Series
35
Pagi di Pesantren Rawa Hitam datang dengan cara yang lembut.
Cahaya matahari menyelinap di sela pohon besar, seolah tak ingin mengganggu siapa pun.
Udara terasa sejuk—sejuk yang membuat orang ingin menarik napas panjang sebelum memulai hari.
Latip keluar dari asrama sambil merapikan sarungnya.
Ia tidur cukup nyenyak semalam, meski sempat mendengar bisikan halus.
Entah kenapa, bisikan itu tidak meninggalkan ketakutan… hanya tanda tanya kecil yang masih menggantung dengan sopan.
Rafi mengejar dari belakang.
“Tip! Mau ke mana?”
“Mau lihat-lihat pesantren. Mau kenalan sama tempat baru,” jawab Latip.
“Bagus. Tapi hati-hati. Di pesantren ini, tempat-tempat tenang biasanya menyimpan sesuatu yang lebih tenang lagi.”
Latip tertawa. “Itu maksudnya apa?”
Rafi cuma mengangkat bahu.
Ia memang punya bakat menjelaskan sesuatu tanpa menjelaskan apa-apa.
---
Latip berjalan ke arah kolam yang berada di samping masjid.
Permukaan airnya memantulkan langit biru. Beberapa ikan kecil berenang santai di bawahnya.
Suasana sangat damai, sampai-sampai Latip merasa kok kayak kolam ini sengaja diciptakan untuk meredakan pikiran.
Saat ia duduk di tepi kolam, seseorang ikut duduk di bangku seberang.
Gadis berkerudung biru muda, dengan buku tebal di pangkuannya.
Wajahnya teduh, ekspresinya lembut.
“Assalamu’alaikum,” sapanya perlahan.
“Wa’alaikum salam,” balas Latip.
Gadis itu menutup bukunya sebentar.
“Aku Zahra.”
“Latip.”
Mereka tidak langsung berbicara lagi.
Ada jeda yang tidak canggung—jeda yang justru nyaman, seolah keduanya sedang membiarkan suasana berbicara terlebih dulu.
Zahra memandangi kolam.
“Kamu suka tempat ini?” tanyanya tenang.
“Sepertinya… iya. Rasanya adem.”
“Kolam ini sudah ada sejak pesantren didirikan. Orang bilang, airnya menyimpan banyak cerita.”
Latip menoleh. “Cerita apa?”
Zahra tersenyum kecil.
“Cerita yang biasanya ditemukan oleh orang yang tepat.”
Jawaban itu membuat Latip mengerutkan kening, tapi bukan bingung—lebih ke penasaran.
Gadis ini bicara seperti puisi berjalan.
---
Latip meraih batu kecil dan melemparkannya pelan ke kolam.
Riak air menyebar tenang.
Zahra memperhatikan sarung yang dipakai Latip.
“Apa itu sarung lama?”
“Iya,” jawab Latip. “Punya keluarga. Katanya penting, tapi aku sendiri nggak pernah ngerti apa istimewanya.”
Zahra mengangguk pelan, kemudian berkata halus,
“Beberapa benda lama tidak langsung menunjukkan maknanya. Tapi… mereka akan terbuka ketika waktunya pas.”
Latip merasa ucapan itu dalam sekali, padahal kedengarannya sederhana.
Ia menatap lipatan sarungnya yang rapi.
“Bapak cuma bilang jangan buka lipatan paling dalam. Aku pikir cuma takut merusak jahitannya.”
Zahra tampak tersenyum samar.
“Sarung itu seperti kamu, Latip. Tidak semua hal harus dibuka cepat-cepat.”
“Hmm?”
“Biarkan waktunya menuntun.”
Latip hanya terdiam.
Kata-kata Zahra seperti angin halus yang lewat tapi membekas.
---
Tiba-tiba, seekor ayam—ayam yang kemarin menatap Latip di gerbang—datang menghampiri mereka dengan santainya.
Ayam itu berhenti tepat di dekat sandal Latip dan menatapnya lama, seperti sedang menilai kepribadian seseorang.
Zahra terkekeh kecil.
“Sepertinya dia suka kamu.”
“Ayamnya punya selera bagus berarti,” balas Latip, mencoba santai.
Namun tanpa alasan jelas, ayam itu menggerakkan kakinya dan mencakar tanah kecil-kecil di dekat kolam.
Mengais beberapa helai daun kering, seakan-akan sedang menunjukkan sesuatu.
Zahra memperhatikan.
“Dia biasanya tidak begitu.”
“Kenapa?”
“Dia cuma begitu kalau ada benda yang tertutup. Biasanya… sesuatu yang ingin ditemukan.”
Latip melihat tanah yang dicakar ayam.
Memang tidak ada yang mencolok—hanya garis kecil seperti bekas goresan.
Tapi garis itu membentuk pola…
Bukan tulisan utuh, tapi seperti huruf awal.
Huruf I.
Tegak. Halus. Rapi.
“I…? Maksudnya apa?” gumam Latip.
Zahra hanya menatap dengan mata lembut.
“Mungkin itu bukan apa-apa. Mungkin juga awal dari sesuatu.”
Ayam itu lalu pergi berjalan santai, seperti pekerja yang selesai shift.
Latip menghela napas panjang.
Ia merasa pesantren ini memang tenang… tapi tenang dengan caranya sendiri.
Tenang yang menyembunyikan banyak hal.
---
Saat ia bangkit hendak kembali ke asrama, Zahra berkata pelan:
“Latip…”
“Hm?”
“Kalau besok kamu ke sini lagi, cobalah duduk sedikit lebih lama. Kadang jawaban datang saat kita tidak mencarinya.”
Latip tersenyum kecil.
“Baik. Aku coba.”
Angin berhembus lembut.
Zahra kembali membuka bukunya.
Dan Latip berjalan pergi dengan hati ringan—namun pikirannya diam-diam mulai terisi tanda tanya elegan yang belum dinamainya.
Share this novel