Episode 04: Kalau Kamu Sampai Bercerai Siapa Yang Membiayai Kehidupan Kita kelak!

Drama Completed 1799

Maya terkejut bukan main, tak menyangka kalau mobil yang pernah ia naikin bersama dengan Aslan itu adalah milik Hagia.

Selama ini ia mengira bahwa mobil itu sepenuhnya milik lelaki yang menikahinya secara siri itu.

Aslan dan Maya memang pernah jalan berdua menggunakan mobil itu.

Sementara anak-anak dititipkan di rumah orangtua Aslan. Rumah orangtua Aslan masih satu kota dengan mereka.

Aslan mengambil kunci sepeda motornya. Ia mengeluarkan kuda besi miliknya itu dari garasi.

Sepeda motor bebek yang sudah berusia hampir delapan tahun. Ya, sepeda motor itu terlihat butut di mata Maya.

"Yuk kita cabut dari sini, May," celetuk Aslan dengan langkah gontai.

Ia tak tau lagi harus kemana malam-malam begini. Wajahnya serasa sudah bonyok.

Belum lagi badan rasanya remuk redam.

Maya melongo.

Begitu banyak pertanyaan dari tadi bersarang di benaknya. Ia pikir mobil dan rumah ini milik Aslan.

Namun nyatanya adalah milik Hagia.

Hagia tersenyum miring.

Ia sudah bisa menebak apa yang ada di pikiran Maya.

Pasti wanita itu mau ditiduri oleh Aslan karena harta. Padahal semua harta yang yang dimiliki Hagia dan Aslan selama berumah tangga, kebanyakan Hagia yang mengusahakan.

"Heh, pelacur! Bengong aja dari tadi. Buruan sana pergi."

"Aku malas kali liat muka kalian lagi," hardik Hagia yang tidak sabar ingin Aslan dan Maya segera pergi.

Ia tidak mau rumah pemberian orangtuanya ini terkotori kembali oleh tingkah binatang mereka.

Maya hanya bisa pasrah.

Aslan bergerak menuju sepeda motornya dan menyusun tas mereka.

Pria itu mesti menstater sepeda motornya berkali-kali, karena sudah berbulan-bulan tidak dipakai.

Padahal ratusan kali Hagia sudah memperingatkan agar sepeda motor Aslan tetap dipanasi tiap hari. Tetapi Aslan selalu mengabaikan.

Dua sejoli yang sudah menikah siri secara diam-diam itu pun akhirnya melaju dengan sepeda motor butut meninggalkan rumah Hagia.

Aslan sempat menoleh ke arah istri pertamanya itu, namun Hagia menoleh.

Tak sudi dirinya ditoleh oleh suami pengkhianat itu.

"Mas kita mau kemana sih malam-malam begini?"

"Sombong amat istrimu itu, kayak dia yang punya rumah," gerutu Maya ketika di jalan.

Aslan hanya menghela nafas kasar. Ia tak tau arah mau kemana. Mencari kost atau hotel untuk menginap uangnya terbatas.

Beberapa hari lalu, Hagia sempat meminta uang untuk biaya SPP anak pertama dan kedua mereka.

Sedangkan Aslan hanya memegang uang seadanya. Tabungannya sudah habis untuk membelanjakan permintaan Maya.

"Mas, kok ditanya diam aja sih? Kamu dengerin aku enggak dari tadi?" jawab Maya sebal.

"Berisik kamu! Sudah kamu diem aja." Aslan merasa terganggu konstrasinya menyetir sepeda motornya.

Tak berapa lama, mereka sampai di kediaman orangtua Aslan.

Ya, pria itu tidak mempunyai tempat pulang lagi selain ke rumah ini. Ia pun mengetuk pintu rumah Ibunya itu.

Bu Asnah ibunya Aslan tinggal bersama Lani, adiknya Aslan yang masih duduk di bangku SMA.

"A-Aslan, ada apa ini? Kenapa kamu bawa koper begini?" tanya Bu Asnah terkejut bukan main.

"Aslan diusir Hagia, Bu," balas Aslan lirih.

"Apa kamu diusir oleh istrimu yang sombong itu?"

"Keterlaluan sekali Hagia Kenapa kamu jadi diusir?" Bu Asnah menimpali dengan wajah yang merah padam.

Ia geram atas sikap menantunya yang menurutnya sudah kelewat batas.

"Aslan kepergok main sama Maya, Bu." Aslan tertunduk lesu. Ia menjatuhkan bobotnya di sofa.

"Huh, dasar bod0h! Sudah Ibu bilang kalian itu harus main cantik."

"Masa gitu aja enggak bisa?"

"Kalau udah begini siapa yang rugi kalau enggak kamu sendiri." Bu Asnah langsung meluapkan emosinya pada putranya.

"Maksudnya Ibu gimana sih? Rugi kenapa? Kan Aslan masih kerja juga."

"Ya mudahan aja gajimu masih cukup untuk membiayai kami dan istri barumu itu." Bu Asnah menatap Maya dengan sinis.

"Mudahan aja, Bu."

"Nanti habis lulus, Lani enggak usah kuliah dulu."

"Suruh dia kerja aja, Bu. Biar keuangan kita cukup." Aslan mengusulkan sebuah ide.

"Apa?" Bu Asnah terkejut.

"Kamu nyuruh adikmu buat kerja? Mau kerja apa hari gini kalau cuma lulusan SMA, As?"

"Bukannya kamu berjanji kalau nanti kamu akan membiayai kuliah Lani?"

Wanita itu sebenarnya menyayangkan sikap Aslan yang gegabah karena cepat-cepat menikahi Maya.

Aslan nekat menikahi baby sitter yang mengasuh anak-anaknya itu karena ia merasa kesepian.

Hagia sering pulang lembut dan larut malam. Jadi ia selalu kesepian di rumah.

Sebagai seorang lelaki, ia ingin istrinya selalu ada menemaninya. Tetapi karena tuntutan ekonomi dan pendidikan anak yang mahal, mau tak mau Hagia tetap bekerja.

Wanita itu bekerja di perusahaan Om-nya. Selama ini Hagia menjadi kepercayaan adik Ibunya itu.

"Bu, jangan egois gitu."

"Aslan sudah punya dua istri, Bu. Otomatis keuangan Aslan terbagi dua."

"Ibu dan Lani harusnya bisa mengerti Aslan." Aslan mendadak bingung karena Ibunya tetap meminta Lani untuk kuliah.

"Ya sudah kalau begitu kamu jangan sampai bercerai dengan Hagia."

"Kalau kamu sampai bercerai siapa yang membiayai kehidupan kita kelak."

"Lani juga kekeuh mau kuliah."

"Jangan sampai adikmu itu enggak kuliah karena kamu menikah lagi. Dasar ya."

"Iya.." Kepala Aslan serasa berdenyut mendengar permintaan Ibunya.

Hagia saja sudah mengusirnya. Bagaimana ia bisa membujuk Hagia agar kembali padanya.

"Iya, Bu. Akan usahakan. Aslan juga enggak mau menceraikan Hagia."

"Bagus. Jangan sampai kamu kecolongan sama itu perempuan! Ngerti." Bu Asnah segera beredar masuk ke dalam kamarnya.

To Be Continue...

Share this novel

Guest User
 


NovelPlus Premium

The best ads free experience