"Apa-apaan kamu, Mas?" jerit Hagia terkejut bukan main ketika membuka pintu kamarnya.
Sesak terasa di dadanya. Matanya terasa panas. Lelah mendera tubuhnya karena baru saja pulang dari perjalanan dinas ke keluar kota.
Tak ada yang lebih pi-lu menyaksikan suaminya sedang asyik masyuk di ranjang bersama baby sitter.
Ya perempuan yang sengaja ia bayar buat menjaga ketiga anaknya yang masih kecil.
Aslan suami Hagia terkesiap. Begitu juga dengan Maya si baby sitter pela-kor.
Dua orang yang bermesraan dan telah menyimpang dari koridor agama itu pun cepat-cepat mengambil pakaian mereka yang mereka lem-par secara semba-rang tadi.
Aslan dengan cepat memakai celana pendeknya. Ia berlari ke arah istrinya yang sedang menahan emo-si.
Tangan Hagia mengepal. Ingin sekali meninju dan menampar dua orang yang tidak tau diri itu.
"Gia, aku minta maaf. Dengarkan dulu penjelasanku," pinta Aslan memulas.
Ia tak menyangka kalau istrinya akan tiba lebih cepat.
"Jadi ini kelakuanmu selama ini saat aku dinas, Mas. Aku kecewa sama kamu, Mas."
"Aku kecewa! Aku enggak butuh penjelasanmu," balas Hagia dengan suara parau.
Air mata wanita berusia 33 tahun itu pun lu-ruh tak tertahankan. Kerja kerasnya selama ini terasa sia-sia.
Suami yang ia kira mencintai dan mendukung karirnya, kini malah mengkhia-nati dirinya.
"Tolong dengerin aku, Gia."
"Aku bisa jelaskan ini semua." Aslan berusaha menenangkan istrinya.
Sementara itu Maya dengan cepat memakai pakaian dalam dan dasternya.
Wajah gadis yang tidak tamat SMA itu terus menunduk. Selama ini ia berusaha untuk menolak ajakan Aslan memadu kasih dengannya.
Tetapi tetap saja pria itu terus mengg0danya. Apalagi Ibu Maya sedang sakit keras.
Aslan menjanjikan sejumlah ua-ng untuk membia-yai Ibunya Maya berobat.
Langsung saja Maya mengiyakan ajakan Aslan.
Apalagi lelaki yang bernama Aslan itu masih terlihat tampan di usianya yang hampir menginjak kepala empat.
"Jangan sentuh aku, Mas! Aku jijik!" pekik Hagia yang berusaha menghindar ketika suaminya mencekal tangannya.
"Oke, oke! Tapi dengerin aku dulu!"
"Enggak ada yang perlu dijelaskan, Mas. Semuanya sudah jelas." Hagia berusaha mengontrol emo-sinya yang sudah membun-cah meski hatinya terasa re-muk.
Istri mana yang tidak sakit hati. Suaminya keper-gok berma-in dengan seseorang yang dipercaya menjaga dan mengasuh anak-anaknya.
Dua orang yang harusnya bisa Hagia percayai, kini malah menvsvk dirinya dari belakang.
Terpaksa Hagia mencari baby sitter untuk menjaga ketiga anaknya. Biasanya Mbok Iyem yang menjadi ART dan mengurus anak-anaknya, pamit mengundurkan diri karena harus mengurus suaminya yang str0ke.
"Kenapa kamu masih berdiri di sana? Tuh, anak-anakku malah masih main di tanah di luar."
"Padahal udah mau magrib begini. Dasar perempuan gatal enggak tau malu!"
"Bisa-bisanya kamu mengkhia-nati kepercayaanku," hardik Hagia dengan tatapan mata nyalang.
Ya, itulah mengapa Hagia heran ketika tadi melihat anak-anaknya masih bermain sore-sore begini.
Wanita itu hanya bisa tersenyum ketika anak-anaknya yang masih berusia setahun lebih, tiga tahun, dan enam tahun itu bermain di halaman rumah mereka.
Walau dalam hatinya bertanya mengapa anak-anaknya jam segini belum mandi.
Wanita yang masih memakai blazer coklat dan hijab bermotif bunga itu pun maju mendekat ke arah Maya.
Terpaksa wanita itu mengotori tangannya. Gemas sekali ia dengan kelakuan Maya yang baru bekerja tiga bulan di rumahnya itu.
Hagia menampar wajah Maya bolak-balik. Emosi begitu membara membakar dadanya.
Maya hanya bisa pasrah karena ia sendiri juga tidak bisa melawan. Ia merasa memang dirinya yang salah. Ibarat dua tiga pulau terlampaui.
Ya, itulah.
"Hagia, hentikan!" teriak Aslan yang tak terima istirnya menampar baby sister yang sudah menjadi duri dalam daging itu.
"Apa katamu hentikan? Kamu masih membela wanita jalang ini, Mas?" balas Hagia memben-tak suaminya.
"Iya, aku tau kamu marah sekali. Tapi kamu enggak berhak menya-kiti fisik Maya seperti itu!"
"Hah? Apa? Kamu mau jadi pahlawan kesiangan?"
"Kamu bilang jangan menyakiti Maya."
"Kamu secara enggak sadar menyakiti hatiku, Mas."
"Lelucon macam apa ini?" Hagia tertawa sinis.
Aslan terdiam.
Ia mengusap wajahnya kasar. Tak disangka Hagia akan datang lebih cepat dan memergoki aksinya.
Hagia memang berkata pada suaminya kalau ia akan pulang besok.
Tetapi mendadak meeting hari ini dibatalkan dan akan diadakan meeting virtual saja nanti.
Makanya Hagia senang sekali bisa pulang ke rumahnya lebih cepat.
"Sudah berapa lama kalian melakukannya, Mas?" tanya Hagia dengan ke-tus.
"Baru sekali ini saja, Ya. Percayalah." Aslan menatap istrinya.
Ia berusaha meraih bahu Hagia. Namun dengan secepat kilat, Hagia menepis tangan suaminya.
"Kamu kira aku akan percaya."
"Sudah berapa kali kalian melakukannya, Maya?"
"Jawab aku!" cerca Hagia pada Maya.
Maya menunduk.
Wajahnya merah seperti kepiting rebus. Ia masih mengusap pipinya akibat bekas temparan Hagia.
Sakit memang. Namun tak sesakit hati Hagia yang bagai teri-ris sem-bilu.
"Jawab, Maya! Kamu dengar kan? Jangan diam saja," ulang Hagia dengan emo-si.
"Su-dah, sudah tiga kali, Bu. Eh, em-empat. Eh, enggak tau, Bu." Maya menangis teri-sak.
"Bagus! Jadi itu yang kalian lakukan di belakangku."
"Ya, silakan teruskan saja kelakuan kalian. Mulai detik ini,"
"Silakan kamu keluar dari rumah ini, Mas."
"Bawa juga sekalian wanita jalang itu," kata Hagia dengan tegas.
Sebisa dan sekuat tenaga Hagia menahan kembali ta-ngis yang akan p-ecah. Ia harus tegar demi ketiga buah hatinya.
Wanita itu pun mengetik pesan pada seseorang yang nantinya akan membuat Aslan dan Maya menyesal.
To Be Continue
Ayooo mampir novel terbaru loh ini..
Share this novel