BAB 7 — TEMPAT YANG TAK DISENTUH MATAHARI

Mystery Series 35

Pagi di Pesantren Rawa Hitam selalu seperti halaman baru kitab — tenang, bersih, tapi menyimpan makna yang belum dibaca.

Burung-burung mulai berkicau sebelum adzan Subuh berakhir. Udara lembap, dan kabut tipis bergulung di antara pepohonan.
Latip berjalan dengan sarung disampirkan di bahu, membawa buku catatan lusuh yang semalam terbuka sendiri.

Di tangannya, halaman yang bertuliskan “tempat yang tak disentuh matahari” sudah ia hafal di luar kepala.
Ia tidak tahu maknanya pasti, tapi ia yakin sesuatu akan menuntunnya.

Dan seperti biasa, yang menuntun justru hal tak terduga.

---

“Bang Latip!”
Teriakan dua bocah kembar, Hilmi dan Helmi, terdengar dari belakang.
Keduanya memegang senter kecil.

“Kami siap membantu investigasi!” seru Hilmi dengan gaya seperti detektif.

Latip menatap mereka malas. “Kalian ini siapa? Sherlock sama Watson?”

“Bukan, Bang,” kata Helmi. “Kami Hilmi dan Helmi.”

“Ya, itu aku tahu.”

Mereka bertiga berjalan pelan melewati halaman pesantren yang masih berkabut. Suara daun kering di bawah sandal terdengar seperti rahasia yang baru terucap.

Tujuan mereka sederhana: menemukan tempat yang tak pernah kena matahari.
Menurut Zahra, mungkin itu gudang lama di belakang mushala — tempat penyimpanan kitab, alat kebersihan, dan barang-barang yang sudah lupa asalnya.

---

Sesampainya di sana, Zahra sudah menunggu di depan pintu kayu tua itu.

Ia mengenakan kerudung abu muda dan membawa senter kecil.
Sinar matahari belum masuk ke ruangan itu bahkan saat pagi sudah tinggi.

“Tempat ini?” tanya Latip.

Zahra mengangguk. “Sejak pesantren berdiri, sinar matahari tidak pernah sampai ke lantai gudang. Dindingnya terlalu tebal.”

Hilmi menelan ludah. “Berarti... tempat hantu?”

Helmi menimpali, “Atau tempat rahasia?”

Latip mengangkat bahu. “Kita lihat saja.”

Ia mendorong pintu perlahan. Engselnya berderit, mengeluarkan suara panjang yang langsung membuat Hilmi menjerit pelan — bukan karena takut, tapi karena efek dramatis.

Di dalam, bau debu dan kayu tua memenuhi udara.
Rak-rak penuh kitab lusuh berdiri seperti penjaga masa lalu.
Beberapa lemari kayu dibiarkan terbuka separuh, menampakkan gulungan kertas dan benda-benda yang sudah lama dilupakan.

Zahra melangkah masuk dengan hati-hati.
Senter kecil di tangannya menyorot ke sudut ruangan, lalu berhenti pada sesuatu di dinding: sebuah lukisan kecil, hampir tertutup debu.

Lukisan itu menggambarkan seorang santri memegang sarung di pinggir kolam, dengan cahaya bulan di belakangnya.

“Lihat deh,” kata Zahra lembut. “Sarungnya mirip punyamu.”

Latip mendekat, membersihkan debu dengan sapu tangan.
Benar — pola di sarung pada lukisan itu identik dengan sarung warisan ayahnya.
Dan di pojok bawah lukisan, ada ukiran kecil berbentuk huruf I lagi.

Huruf ketiga.

---

“Ini pasti petunjuk berikutnya,” ujar Zahra pelan.

“Tapi kenapa di lukisan?”

Zahra menatapnya. “Mungkin karena sebagian rahasia cuma bisa disimpan oleh seni.”

“Dan sebagian lagi disembunyikan di sarung,” tambah Latip sambil menatap kain di bahunya.

Zahra tertawa kecil. “Kamu ini… selalu ada cara buat ngejawab hal serius jadi lucu.”

“Biar nggak tegang,” jawab Latip dengan senyum miring. “Kalau tegang terus, nanti aku nggak sempat suka sama siapa-siapa.”

Zahra melirik sekilas. “Siapa-siapa itu... termasuk aku?”

Latip terdiam. Satu detik, dua detik.
Lalu ia mengalihkan pandangan ke arah kembar dua. “Eh, Hilmi, Helmi… kalian lapar nggak?”

“Bang!” protes Hilmi.
Helmi menambahkan, “Itu bukan jawaban elegan!”

Zahra tertawa kali ini lebih lepas.
Dan tawa itu, di ruang gelap berdebu, terasa seperti cahaya kecil yang cukup menggantikan matahari.

---

Mereka bertiga mulai menelusuri sekitar lukisan.
Di bawah bingkai kayu, Latip menemukan kotak besi kecil yang sudah berkarat.
Kuncinya hilang, tapi di permukaan kotak itu tergores pola garis halus yang mirip simbol pada sarungnya.

Ia mencoba membuka — tidak bisa.

“Tunggu dulu,” kata Zahra. “Jangan paksa.”

“Kenapa?”

“Karena setiap tanda di pesantren ini… hanya terbuka kalau waktunya tepat.”

“Dan kalau waktunya belum tepat?”

“Ya… tunggu saja. Kadang misteri cuma butuh kesabaran.”

Latip menarik napas panjang.
“Berarti aku harus sabar?”

Zahra menatapnya lembut. “Untuk hal ini — dan mungkin juga untuk hal lain.”

Ada senyum di bibirnya, cukup kecil untuk tidak disebut pengakuan, tapi cukup jelas untuk membuat Latip kehilangan fokus lima detik penuh.

---

Saat mereka keluar dari gudang, ayam cokelat — Pak Manuk — sudah berdiri di depan pintu.
Ia berkokok sekali, keras, lalu berjalan mengelilingi mereka tiga kali sebelum pergi lagi.

Hilmi langsung berbisik, “Bang, itu pertanda.”

Latip menjawab, “Pertanda ayamnya sehat.”

Helmi menyenggol kakaknya. “Bang Latip ini nggak peka sama ayam spiritual.”

Zahra menutup mulutnya menahan tawa.
Latip hanya tersenyum, tapi dalam hatinya, ia mulai tahu:
misteri sarung itu tidak hanya tentang benda… tapi tentang waktu, dan mungkin juga tentang perasaan.

Dan entah kenapa, setiap kali Zahra tersenyum, sarung itu seolah ikut bergetar pelan.

---

Langit siang perlahan berubah terang.
Dan di sela cahaya pagi yang lembut, Latip merasa, meski tempat itu tak tersentuh matahari,
hatinya mulai tersentuh sesuatu yang lain.

Share this novel

Guest User
 


NovelPlus Premium

The best ads free experience