Hagia tersenyum si-nis. Wanita itu menyilangkan kedua tangannya di da-da.
Sudah beberapa hari yang lalu Hagia mendaftarkan perceraiannya ke kantor Pengadilan Agama.
Tentu saja dengan didampingi oleh pengacara muda ternama kenalan Om-nya, Om Deni.
Om Deni juga yang menjadi atasannya di kantor.
"Tapi, Gia. Apakah kamu enggak pikirkan masa depan anak-anak?"
"Kamu tega membiarkan anak-anak tumbuh tanpa kasih sayang Papanya?"
"Kamu jangan egois dan hanya memikirkan perasaanmu saja," sergah Aslan tak mau kalah.
Hagia menaikkan sebelah alisnya. Begini lah seorang pria kalau sedang berkilah dan tak mau digugat cerai oleh istrinya.
Dengan alasan anak-anak. Padahal ketika sang suami berselingkuh, mana ia ingat dengan anak-anaknya.
"Kamu bilang aku eg0is? Enggak kebalik, Mas?"
"Pada saat kamu seling-kuh dengan wanita jalang itu, apa kamu ingat anak-anak?"
"Kamu asyik main di kamar, eh anak-anak kalian biarkan main sendiri di luar."
"Kalau mereka diculik gimana? Enggak usah beralasan terus."
"Keputusanku sudah bulat, Mas. Aku juga berhak meneruskan hidupku dan mengejar kebahagiaanku sendiri," jawab Hagia dengan emosi.
Aslan menelan salivanya dengan susah payah. Tak ia sangka kalau Hagia yang dulu kalem dan penurut, kini malah berani melawannya.
Tak akan pernah terlupakan di benak Aslan kalau istrinya itu sudah berani menampar dan menendang wajahnya.
"Wajar kalau seorang lelaki punya dua istri, Gia."
"Toh, aku dan Maya juga sudah menikah."
"Jadi dimana masalahnya? Toh, kamu selama ini juga sibuk kerja."
"Wajar kalau aku juga butuh perhatian dari wanita."
"Apalagi aku juga capek pulang kerja. Aku butuh hiburan."
"Kamu belum pulang."
"Makanan di meja makan juga enggak ada."
"Jadi kadang Maya yang memasakkan untukku dan anak-anak."
Da-da Hagia terasa sesak mendengar perkataan suaminya. Jadi selama ini Maya seolah bak ibu pengganti di rumah mereka.
Sekaligus menjadi penghantar bagi suaminya di ranjang ketika dia sedang dinas di luar kota.
"Apa katamu, Mas?"
"Mamu masih belum paham dimana salahmu? Huh, bodoh sekali kamu."
"Kalian menikah saja tanpa seizinku itu sudah termasuk kesalahan dan dosa besar, Mas."
"Lagipula aku tak berniat memisahkan kalian."
"Aku sudah mendaftarkan perceraian kita ke Pengadilan Agama."
"Kamu tenang saja, proses perceraian kita akan cepat."
"Karena aku sudah membayar pengacara untuk mengurusnya," tegas Hagia.
"A-apa?" Mata Aslan seketika melolot.
Pria itu tak menyangka istrinya sudah mendaftarkan perceraian mereka.
"Sudahlah, Mas."
"Aku rasa sudah tidak ada yang kita bicarakan."
"Lebih baik kamu angkat kaki dari rumah ini."
"Kamu ngusir aku? Karena kamu sudah menggugat cerai aku,"
"Aku juga berhak harta gono gini atas rumah ini, Hagia."
"Lelucon macam apa yang kamu lontarkan, Mas?"
"Jangan ngaku-ngaku kalau rumah ini juga rumah kamu dan kamu berhak atas gonogini rumah ini!"
"Kamu enggak ingat apa?"
"Rumah ini aku beli pakai uang tabunganku sendiri sejak aku gadis."
"Waktu itu kamu aku mintai uang, kamu selalu saja beralasan."
"Katanya uang tabungan kamu diminta Ibumu untuk membeli sepeda motor adikmu."
Aslan terdiam.
Memang benar apa yang dikatakan oleh Hagia. Waktu itu istrinya meminta tabungannya untuk membeli rumah ini.
Namun Aslan malah berkelit dan tidak mau memberikan uang tabungannya kepada istrinya.
Apalagi waktu itu Aslan juga berkata pada Hagia kalau Ibunya lebih membutuhkan uang tabungannya daripada istrinya.
Waktu itu pun Hagia kebingungan mencari tambahan uang yang lumayan banyak untuk menutupi kekurangan pembelian rumah itu.
auntunglah Om Deni berbaik hati meminjamkan uang kepada keponakannya itu.
Bahkan atasan Hagia itu juga berkata bahwa uang itu tidak usah diganti.
Namun Hagia bersikeras ingin mengganti uang Om-nya itu. Ia pun melapor ke bagian bendahara kantor agar gajinya dipotong sepuluh persen untuk mencicil utang kepada Om-nya.
Sekarang cicilan itu pun sudah lunas. Om Deni tentu tidak serta mau menerima uang cicilan dari keponakannya itu.
Diam-diam lelaki paruh baya itu menyimpan uang cicilan Hagia dalam bentuk tabungan untuk uang pendidikan anak-anak Hagia kelak.
Bagaimanapun Om Deni memegang amanat dari almarhum Ayah Hagia agar menjaga putrinya.
"Sudah jelas kan kalau rumah ini milikku."
"Bahkan sertifikat rumah ini pun atas nama aku."
"Percuma kamu menemuiku dan memohon agar kita rujuk."
"Lebih baik kamu urus saja istri keduamu itu."
Dia kan juga senang kalau kita bercerita."
"Artinya kamu bisa sepenuhnya dia kuasai," sindir Hagia.
Aslan pun akhirnya meninggalkan rumah Hagia dengan langkah gontai.
Lelaki itu menilai percuma melawan istrinya yang keras kepala itu. Hagia adalah perempuan paling keras kepala yang ia kenal selama ini.
Percuma saja Aslan ngotot melawan istrinya. Tak akan pernah menang.
Karena selama ini Hagia yang lebih segalanya dibanding Aslan.
Istilahnya bukan Aslan yang selama ini 'menekahi' Hagia. Tetapi Aslan lah yang malah numpang hidup dengan istrinya.
Aslan pulang ke rumahnya dalam keadaan menahan lapar. Ketika masih bersama dengan Hagia biasanya ia mampir makan ke rumah makan atau warteg.
Jarang sekali ia makan di rumah atau membawa bekal.
"Bu, Ibu. Aslan lapar nih. Ibu sudah masak belum?" pekik Aslan yang langsung meluncur ke ruang tamu.
Aslan membuka tudung saji di meja makan. Hanya ada tiga buah tempe goreng kering dalam sebuah mangkuk kecil.
Ia pun membuka penanak nasi. Hanya ada tersisa sedikit nasi. Itu pun nasinya sebagian sudah ada yang kering.
"Arrrrggghh! Sial." Aslan berteriak mengusap kasar rambutnya.
Aslan merasa hidupnya makin sial semenjak ia menikah dengan Maya.
Apalagi kini ia juga sangat kecewa karena Hagia tetap kekeuh pada pendiriannya untuk menceraikan dirinya.
To Be Continue..
Share this novel