Aslan tiba-tiba tersed4k. Kuah pedas dari mie instan terasa panas di tenggorokannya, mendengar istri sirinya meminta uang lagi.
Padahal sebelum ia diusir Hagia, Aslan sudah memberikan uang lumayan banyak kepada Maya.
"Uhuuuk." Suara Aslan yang tersedak mengagetkan Maya. Wanita itu langsung memberikan segelas air pada suaminya itu.
"Mas, maaf jadi membuatmu tersedak."
"Aku hanya kasihan aja, Mas. Ibuku sakitnya kambuh lagi."
"Jadinya dia perlu uang untuk berubat. Kamu tau sendiri kan kalau Mbak Minah juga hidupnya pas-pasan."
"Suaminya juga kerja serabutan. Mana cukup untuk biaya berobat Ibu," kata Maya menjelaskan.
Minah adalah Kakak Maya. Ibu Maya yang bernama Bu Santi itu tinggal bersama Minah dan suaminya.
Kebetulan kakak Maya itu bertahun-tahun menikah belum dikaruniai momongan.
Selama ini Minah kah yang menemani Bu Santi bolak-balik rumah sakit yang lumayan jauh dari desa tempat mereka tinggal.
Tenggorokan Aslan sudah agak enakan. Tetapi tetap saja otaknya terus berpikir.
Untuk mencukupi kebutuhan rumah tangga Ibunya saja sudah kembang kempis begini.
Lani juga masih butuh biaya sekolah, ujian akhir kelulusan, dan biaya perpisahan yang tentunya tak terjangkau kantong Aslan.
"Emangnya kamu enggak ada simpanan lagi, May? Uang gajian dari Hagia bulan kemarin kamu kemana kan?" tanya Aslan balik.
"Oh, uang gajian kemarin untuk beli make up dan baju bermerek, Mas. Hehe."
"Udah habis tuh uangnya," balas Maya tanpa rasa bersalah sedikitpun.
Ia masih mengira kalau selama ini Aslan adalah pria yang mempunyai banyak uang. Padahal selama ini Hagia jua lah yang menopang kehidupan keluarga Aslan.
"Kamu itu kok boros sekali sih, May. Harusnya uang gajian itu sebagian ditabung."
Jangan dihamburkan untuk beli barang yang enggak penting. Kalau begini kan kamu sendiri yang repot."
"Ibumu perlu uang berobat. Tapi kamu sendiri enggak punya simpenan."
Aslan malah balik menyalahkan Maya. Sebenarnya hal itu Aslan lakukan agar menutupi kalau dia sudah tidak punya uang lagi untuk membantu Maya seperti dulu.
Dulu sebelum hubungan mereka ketahuan Hagia, Aslan bak pahlawan kesiangan.
Ia selalu siap sedia membantu Maya. Berapa pun ua-ng keluar untuk Maya, ia tak pernah mempermasalahkannya.
Termasuk permintaan Maya yang ingin beli ini itu dan biaya berubat Ibunya.
"Tapi, Mas. Kalau enggak diobatin, gimana Ibuku?"
Aku enggak mau kalau harus kehilangan Ibuku, Mas."
"Ayahku juga sudah lama meninggal. Sama kayak kamu, orangtuaku juga tinggal Ibu." Emosi mulai menyelimuti Maya karena Aslan menyalahkan dirinya yang tak pandai mengatur keuangan.
Aslan tak asal bicara.
Memang benar adanya begitu. Aslan baru menyadari kalau Maya dan Ibunya sudah menjadi benalu dalam hidupnya.
Apalagi ternyata Maya juga tak bekerja lagi seperti istrinya. Darimana Maya mendapatkan pemasukan?
Selama empat bulan ini, urusan g4ji Maya ia serahkan pada Hagia. Karena menurutnya Hagia masih tetap bekerja walau anaknya sudah tiga.
Maka dari itu Hagia wajib membayar biaya pengasuh anak-anak mereka.
"Uangku tinggal sedikit, May. Kalau uangku kuberikan pada Ibumu, nanti ungku cepat habis."
"Ini juga belum pertengahan bulan." Aslan bersungut-sungut.
Ia sebal sekali karena Maya terus meminta uangnya. Dulu Hagia saja tidak pernah meminta uang padanya.
"Dasar pelit kamu, Mas! Orang pelit hidupnya susah," pekik Maya kecewa.
"Lho siapa yang pelit, May? Wong, uangnya juga enggak ada. Andai ada uangnya ngapain juga aku pelit!" sergah Aslan tak terima.
"Kamu berubah, Mas. Kamu berubah. Semenjak kamu pisah sama Bu Hagia,"
"Kamu kenapa jadi miskin begini, hah? Kamu tau kenapa aku mau dinikahin kamu?"
"Aku kira kamu itu kerja di perusahaan dujtnya banyak, eh ternyata kamu kok minkin gini, Mas."
Aslan menelan salivanya.
Ia tak menyangka kalau hidupnya akan kacau. Mana sebentar lagi adiknya mau ujian dan perpisahan sekolah.
Pasti adiknya itu juga akan meminta uang padanya. Sementara bayangan uang untuk membayarnya juga tidak ada.
Karena Hagia lah yang selama ini membiayai sekolah adiknya satu-satunya itu.
"Sudah, sudah, May. Aku sebenarnya enggak mau ribut terus sama kamu!"
"Kepalaku pusing mikirin ini semua. Kalau kamu mau duit, ya sudah kerja sana!" Aslan mengusap kasar wajahnya.
"Huh, kamu buta apa, Mas? Aku lagi hamil begini disuruh kerja!" Maya menghentakkan kakinya.
Ia melangkah menuju kamarnya. Ia lebih memilih menghindari perdebatan lebih lanjut dengan suaminya.
Sementara Aslan merasa kepalanya meledak. Ia menyesal karena sudah menduakan Hagia.
Apalagi Hagia juga tidak main-main dengan dirinya. Sampai Hagia tega mengusir dirinya dan Maya.
Bahkan dibujuk agar tidak bercerai pun, Hagia tetap tidak mau.
Siapapun yang kenal dengan Hagia, pasti akan tau kalau Hagia adalah wanita yang keras kepala.
Wanita itu teguh memegang prinsipnya. Baginya tidak ada tempat untuk seorang pengkhianat. Apalagi ia juga bekerja, ia akan menyelesaikan semua urusannya dengan uang.
Beberapa hari kemudian...
Hagia melangkah ke kantor Pengadilan Agama didampingi oleh pengacara muda kondang, Alfred Sinaga, SH.
Wanita cantik dan langsing walau sudah beranak tiga itu melangkahkan kakinya dengan elegan menuju gedung yang menjulang tinggi tersebut.
Sepatu hak tinggi berwarna merah yang ia kenakan beradu di atas lantai. Semua berkas sudah disiapkan oleh pengacaranya.
"Semoga saja Mas Aslan tidak akan pernah datang dalam sidang perceraian ini."
"Aku mau semua urusan ini cepat selesai. Tak sudi rasanya aku melihat pengkhianat itu lagi."
"Memang sampah sebenarnya harus dibuang pada tempatnya," gumam Hagia dalam hati.
Baru saja selesai mendaftarkan perkara perceraiannya, tiba-tiba ponsel Hagia berdering. Ia pun melihat nama ibu mertuanya tertera di layar ponsel.
"Hah, Ibu mertua! Mau apa dia menelponku?"
"Apa jangan-jangan dia mau minta uang lagi kayak yang sudah-sudah? Mereka pikir aku bisa dibodohkan lagi apa!"
"Sudah cukup mereka yang selama ini hanya memanfaatkan aku saja. Tunggu saja kalian pembalasan ku."
"Bersiap-siaplah sebentar lagi aku akan memberikan kejutan untuk kalian!" Hagia membatin sambil tersenyum menyeringai.
Wanita cantik itu pun menggeser tombol hijau panggilan di ponselnya. Ia pun tak sabar rasanya ingin melakukan 'genjatan senjata' pada keluarga benalu itu.
To Be Continue
.
Share this novel