Malas sekali rasanya Hagia berbicara dengan Ibu mertuanya itu. Selama ini memang hubungan Hagia dan Bu Asnah tidak harmonis.
Bu Asnah memang tidak terlalu menyukai menantu perempuannya itu. Ia menilai Hagia lebih mementingkan karirnya daripada mengurus suami dan anak-anaknya di rumah.
Apalagi pekerjaan rumah tangga juga dikerjakan oleh ART. Hagia jadi jarang memasak dan mengurus rumah.
"Assalamualaikum, Bu," jawab Hagia dengan nada malas.
Terpaksa ia menggeser tombol panggilan hijau untuk menerima telepon dari mertuanya itu.
"Hagia! Kamu dimana, Nak? Ibu kangen."
"Pengen ketemu sama kamu," jawab Bu Asnah tanpa mengucapkan salam.
Nada suara Bu Asnah pun seperti habis menangis. Parau.
Hagia memutar bola matanya dengan malas. Sedikit banyak ia sudah bisa menebak kemana arah pembicaraan Ibu mertuanya itu.
Pasalnya tumben sekali Bu Asnah mengucapkan kata kangen kepada dirinya.
Yang ada Bu Asnah selalu memprotes apa yang dilakukan Hagia. Memang selama menjadi menantunya.
Hagia jarang memasak dan mengerjakan pekerjaan rumah tangga.
Bila berkunjung ke rumah mertuanya. Hagia selalu membelikan makanan untuk sekeluarga.
Tak lupa juga Mbok Iyem diajak untuk membantu pekerjaan di rumah mertuanya.
"Hagia lagi di Kantor Pengadilan, Bu."
"Apa di kantor Pengadilan Agama? Tunggu dulu kamu ingin menceraikan Aslan?" Bu Asnah terkejut bukan main.
Terdengar suaranya syok. Padahal wanita itu sangat berharap agar Aslan dan Hagia tidak bercerai.
Sementara itu Hagia tersenyum puas. Ini baru awal permainan.
Dia masih punya banyak rencana untuk menghancurkan Aslan dan keluarganya.
Bagaimana pun Hagia akan tetap membalas rasa sakit hatinya terhadap mereka.
Mereka terdiam beberapa saat. Hagia pun akhirnya angkat bicara.
"Kenapa, Bu? Kaget? Sama dong seperti Hagia yang kaget kalau Mas Aslan dan perempuan itu sudah menikah diam-diam," balas Hagia si-nis.
"Ta-tapi, itu... Ibu bisa jelaskan Hagia."
"Bolehkah nanti sore Ibu ke rumah kamu?"
"Ibu mau jelasin semuanya. Ibu juga kangen dengan cucu-cucu Ibu," jawab Bu Asnah terbata-bata.
"Baiklah, kalau begitu. Hagia tunggu kedatangan Ibu."
"Sudah dulu ya, Bu."
"Habis ini Hagia mau langsung berangkat ke kantor. Kerjaan Hagia masih banyak."
Pip.
Hagia mematikan sambungan teleponnya secara sepihak.
Sebentar lagi Hagia akan menyiapkan kejutan demi kejutan untuk keluarga suaminya yang telah menjadi parasit itu.
Siang malam Hagia bekerja keras demi menopang kehidupan dua rumah tangga.
Bahkan ia juga melewatkan tumbuh kembang anak-anaknya yang masih kecil. Dulu memang Aslan melarangnya pakai K_B.
Tetapi karena anaknya sudah tiga, ia pun berinisiatif memasang K_B implan di lengannya tanpa sepengetahuan suaminya.
Hagia sudah capek menjadi mesin pencetak uang dan mesin produksi anak bagi mereka.
Sudah lelah rasanya Hagia. Mereka hanya ingin memeras keringatnya saja tanpa memikirkan perasaannya.
"Kini saatnya mereka semua harus diberikan pelajaran yang tidak terlupakan seumur hidup."
"Bersiaplah, Mas. Aku akan melemparkan tongkat estafet sebagai mesin pencari uang kepada perempuan gundik yang masih bocah itu!" kata Hagia dalam hati.
Sore hari pun tiba.
Hagia pulang lebih cepat daripada biasanya. Kebetulan hari ini pekerjaannya juga sudah selesai. Om Beni tidak mau keponakannya itu terlalu lelah.
Apalagi Hagia sebentar lagi akan menjadi single parent. Mengurus tiga anak seorang diri tanpa suami bukanlah hal yang mudah.
Hagia baru saja selesai mandi dan memakai daster batik kesayangannya.
Wanita itu pun menyapu bedak tipis dan memakai lipstik warna peach. Wajahnya terlihat begitu ayu dan segar. Ia mematut wajahnya di depan cermin.
Tubuhnya langsing, wajahnya mulus bebas flek hitam dan jerawat untuk wanita yang sudah berumur tiga puluhan lebih.
Apalagi ia juga rajin ke salon dan olahraga demi menjaga kebugaran tubuhnya.
Hagia pun heran.
Kenapa selera suaminya rendah sekali. Malah lebih tertarik kepada baby sitter dari kampung dan tak tau diri itu.
Pintu rumah di ketuk.
Anak-anak bermain di ruang keluarga dengan riang. Mbak Narti membukakan pintu untuk tamu Hagia itu.
"Wah, sudah ada baby sitter baru rupanya!"
"Aku enggak yakin kalau kamu bisa kerja kayak Maya," celetuk Bu Asnah sinis begitu melihat Mbak Narti. Perempuan paruh baya itu datang kemari dengan anak bungsunya.
Mbak Narti hanya tersenyum tipis. Ia sudah tau siapa Bu Asnah.
Tadi Hagia sempat menceritakan sedikit tentang mertuanya itu.
"Mari masuk, Bu."
"Tadi Bu Hagia sudah menunggu. Sebentar saya panggilkan Ibu dulu," sahut Mbak Narti dengan sopan tanpa memperdulikan ucapan Bu Asnah.
"Oh ya, Bi. Cepetan bikinin aku dan anakku minuman."
"Aku haus nih. Bikinkan minuman yang dingin dan bawakan kami cemilan yang enak." Bu Lani memerintah Mbak Narti seolah-olah dia juga majikan di rumah ini.
"I-iya, Bu." Mbak Narti mengiyakan dan langsung memanggil Hagia untuk menemani 'tamu spesial' itu.
Bu Asnah dan Lani duduk di kursi tamu yang terbuat dari jati. Mereka memandangi sekeliling.
Tidak ada yang berubah dari rumah Hagia. Anak-anak Hagia pun menghambur menemui Nenek dan Tante mereka.
Bahkan si kecil Galang merengek meminta digendong sang Nenek.
Hagia membiarkan barang sejenak anak-anaknya temu kangen dengan Nenek mereka.
Setelah puas bertemu Neneknya, Mbak Narti disuruh Hagia untuk membawa ketiga anaknya bermain.
Mbak Narti menyuguhkan jus jeruk dan tiga toples cemilan untuk Bu Asnah dan Lani.
"Berani juga kalian datang kemari?" celetuk Hagia sambil melipatkan tangannya di depan dada.
Wanita itu tersenyum sinis.
Mendengar gertakan Hagia, membuat Bu Asnah meradang. Ia melihat Hagia bukanlah Hagia yang dulu.
"Kamu berani sama Ibu, Gi? Ingat, kamu itu tidak boleh seenaknya menggugat cerai suami."
"Istri durhaka kamu," herdik Bu Asnah emosi.
Sengaja memang Hagia memancing emosinya.
"Huh, istri durhaka Ibu bilang? Terserahlah, Bu."
"Suka-suka Ibu. Andai aja Ibu ada di posisi Hagia gimana?"
"Sudah capek-capek bekerja demi menyenangkan suami, mertua, dan ipar."
"Tapi semua pengorbanan Hagia tak ada artinya di mata Ibu."
"Mas Aslan tega menghadirkan seorang gundik dalam rumah tangga kami," jawab Hagia tanpa gentar.
"Kamu harusnya sebagai istri ngaca dong! Jangan cuma bisanya menyalahkan suami."
"Suruh siapa kamu sibuk kerja, sampai lupa anak dan suami."
"Wajar dong kalau suami kamu mencari kehangatan di luar."
"Jadi artinya Ibu juga menyetujui Mas Aslan menikah lagi, bukan?" Hagia tersenyum miring.
"Iya, memang kenapa? Salah kamu juga enggak bener ngurus suami."
"Oke, oke. Hagia mengaku salah. Tapi salahkah Hagia mencari kebahagiaan sendiri."
"Hagia bukan tipe istri yang manut-manut aja diduakan."
"Kamu tetap istri durhaka, Gia. Istri durhaka enggak akan mencium bau surga."
"Iya, terus mau Ibu apa kemari?"
Dada Bu Asnah naik turun. Ia pun mengatur napas kembali karena ingin mengutarakan keinginannya kepada menantunya itu.
"Kamu lupa, Gia. Lani butuh biaya untuk bayar ujian sekolah dan perpisahan," lanjut Bu Asnah yang emosinya sudah mulai menurun.
Hagia tertawa kecil.
Tadi Ibu mertuanya memaki-maki dirinya. Giliran urusan duit, emosi Bu Asnah malah turun.
"Lho. Kenapa Ibu enggak minta aja sama si istri baru Mas Aslan?"
"Kan bentar lagi Hagia dan Mas Aslan akan bercerai nih."
"Jadinya tongkat estafet Hagia akan Hagia serahkan pada Maya."
"Sudah waktunya Maya tau berapa pengeluaran Ibu dan Lani perbulan?" Hagia menjelaskan dengan tenang.
"Apa-apaan maksud kamu, Gia? Dasar menantu kurang ajar!"
"Mentang-mentang kamu kerja kamu bisa seenaknya bilang begitu sama Ibu." Bu Asnah sudah mulai panik.
"Terserahlah, Bu. Tolong suruh Mas Aslan dan istri barunya kemari."
"Akan Hagia jabarkan berapa pengeluaran kalian perbulan dan juga biaya sekolah Lani yang tak sedikit itu."
Bu Asnah dan Lani terdiam. Mereka ternganga dan tak menyangka kenyataannya akan begini.
Selesai makasih
Share this novel