Series
35
Malam pertama Latip di Pesantren Rawa Hitam berjalan… aneh.
Bukan menyeramkan, tapi aneh yang bikin penasaran — seperti memasukkan tangan ke kantong jaket dan menemukan permen yang tidak merasa pernah dibeli.
Sehabis magrib, santri-santri berkumpul di aula untuk wirid. Latip duduk paling belakang sambil mengamati sekitar.
Beberapa santri terlihat khusyuk. Beberapa tampak ngantuk. Satu orang bahkan menggenggam sendal karena takut dicuri.
Semua terlihat normal.
Sampai sesuatu terjadi.
Saat wirid memasuki bacaan tertentu, Latip merasakan sarungnya bergetar halus.
Getaran kecil, lembut, seperti ada semut pakai speaker bluetooth di dalam lipatannya.
Latip memegang sarung itu.
“Jangan bilang kamu yang ngomong tadi…” bisiknya pada benda tak berdosa itu.
Rafi di sebelahnya menatap. “Sarungmu kenapa? Demam?”
“Aku yang demam,” jawab Latip, “ini sarung kok hidup.”
---
Setelah wirid selesai, semua santri bergerak keluar pelan-pelan. Suasana malam di pesantren begitu sunyi, hanya suara jangkrik dan daun-daun yang bergesekan dengan angin.
Latip berjalan menuju asrama sambil memegangi sarungnya erat.
Ia punya firasat ada sesuatu di dalam lipatan terdalam itu. Bukan uang. Bukan kunci. Bukan jimat. Tapi… sesuatu.
Saat melangkah melewati sumur tua, suara itu terdengar lagi.
“Tip… buka halaman tiga…”
Latip berhenti.
Ia menatap sumur. Sumur menatap balik. Keduanya saling menilai.
“Jangan bercanda… sumur bisa ngomong?” bisik Latip.
Rafi yang mengikuti dari belakang bertanya, “Kenapa berhenti?”
“Kamu dengar apa?”
“Hening.”
“Di kupingku ada suara yang nyuruh buka halaman tiga.”
“Itu suara siapa?”
Latip menghela napas. “Mana aku tahu, kalau tahu pasti lapor polisi.”
Rafi menatap sumur sebentar, lalu berkata pelan, “Kalau suara itu datang lagi, jangan dihiraukan… tapi jangan diabaikan.”
“Bro… itu kalimat apa. Gimana caranya ‘tidak dihiraukan tapi tidak diabaikan’?!”
“Ya… dirasain aja.”
“Rasain dari Hong Kong!”
---
Di kamar, Latip duduk di ranjangnya dan membuka tas.
Ia mengeluarkan buku catatan tua pemberian ayahnya.
Halaman pertama kosong.
Halaman kedua kosong.
Halaman ketiga…
Tiba-tiba muncul tulisan samar, seperti tinta yang membentuk huruf perlahan-lahan:
> “Jika kau membaca ini, berarti waktunya sudah mulai.”
Latip mematung.
“Rafi…” panggilnya lirih.
Rafi datang dari ranjang sebelah. “Apa lagi? Wajahmu kayak baru lihat setan bersarung.”
“Itu…” Latip menunjuk buku. “Tulisannya baru muncul.”
Rafi membaca.
Wajahnya berubah.
“Kayaknya… kamu nggak boleh buka lipatan sarungmu sembarangan.”
“Ayahku bilang gitu juga. Tapi alasannya nggak pernah dijelasin.”
Rafi menelan ludah. “Mungkin karena di dalam sarung itu ada sesuatu yang… bukan sembarang kain.”
“Kayak dengar trailer film horor murah nih…”
“Tapi ini bukan horor,” jelas Rafi.
“Sesuatu yang kamu bawa… itu petunjuk. Sarungmu itu… kayak kunci.”
“Kunci buat apa?” tanya Latip bingung.
Rafi tersenyum kecil, wajahnya bingung tapi yakin.
“Itu dia misterinya. Tapi sudah banyak santri yang percaya… setiap keturunan tertentu bakal datang ke pesantren ini membawa ‘sarung petunjuk’.”
Latip mengerjap.
“Keturunan apa? Aku cuma keturunan orang-orang biasa. Nggak ada yang jadi presiden atau penjaga alam gitu!”
Rafi menepuk bahunya. “Di pesantren ini, hal yang kelihatannya biasa… bisa jadi paling penting.”
---
Saat mereka sedang membahas itu, tiba-tiba angin malam masuk dari jendela.
Lampu kamar berkedip.
Bruk.
Papan kayu di bawah ranjang Latip bergetar sedikit, seperti ada sesuatu yang mengetuk dari bawah lantai.
Latip dan Rafi saling menatap.
Ketukan itu terdengar lagi.
duk… duk… duk…
Bukan keras, tapi ritmenya teratur — seperti kode.
Rafi menelan ludah. “Itu… suara apa?”
Latip memegang sarungnya erat. “Ini pesantren apa ruang ujian teka-teki?”
Mereka mendekat ke lantai.
Rafi menempelkan telinga.
“Latip… ini bukan suara hewan. Kayaknya ini… kayak sinyal.”
Latip ikut menempelkan telinga ke lantai.
Dan tepat saat itu, suara lirih muncul:
“Ishak… buka… kunci pertama…”
Latip meloncat mundur sampai hampir jatuh dari ranjang.
“Ustad mana yang ngajarin pesantren pakai sistem suara bawah lantai begini?!” protes Latip panik.
Rafi menghela napas. “Tip… sepertinya… rahasia yang dibilang ayahmu itu mulai kebuka.”
Latip memegang sarungnya.
Dan untuk pertama kalinya… sarung itu terasa hangat.
Bukan panas.
Bukan dingin.
Hangat… seperti ada sesuatu yang hidup di dalam lipatannya.
---
Malam semakin larut.
Dan di luar jendela, ayam yang tadi menyambut Latip saat datang… berdiri diam, menatap kamar Latip.
Seolah ikut mengawasi.
Seolah tahu sesuatu akan dimulai.
Share this novel