"Iya, Mas. Aku ha-mil. Maaf, aku gak nurutin perintah kamu untuk minum p1l K_B," jawab Maya tanpa rasa bersalah.
"Apa? Jadi selama ini kamu sama sekali enggak ada minum pil K_B seperti yang aku pinta?" tanya Aslan panik.
Bukannya senang karena Maya hamil. Kepala Aslan mendadak menjadi pening.
"Emang kenapa sih kalau aku hamil, Mas?"
"Lagian kita sekarang sudah menjadi suami istri."
"Wajar dong aku hamil. Kan kamu yang menanam benih di Rahimku." Maya tersenyum penuh kemenangan.
Bukan tanpa alasan Aslan menyuruh Maya minum pil K_B. Aslan memang tidak mau Maya sampai hamil.
Ia tidak mau menanggung nafkah untuk anak keempatnya. Lagipula pria itu merasa keberatan karena sudah mempunyai tiga anak.
Menambah satu anak lagi, tentu saja akan biaya pengeluaran akan membengkak.
Aslan mendengvs kesal. Begitu juga dengan Bu Asnah. Pasangan ibu dan anak itu memasang raut wajah masam.
Tidak ada bahagia sama sekali yang terlihat dari wajah mereka.
"Mas, kamu kok cemberut gitu sih?"
"Harusnya kamu senang bisa mendapatkan keturunan dariku."
"Lagian kita sudah menikah siri juga."
"Aku juga berhak mendapatkan nafkah sebagai istri dan kelak calon buah hati kita juga akan menjadi tanggung jawab kamu," balas Maya membela diri.
"Sudah, sudah, May."
"Kamu enggak usah nyerocos terus. Pusing kepalaku lama-lama kayak gini." Aslan beranjak dari tempat duduknya.
Ia pun berjalan keluar rumah Ibunya itu. Kepalanya serasa mau meled4k memikirkan masalah yang tiada kunjung habis.
"Mas! Mau kemana?" tanya Maya mengejar kepergian Aslan.
"Mau keluar cari angin."
"Kepalaku pusing."
"Suntuk banget di rumah rasanya," jawab Aslan dengan nada tinggi.
"Tapi kan kita mau belanja."
"Bukankah kamu udah janji sama aku kalau kamu gajian akan ngajakin aku belanja." Maya menagih janjinya pada suaminya.
"Belanja, belanja terus yang ada di pikiran kamu, May!"
"Enggak tau apa kalau nyari duit tuh susah. Aku pusing tau."
"Semenjak aku keluar dari rumah Hagia, bebanku bukannya malah berkurang."
"Tapi hidupku rasanya makin blangsek."
Emosi semakin menguasai diri Aslan. Pria itu pun keluar rumah.
Sementara Maya terus memanggil dan mengejar suaminya. Namun Aslan tidak menghiraukannya.
Pria itu bergegas melajukan sepeda motornya meninggalkan kediaman Ibunya.
Sepeninggalan Aslan dan Maya dari rumahnya, Hagia merasa ada yang hilang dari hidupnya.
Perasaan yang sangat wajar dialami oleh seorang istri yang bertahun-tahun hidup mendampingi suami yang begitu ia cintai.
Selama ini Hagia bekerja keras demi memenuhi kebutuhan keluarga tercinta.
Ia rela meninggalkan anak-anaknya yang masih kecil demi mengejar karir dan impiannya.
Seharusnya seorang ibu bisa menjadi madrasah pertama bagi anak-anaknya.
Namun hal itu tidak sepenuhnya berlaku untuk Hagia. Ia harus ikhlas meninggalkan anak-anaknya diasuh oleh seorang baby sitter.
Untung saja ketiga anaknya itu diasuh oleh Mbok Iyem yang sabar dan telaten mengurus anak.
Wanita tua itu juga cekatan mengurus rumah tangga dan memasak makanan enak untuk majikannya.
Kebetulan saja nasib sial sedang menimpa Hagia setelah Mbok Iyem berhenti bekerja dengannya.
Tak ia sangka, Maya, wanita yang sudah ia percaya untuk mengasuh ketiga anaknya itu akhirnya malah merebut suaminya.
"Ma, Papa nanti main ke sini enggak?"
"Hasna kangen banget sama Papa," tanya Hasna putri kedua Hagia itu membuyarkannya lamunan.
Hagia tersenyum kecil. Namun senyuman itu adalah senyum terpaksa.
Berat sekali sebenarnya menjelaskan kepada ketiga anaknya yang masih kecil-kecil.
Putri pertama Hagia, Azkia, duduk di bangku kelas 1 SD.
Hasna masih sekolah playgroup, dan si bungsu Galang masih berusia satu setengah tahun yang sedang aktif-aktifnya.
"Papa lagi ada kerjaan ya, Sayang."
"Nanti kalau Papa pulang pasti Mama kabarin," jawab Hagia dengan lembut.
"Ah, Mama bohong! Kan Papa pergi sama Mbak Maya."
"Kata temen-temen di sini, Papa nikah sama Mbak Maya," jawab Azkia dengan ketus.
Hati perempuan mana yang tidak terkoyak mendengar kalimat itu. Kedua mata Hagia nampak berkaca-kaca.
Tak terasa air matanya pun terjatuh. Anak sekecil Azkia dan Hasna harus merasakan efek dari perpisahan orangtuanya.
"Mama, kenapa nangis?"
"Mama sedih ya karena Papa enggak pulang-pulang?"
"Mama jangan nangis lagi ya. Kan ada Hasna, Kak Azkia, dan Galang yang nemenin Mama," sahut Hasna menenangkan Mamanya.
"Iya, Ma. Maafin Azkia ya, Ma. Azkia sudah nyakitin Mama." Azkia menghampiri Mamanya.
Azkia dan Hasna memeluk erat Hagia. Wanita itu tak sanggup berkata-kata lagi.
Namun di lubuk hatinya, ia begitu bersyukur karena dikaruniai dua putri yang pengertian dan sholeha.
Tak berapa lama kemudian, terdengar suara sepeda motor berhenti di rumah Hagia.
Dia putri Hagia itu pun berlari ke depan karena mendengar suara sepeda motor Papanya.
"Papa!" seru Hasna dan Azkia bersamaan.
Baru saja Aslan memarkirkan sepeda motornya, pria itu langsung diserbu oleh kedua putrinya.
Anak-anak cantik itu menghambur dan memeluk Papanya dengan erat.
"Papa, aku kangen banget sama Papa."
"Papa kemana aja sih kok enggak pulang-pulang?" tanya Hasna dengan wajah polosnya.
Hagia merasakan nyeri di hatinya ketika melihat dua putrinya memeluk Papanya.
Namun pemandangan penuh haru itu tidak akan serta merta mempengaruhi keputusan Hagia yang sudah final.
"Maafkan Papa, Nak. Papa sedang banyak kerjaan," jawab Aslan tersenyum penuh haru karena kedatangannya masih dirindukan oleh dua putrinya.
"Tapi Papa kenapa boh0ng sama kita."
"Kata orang-orang Papa pergi dan nikah sama Mbak Maya," celetuk si sulung Azkia yang membuat mata Aslan terbelal4k.
"I-itu, Papa..."
Belum sempat Aslan menjelaskan kepada kedua putrinya, lantas Hagia langsung memotong jawaban Aslan.
"Hasna, Azkia. Masuk kamar dulu ya."
"Mama mau ngomong hal penting sama Papa," tukas Hagia menyuruh kedua putrinya.
Hasna dan Azkia pun serempak menjawab iya. Kedua gadis kecil itu langsung berlari ke kamar mereka.
"Mau apa kamu ke sini, Mas? Bukankah urusan kita sudah selesai?" cerca Hagia tanpa berbasa-basi.
Menurutnya hal itu hanya akan bu4ng-bu4ng waktu saja.
"A-anu, Gia. Bisa kah kamu membatalkan gugatan perceraian kita?"
"Apa sebaiknya kita enggak rujuk lagi aja?"
"Demi anak-anak, apalagi anak kita kan tiga."
"Apa kamu enggak kasihan kalau anak-anak kita tumbuh tanpa kasih sayang dari Papanya?" balas Aslan yang akhirnya mengungkapkan tujuannya kemari.
"Huh, sayang sekali, Mas."
"Keputusanku sudah final."
"Tak ada yang bisa menganggu gugat keputusanku."
"Aku tetap ingin kita bercerai!" jawab Hagia dengan tegas.
Seketika jawaban dari Hagia membuat Aslan terdiam dan mati kutu.
To Be Continue..
Share this novel