.
Latip menatap kepergiannya dengan kepala sedikit miring.
“Orang-orang tua di sini ngomongnya semua kaya puisi ya…”
---
Di aula, Latip melihat seseorang berdiri membenarkan posisi rak kitab.
Ustad itu tinggi, berwajah tenang, dan gerakannya tertata rapi.
Rafi mengenalkan pelan, “Itu Ustad Gema Pradana. Orangnya baik, tapi serius. Dia tahu banyak soal sejarah pesantren.”
Ustad Gema menoleh dan tersenyum.
“Hm, ini santri baru yang kabarnya cepat akrab dengan suasana.”
“Alhamdulillah, Ustad. Masih menyesuaikan,” kata Latip sopan.
“Tetaplah begitu,” balas Ustad Gema sambil menepuk rak kitab.
“Ketenangan adalah teman baik untuk memahami hal-hal yang tidak terburu-buru.”
Lagi-lagi… kalimat elegan yang menggantung seperti awan tipis.
Latip hanya mengangguk.
Sebelum pergi, Ustad Gema sempat menambahkan,
“Jika nanti kau menemukan sesuatu yang tidak pada tempatnya… pegang dulu, tanyakan kemudian.”
Nasehat yang aneh, tapi ucapannya begitu halus sehingga Latip hanya menganggap itu petunjuk umum.
---
Saat hendak keluar aula, tiba-tiba dua anak kecil kembar lewat sambil membawa ember berisi air.
“Bang Latip! Bang Latip!”
Dua-duanya memanggil dengan suara kompak.
Itu Hilmi dan Helmi, kembar santai yang kata Rafi sering muncul tanpa rencana.
“Kalian dari mana?” tanya Latip.
“Dari kolam belakang,” jawab Hilmi.
“Tadi ketemu sesuatu, Bang,” sambung Helmi.
Latip menunduk. “Ketemu apa?”
Keduanya saling menatap dulu, seperti menilai apakah perlu menjelaskannya.
Akhirnya Hilmi membuka mulut:
“Kayak daun, tapi bukan daun.”
“Itu bukan daun, Mi. Itu bentuknya aneh, kayak tulisan miring,” bantah Helmi.
Latip langsung fokus.
“Tulisan? Di mana?”
“Kami taruh di pinggir kolam, Bang. Takut jatuh,” jawab mereka bersamaan.
“Bang Latip lihat aja sendiri,” tambah Hilmi.
Lalu keduanya pergi seperti angin.
Muncul cepat, hilang cepat.
Tidak ada tekanan, tidak ada drama. Hanya petunjuk kecil yang diberikan santai.
---
Latip kembali ke kolam dengan langkah tenang.
Ia duduk di pinggir, tempat di mana ia dan Zahra duduk kemarin.
Hanya ada riak lembut dan pantulan langit.
Di atas batu kecil, ada sesuatu:
Daun kering yang bentuknya aneh—melengkung, seperti bekas goresan huruf.
Latip memegangnya.
Daunnya biasa, tapi bentuk lekukannya seperti…
Huruf I.
Sama seperti goresan tanah kemarin yang dicakar ayam itu.
Latip tersenyum kecil.
Bukan takut.
Bukan bingung.
Lebih ke rasa penasaran yang tumbuh dengan rapi.
Ia memutar daun itu di tangan.
“Awal yang sama… dua kali,” gumamnya.
Angin berhembus pelan, membawa aroma pohon dan air.
Seolah-olah pesantren ini sedang berbisik:
“Teruskan. Kau baru membuka langkah pertama.”
Selain bunyi angin, terdengar langkah lembut mendekat.
Zahra muncul sambil membawa buku.
“Kamu kembali,” katanya dengan senyum tenang.
Latip menunjukkan daun itu.
“Ini… ditemukan kembar itu.”
Zahra memandang bentuknya sebentar.
“Hm. Huruf awal yang sama.”
“Kamu tahu maksudnya?”
Zahra duduk di bangku, membuka bukunya pelan.
“Kadang sesuatu dimulai dari satu huruf. Dan huruf pertama itu, Latip…
bisa saja bukan ‘I’ untuk Ishak… tapi ‘I’ untuk inspirasi.”
Latip terkekeh pelan.
“Baiklah. Kedengarannya elegan juga.”
Zahra tersenyum samar. “Teka-teki tidak selalu keras. Yang halus justru lebih menyenangkan.”
Latip menatap daun itu lagi.
Entah kenapa… ia setuju.
Share this novel