Chapter 26

Romance Series 25496

Nafisah terdiam menatap dirinya di cermin. Apa yang telah terjadi, semua sudah kehendak Allah. Tatapan Nafisah beralih ke area lehernya. Disana, masih ada bekas merah yang Daniel tinggalkan disana. Tatapan Nafisah begitu datar. Ia benci kenapa dari sekian banyak wanita di dunia ini, kenapa harus dirinya yang menjadi pilihan pria itu?

Nafisah menundukkan wajahnya. Ia terisak pelan. Astaga, tiada hari tanpa menangis. Menangis lagi menangis lagi. Sudah jelas, semua ini akibat hubungannya dengan pria yang tidak berperasaan. Kenapa makhluk yang namanya pria suka menyakitinya?

Nafisah frustasi. Mengusap kasar lehernya. Berharap jejak menjijikan itu bisa hilang walaupun pasti akan membutuhkan waktu. Merasa gagal, Nafisah marah. Ia menghambur semua yang ada di meja rias penginapan tersebut. Beberapa benda berjatuhan ke lantai.

"Kalau tidak mengingat Allah, rasanya aku akan bunuh diri saja..."

Dengan amarah yang sudah tak bisa Nafisah bendung, akhirnya Nafisah melempar Vas bunga tersebut ke lantai. Pintu terbuka lebar, Zulfa syok.

"Nafisah! Ya Allah..."

Buru-buru Zulfa merengkuh Nafisah yang rapuh. Ia membantu Nafisah berdiri, mencoba menjauh dari semua kekacauan ini dengan duduk di pinggir ranjang. Zulfa memeluk erat tubuh Nafisah yang bergetar hebat. Mungkin karena sesama perempuan, akhirnya Zulfa tak mampu membendung air matanya sendiri.

"Naf, sudah. Kamu membuatku sedih... "

"Laki-laki brengsek itu yang sudah buat aku begini. Aku terpikir untuk meminta kematian pada Allah agar menyudahi semua hal pahit ini."

"Enggak, nggak, jangan Nafisah.." Zulfa memegang kedua pipi Nafisah. Saling menempelkan dahi. "Jangan meminta kematian. Ingat hadist yang di riwayatkan oleh Bukhari Muslim Abu Daud dan Tirmidzi yang kita dengar saat pengajian waktu itu di mesjid?"

"Jangan sekali-kali ada orang di antara kalian menginginkan kematian karena tertimpa suatu bencana. Namun, jika sangat terpaksa, maka sebaiknya ia mengucpkan doa: ‘Ya Allah, biarkanlah aku hidup sekiranya hidup itu lebih baik bagiku dan matikanlah aku sekiranya kematian itu lebih baik bagiku’.” tambah Zulfa lagi.

Zulfa kembali memeluk Nafisah erat. "Aku tahun semua itu berat. Tapi kita bisa lewatin ini bersama. Ada aku, Naf. Sejak 5 tahun yang lalu kita pertama kali bertemu dan berteman baik, aku sudah menganggapmu seperti sahabat. Kamu tahu nggak sih? Selain aku anak tunggal, seumur hidup dari jaman kecil sampai sekolah, aku belum pernah sedekat ini sama seorang teman. You're first for me. My bestie.."

Nafisah tidak tahu harus bereaksi apa. Apa yang Zulfa lakukan mengingatkannya pada masalalu yaitu almarhumah sahabatnya yang telah meninggal bernama Alina. Dan Nafisah merasa kalau Zulfa sama seperti Alina. Zulfa sudah baik padanya selama 5 tahun ini. Tapi apa yang di katakan barusan benar, semua ucapan Zulfa membuat hatinya perlahan memghangat.

"Terima kasih.. " ucap Nafisah akhirnya. "Aku nggak tahu harus apa kalau kamu nggak ada."

"Sudah jangan nangis." Zulfa menghapus air mata di pipi Nafisah. Nafisah tertawa pelan. Kedua mata Zulfa menatap leher Nafisah yang merah. Ia tahu itu tanda kissmark. Zulfa menatap Nafisah penuh simpatik.

"Aku harap Daniel segera di tangkap sama pihak kepolisian, Nafisah.."

*****

Hanif berjalan mondar-mandir nggak jelas. Ia berdiri didepan teras rumah. Berulang kali ia menatap ke depan pintu pagar. Berharap kalau Nafisah segera sampai rumah. Sudah beberapa jam berlalu, Nafisah tidak ada kabarnya. Bahkan nomor teleponnya juga tidak aktip.

"Apakah selama ini dia ke tempat editornya?"

Hanif menoleh ke dalam rumah. Ayah dan Ibu nya yang tadinya berada di ruang tamu akhirnya sudah memasuki kamar mereka.

"Kalau aku tanya Bapak kemana Nafisah, yang ada Ibu panik. Bahkan kepanikan Ibu macam kehilangan anak semata wayang."

Hanif mengacak rambutnya frustasi. Bahkan jika ia yang hilang, mungkin orang tuanya nggak akan spanik seperti kehilangan Nafisah. Hanif menggeleng cepat. Ya Allah.. sempat-sempatnya ia seudzon sama orang tuanya sendiri.

"Aku harus ke rumah editor Nafisah sekarang."

Hanif mengendarai motornya menuju rumah Sofia. Tadi pagi ia mengantar Nafisah kesana. Maka ia akan mencari adik sepupunya saat ini juga. Sepanjang jalan, berulang kali Hanif menyangkal perasaan yang aneh dalam dirinya. Seperti kekhawatiran yang berlebih.

Kamu mulai ada rasa sama dia Hanif. Bahkan jatuh cinta dengannya.

Dan lagi, hatinya berbisik seperti itu.
"Astaga, nggak! Dia itu cuma adik kecil yang menyebalkan. Mana mungkin aku suka sama dia."

****

"Bagaimana perasaanmu?" tanya Tasya pada Sofia. Saat ini ia sibuk mengganti perban dan gips yang ada di kaki kiri Sofia.

"Sedikit membaik. Terima kasih."

"Sama-sama." Tasya tersenyum. "Sudah menjadi tugasku, Sofia. Oh iya, apakah Kak Farras ada kesini?"

"Tidak. Hanya temanku."

"Ah yang perempuan tadi siang ya?"

"Iya.."

Sofia terdiam sesaat. Tasya terlihat teliti ketika mengganti perban di kakinya. Sofia sadar, keluarga ini begitu baik padanya. Setelah Daniel membayar semua biaya pengobatannya beberapa hari yang lalu, Daniel juga secara langsung menunjuk Ibu Farras dan Tasya untuk menjadi dokter spesialis ortopedinya. Bahkan membayar khusus kepada Tasya untuk menjadi perawat pribadinya.

"Kamu memikirkan Farras?"

Sofia langsung teralihkan. Ia tersenyum tipis. "Tidak. Aku hanya teringat temanku."

"Daniel?"

"Iya. Kamu mengenalnya?"

"Kenal sih enggak. Hanya sebatas tahu nama dan orang saja. Sepertinya dia pria yang baik. Apakah kalian keluarga?"

"Hanya teman masa kecil."

"Satu negara?"

"Iya. Bagaimana keadaan kakiku?" tanya Sofia berusaha mengalihkan, karena sejujurnya ia enggan membahas hal-hal yang menyangkut tentang pribadinya.

"Alhamdulillah kondisi baik. Mungkin minggu depan kita bisa terapi latihan jalan bersama Ibuku di rumah sakit..."

Pintu terbuka pelan. Masuklah Farras bersama Ibunya. Mereka tersenyum pelan. Tak lupa mengucap salam ketika memasuki rumah. Sofia berusaha membiasakan diri di keliling orang-orang asing yang memang terlihat baik padanya.

"Hai Sofia?" sapa Farras tersenyum. Ia membawakan sekotak brownis untuk wanita itu. "Ini buatmu. Makan yang manis mungkin bisa memperbaiki moodmu."

"Hai, Terima kasih. Kamu tidak perlu repot-repot."

"Aku tidak masalah. Senang bisa berbagi rezeki."

"Masaaaaaa sih????" Tasya menatap Farras dan terlihat tidak percaya. "Masa kalau mau bagi rezeki ke satu orang aja? Ya kali kalau mau bagi-bagi rezeki ke adiknya dan orang dirumah juga." sindir Tasya dengan tatapan jahil sambil menatap Sofia dan Farras.

Farras salah tingkah. Ia sadar kalau adiknya itu sedang menggodanya. Dan itu berhasil membuat Sofia tanpa sadar tertawa. Sejenak, Farras menatap Sofia. Ini pertama kalinya ia melihat Sofia tertawa lepas. Tidak ada raut wajah sendu dan datar seperti sebelumnya.

"Cantik.." batin Farras dalam hati.

Tapi tanpa mereka sadari, Ibu paruh baya yang ada di antara mereka justru menggelengkan kepalanya sambil tersenyum begitu menangkap basah melihat putrranya menatap Sofia tanpa berkedip.

"Aku tidak mau membelikan brownies untukmu, Sya." balas Farras santai.

"Loh kenapa?"

"Kamu sudah manis. Untuk apa makan yang manis-manis lagi?"

Seketika semuanya tertawa. Suasana kali ini begitu akrab. Dan ntah kenapa hati Sofia menghangat. Rasanya ia ingin menangis haru saat ini juga. Sesungguhnya Sofia tidak pernah merasakan keakraban dalam sebuah keluarga seperti ini mengingat dirinya hanyalah anak yatim piatu yang di adopsi dari sebuah panti asuhan.

"Assalamu'alaikum.."

Semua yang ada disana pun teralihkan begitu menatap ke arah pintu. Hanif berdiri di sana dengan raut wajah sungkan sekaligus cemas. Sejenak, Farras dan Hanif, saling menatap satu sama lain yang tidak bisa di artikan oleh siapapun. Bahkan keduanya tidak menyangka akan bertemu.

Hanif berdeham. Tatapannya beralih ke Sofia. "Maaf mengganggu, Aku sedang mencari Nafisah. Apakah dia ada?"

"Dia sudah pergi sejak tadi siang." ucap Sofia yakin.

"Sendiri?"

"Iya, apakah terjadi sesuatu?"

"Dia belum pulang sejak tadi."

"Kamu tidak perlu khawatir, mungkin seseorang yang aman sedang bersamanya."

"Siapa?"

"Aku tidak tahu." jawab Sofia seadanya.

"Kalau begitu, saya permisi. Assalamu'alaikum."

"Wa'alaikumussalam." jawab Ibu Farras dan Tasya yang sedikit terlihat heran.

Setelah itu Hanif pergi keluar rumah. Ia tersenyum sinis setelah melihat apa yang terjadi. Ia menaiki motornya dan menyalakan mesinnya.

"Aku benci mengatakan hal ini, tapi astaga, dia cantik juga. Semoga kerjaanmu tidak melemahkan perasaanmu. Kamu terlihat menyukainya, Zio."
Lalu Hanif tertawa pelan.

Sedangkan Farras, ia menggeram pelan. Ia mendengar semua ucapan Hanif melalui earpiece mini rahasia yang tak terlihat terpasang di telinganya. Rupanya setelah Tasya menggodanya, kini Axel malah menggodanya.

"Astaga.." umpat Zio dalam hati

****

Mana Daniel? Kok nggak ada? Tenang, lagi senang-senang dia sama perempuan lain. Bukan sama Nafisah loh ya, kan dia lagi sama Zulfa. ( anggap aja spoiler dikit buat next chapter ?? )

Makasih sudah baca. Jgn lupa di vote ya.. ??

With Love, Lia??

Instagram : lia_rezaa_vahlefii

Share this novel

Guest User
 


NovelPlus Premium

The best ads free experience