Bab 10 – Bisikan dari Lemari Tua

Mystery Series 35

Subuh baru saja berlalu. Suara ayam bersahut dengan lantunan ayat-ayat dari musholla. Santri sudah sibuk menggulung sajadah, tapi Latip masih duduk termenung di serambi.
Matanya menatap sarung yang tergantung di depan kamar.
Cahaya keemasan di lipatan bawahnya kini sudah hilang — tapi bekas hangatnya masih terasa di telapak tangannya.

“Tip, kamu ngapain mandangin sarung terus?” tanya Nawi yang baru selesai wudhu.

“Wi, kamu percaya nggak kalau sarung bisa ngomong?”

“Kalau yang ngomong kamu, aku percaya. Karena kamu sering ngomong sama sandal.”

Latip menghela napas panjang. “Serius, Wi. Sarungku ini kayak punya nyawa. Tadi malam muncul tanda kayak ular emas.”

Nawi langsung nyengir. “Wah, bisa tuh, nanti kalau kamu ceramah tinggal bilang: ‘Jadilah seperti sarung, sederhana tapi penuh misteri’.”

“Masalahnya, misteri ini beneran, Wi. Aku ngerasa kayak ada sesuatu yang ngikutin dari semalam.”

Nawi mendekat sedikit. “Ngikutin? Jangan-jangan—”

“Tssstt!” Latip menoleh cepat. Suara lirih terdengar dari arah lemari kayu tua di pojok kamar.
Lemari itu peninggalan santri angkatan lama, dan katanya, tempat itu suka bunyi sendiri kalau malam Jumat.

Mereka berdua saling pandang.
“Wi, kamu denger juga, kan?”
“Denger… tapi pura-pura nggak denger aja, Tip.”

Namun suara itu makin jelas.
Seperti bisikan.
Pelan… tapi teratur.

> “Lipatan terakhir… buka di waktu gelap, tapi bukan malam.”

Latip dan Nawi langsung pucat.
“Tip, itu suara siapa?”
“Entahlah, tapi sepertinya… bukan manusia.”

---

Sorenya, Latip menceritakan semuanya pada Raisa di perpustakaan pesantren.
Raisa mendengarkan dengan wajah serius, sesekali menulis di catatan kecilnya.

“Kalimat itu aneh,” katanya. “Waktu gelap tapi bukan malam? Mungkin maksudnya waktu gerhana. Itu waktu yang gelap tapi bukan malam.”

Latip mengangguk cepat. “Wah iya! Kamu pinter banget, Sa. Kamu ini kayak tafsir hidup.”

Raisa tersenyum tipis. “Tafsir hidup tapi nggak bisa ditafsirkan, ya?”

Latip langsung nyengir. “Nah, itu dia.”

Tapi kemudian ekspresi Raisa berubah serius lagi.
“Gerhana bulan akan terjadi tiga hari lagi, Tip. Kalau benar firasatmu, itu waktu yang ditunggu sarungmu.”

“Jadi… aku harus buka lipatan terakhir itu pas gerhana?”
“Ya. Tapi hati-hati. Bisa jadi bukan cuma kamu yang tahu soal ini.”

Latip teringat sosok berjubah abu-abu yang ia lihat malam sebelumnya. Sekilas, bayangan itu muncul lagi di pikirannya.
Dan untuk pertama kalinya, ia merasakan sesuatu yang belum pernah ia rasakan sebelumnya — bukan takut, tapi tanggung jawab.

---

Malamnya, setelah semua santri tidur, Latip duduk sendirian di serambi.
Ia menatap langit.
“Ya Allah, kalau ini ujian, tolong kasih aku petunjuk. Aku cuma santri biasa yang kadang lupa ayat, tapi aku nggak mau main-main sama warisan ini.”

Angin tiba-tiba berhembus. Daun-daun berputar di sekitarnya.
Dan entah dari mana, sehelai kertas terbang menempel di dinding.

Ia ambil perlahan.
Tulisan di kertas itu sama seperti di surat sebelumnya — tulisan tua dan halus:

> “Kebenaran hanya terbuka untuk hati yang tidak takut kehilangan.”

Latip menghela napas pelan. “Berarti aku harus siap kehilangan apa pun, ya?”

Suaranya nyaris tenggelam di antara desir angin malam.

---

Keesokan harinya, Raisa menemuinya di halaman.
“Kyai Harun mau bicara. Katanya, beliau tahu tentang tanda yang kamu lihat.”

Latip langsung menegakkan badan. “Serius?”
“Iya. Dan katanya… kamu harus siap, karena malam gerhana nanti bukan cuma rahasia yang terbuka, tapi juga sesuatu yang selama ini tersembunyi di pesantren.”

Latip menatap Raisa lama.
Ia mencoba tersenyum meski matanya sedikit gemetar.
“Sa, kalau nanti aku hilang gara-gara lipatan sarung ini, tolong… kasih tahu dunia bahwa aku bukan kabur karena utang.”

Raisa memukul lengannya pelan sambil tersenyum. “Kamu ini bisa aja bikin suasana tegang jadi lucu.”

“Tapi jujur,” lanjut Raisa pelan, “aku takut juga, Tip. Takut kehilangan kamu.”

Latip terdiam. Untuk pertama kalinya, wajahnya benar-benar serius.
Lalu dengan nada lembut ia berkata,
“Kalau aku harus hilang, berarti aku cuma berpindah tugas. Dari santri biasa jadi penjaga rahasia.”

Raisa menunduk, tersenyum kecil. “Dan aku… penjaga yang menjaga penjaga.”

---

Sementara itu, dari kejauhan — di bawah bayangan menara pesantren — sosok berjubah abu-abu itu kembali muncul.
Kali ini bersama dua orang lain, juga berpenutup wajah.

“Gerhana sudah dekat,” bisiknya.
“Anak itu sudah hampir membuka lipatan terakhir.
Kita tidak boleh membiarkan cahaya itu muncul kembali.”

Langit mendung, angin membawa aroma hujan.
Dan di kamar Latip, sarung itu kembali bergetar pelan — seolah tahu, waktunya hampir tiba.

Share this novel

Guest User
 


NovelPlus Premium

The best ads free experience