chapter 22

Romance Series 25496

Motor berjalan dengan kecepatan sedang. Ujung khimar Nafisah melambai-lambai tertiup angin. Sementara ia berpegangan pada besi bagian dudukan belakang motor ojek online dengan duduk menyamping.

Hati Nafisah sedikit tenang. Kali ini ia menggunakan jasa ojek muslimah khusus wanita. Meskipun waktu jam operasional nya terbatas dari jam 06.00 pagi hingga 18.00 malam, setidaknya ia tidak berboncengan dengan ojek online laki-laki.
Terlalu bahaya baginya. Apalagi semenjak kejadian begal tadi malam.

Nafisah terdiam sesaat ketika motor tersebut berhenti di lampu persimpangan jalan. Lalu pikirannya melalang buana kemana-mana.

"Seandainya Hanif tahu." Itu kata Budenya yang ia dengar.

Apa maksudnya? Pikir Nafisah.

"Tahu apa? Apakah ada rahasia atau sesuatu yang mereka sembunyikan selama ini dariku?"

"Apakah ada hubungannya dengan Daniel."

Astaga pria itu. Selain menyebalkan, kenapa ia malah memikirkannya? Rupanya selain muncul secara tiba-tiba. Dia juga muncul dalam pikiran Nafisah tanpa di minta.

Buru-buru Nafisah menggeleng cepat. Memikirkan pria itu tidak baik baginya. Alih-alih daripada Nafisah memikirkannya, lebih baik ia bersholawat saja kepada Baginda Nabi Muhammad Shalallahu Alaihi Wassalam

Seketika hati Nafisah langsung tentram. Tepat setelah ia selesai bersholawat, Nafisah terkejut. Hanif ada di belakangnya sembari membunyikan klakson.

"Mas Hanif?" Nafisah membuka kaca helm nya dengan tatapan tak percaya.

"Ngapain?" Teriak Nafisah sedikit nyaring, suara kendaraan lalu lalang di jalanan padat membuatnya harus mengeraskan suaranya.

"Ikutin kamu."

"Apa?"

Hanif memutuskan sedikit memajukan motornya. "Aku ikutin kamu?"

Mbak ojek online pun sadar, ada yang mendekati motornya. Ia sempat melirik ke spionnya.

"Siapa? Teman Kakak?"

"Iya, Mbak. Tidak perlu khawatir."

"Oke."

"Ngapain ikutin aku? Sana pulang!" Nafisah memutar bola matanya dengan jemgah. Sementara Hanif hanya tertawa lebar.

"Aku cuma mau pastiin, kamu sampai ke tujuan."

Ya ampun, pikir Nafisah. Ini berlebihan. Nafisah tidak suka hal ini. Bukannya apa, ntahlah, semakin ia membiarkan Hanif membantunya, kenapa ia jadi takut?

Takut kalau ia tidak bisa membalas perasaan pria itu. Bukannya ia langsung kepedean. Hanya saja ia antisipasi untuk tidak kembali ke persoalan cinta.

Cinta itu hanya menyakitkan. Sudah dua kali Nafisah kecewa. Maka Nafisah tidak ingin menambahkannya lagi. Sekalipun jutaan atau mungkin milyaran pria tampan yang datang padanya, Nafisah sudah tidak perduli.

Mau tidak mau Nafisah hanya menggangguk. Bahkan rasanya begitu tidak enak hati melirik ke belakang. Setelah menempuh waktu kurang lebih 15 menit, Nafisah tiba di sebuah komplek perumahan dengan halaman yang berukuran sedang. Terlihat bersih dan nyaman. Dua hal yang Nafisah nilai begitu tiba di depan rumah Sofia sesuai sherlock yang Nafisah terima dari Sofia. Ojek online itu pergi, setelah Nafisah membayar ongkosnya.

"Mas, Terima kasih sudah temani aku sampai kesini."

"Sama-sama, tapi nggak gratis ya."

"Loh.. " Nafisah jengah. Merasa tidak Terima. "Nggah ah, itu curang. Sejak awal aku tidak mau merepotkan siapapun apalagi Mas.."

"Kamu tidak pernah merepotkanku sama sekali Nafisah. Justru aku perduli padamu. Aku tidak ingin dirimu kenapa-kenapa."

Jantung Nafisah berdegup. Perasaannya menjadi tidak karuan. Hanif itu suka bercanda, tapi ia yakin, ucapannya kali ini serius. Hanif melihat reaksi Nafisah, wanita itu terlihat diam. Seperti bingung mau membalas ucapannya.

Seketika Hanif tertawa, sengaja mengembalikan situasi yang kaku ini. Akhirnya Nafisah juga merasa kesal.

"Ya elah, serius amat neng! Dah lah, Mas pulang dulu. Inget yak, nggak gratis nih. Martabak 5 kotak. Tidak menerima penolakan."

"Itu minta apa ngerampok?"

"Ya minta lah, kalau mau ngerampok ngapain makanan? Mending hati kamu yang Abang rampok, eaaakk!!"

Nafisah mencebik kesal. Ia langsung berbalik daripada meladeni Hanif yang kurang waras. Sepertinya pria itu kebanyakan bekerja sampai kurang refreshing. Hanif melihat jelas begitu seorang suster membukakan pintu untuk Nafisah, wanita itu sudah masuk. Setelah yakin Nafisah sudah didalam, perlahan, senyum Hanif memudar.

"Aku nggak akan biarkan siapapun menyakitimu, Nafisah."

****

"Sofia ini obatnya. Bisa langsung di minum. Perban dan gips kamu juga sudah aku ganti. Oh iya, dalam waktu dekat kita akan terapi ya belajar jalan. Kita lihat dulu kondisi kaki kamu bagaimana.."

"Baiklah. Terima kasih Tasya. Kamu benar-benar membantuku. Kalian semua, begitu baik. Aku sampai tidak tahu lagi bagaimana caranya berterima kasih."

"Kalau mau berterima kasih, jadi saja Kakak iparku. Sepertinya Farras tertarik padamu."

Sofia tersenyum kaku. Ia yakin Tasya hanya bercanda. Nggak mungkin semudah itu keluarganya menyukai dirinya. Siapa dirinya? Hanya orang asing tanpa keluarga, di buang bahkan buronan. Apalagi kalau Farras sampai menyukainya, astaga itu mustahil.

"Aku pergi dulu ya, nanti malam aku kesini lagi. Kamu istirahat dulu." Tasya balik menatap Nafisah. "Saya pamit dulu ya, Assalamu'alaikum."

"Wa'alaikumussalam."

Setelah Tasya menutup pintu kamar Sofia, Nafisah menatap Sofia dengan tatapan iba.

"Sofia, maafkan aku, sungguh aku benar-benar tidak tahu setelah kamu pulang dari rumahku waktu itu justru malah musibah menimpamu."

"Tidak masalah. Sudah takdir. Lagian,  aku berterimakasih padamu karena sudah kemari. Ah iya, apakah ada hal penting?"

"Tidak jadi, sepertinya bukan waktu yang tepat. Bukankah kamu baru saja dari masa pemulihan?"

"Aku tidak selemah itu, Nafisah. Katakan padaku, apakah ada kesulitan mengenai naskahmu?"

"Em, iya. Ada hal penting yang ingin aku tanyakan."

"Begitu? File Naskah kamu ada di laptopku. Tapi sayang, laptopku mati total. Kebetulan chargerku ada di kamar sebelah. Temanku meminjamnya waktu itu, dia lupa mengembalikannya. Bisakah kamu mengambilkannya untukku?"

"Kamar sebelah?"

"Iya, tidak perlu khawatir. Pemiliknya sudah pindah."

Nafisah hanya menurut. "Tunggu sebentar. Tapi tidak di kunci kan?"

"Sepertinya tidak. Tapi kalau di kunci, mungkin kita akan menundanya. Semoga saja tidak. Chargernya didalam laci meja kerjanya."

"Oke. Tunggu sebentar."

Tanpa beban Nafisah keluar kamar Sofia. Ia langsung menatap kamar persis di sebelah kamar Sofia. Ia berharap semoga saja tidak terkunci dan itu benar. Nafisah langsung masuk. Seketika ia terdiam.

Kamar itu lebih mirip untuk seorang pria. Tunggu, seorang pria? Nafisah langsung merasa aneh. Pria dan wanita tinggal bersama? Apakah mereka suami istri? Rasanya tidak. Bahkan ia tahu benar Sofia belum menikah.

Astaga! Nafisah baru ingat, ia pernah memergoki Sofia berpelukan dengan Daniel waktu ia mendatangi ruang editor di kantor penerbitan. Nafisah jengah. Sudah di pastikan, kamar ini pasti kamar Daniel.

Daripada memikirkan hal yang tidak penting, Nafisah memutuskan mencari charger laptop Sofia. Sebelum pria itu datang. Yang penting ia harus segera mencari charge itu sebelum pria itu datang. Apa kata pria itu nanti semisal tiba-tiba melihat dirinya di kamarnya? Bisa di pastikan yang ada pria itu semakin besar kepala atau bertindak aneh-aneh. Nafisah langsung membuka laci meja kerja dan langsung menemukannya.

"Aku ingin kau mengurus semua itu. Secepatnya!"

Nafisah menoleh ke arah pintu yang baru saja ia tutup. Ya ampun, Nafisah panik, gagang pintu kamar itu bergerak. Dengan cepat Nafisah langsung bersembunyi.

"Kau serius? Astaga, sudah sekian lama berlalu, aku pikir mereka semua tidak mempedulikan kasusku lagi."

Nafisah mempertahankan diri. Ia menutup mulutnya. Ia yakin ia tidak salah dengar.

"Kasus? Kasus apa?" batin Nafisah.

Dengan cekatan dan hati-hati, Daniel membuka kaos yang ia kenakan. Dan saat ini hanya menyisakan kaus singlet yang memperlihatkan tubuh kekar dan otot sempurna pada fisiknya.

Wanita manapun yang melihat penampilan Daniel saat ini, merasa kagum dan terpesona. Dan Nafisah akui, itu benar adanya. Namun ia memilih menutup kedua matanya rapat-rapat. Sadar kalau apa yang ia lihat itu adalah aurat Daniel.

"Beberapa orang telah melaporkan kasus anda Tuan Adelard. Kedutaan di negara kita kembali menghubungi kedutaan di negara tempat anda tinggal saat ini dan melaporkan ada warga negaranya yang sudah lama kabur. Saya rasa anda-"

Adelard langsung meoleh ke belakang, seperti ada sesuatu yang mencurigakan. Matanya tertuju pada lemari besar yang ada di belakangnya. Tak hanya itu, ia baru sadar kalau laci meja kerjanya terbuka. Seingatnya, sebelum ia pergi beberapa minggu yang lalu, ia sudah menutupnya. Ia kemari hanya ingin mengambil sisa pakaiannya sekaligus menjenguk Sofia yang kini telah tertidur pulas setelah meminum obatnya.

"Tuan? Anda mendengar saya?"

"Seperti yang aku ucapkan tadi, kumpulkan semua datanya. Setelah ini aku akan mengatur waktu untuk kembali kesana."

Panggilan terputus. Daniel memicingkan kedua tatapannya yang begitu tajam ke arah lemari. Tak hanya itu, ia mulai mendekat sambil merogoh pistol di punggungnya. Daniel begitu waspada, perlahan, ia membuka pintu lemari sambil menodongkan pistol ke dalamnya.

"What?" pekik Daniel kaget.

*****

Nafisah sampai menahan napas. Siapapun pasti akan gemetar ketika seseorang di todong pistol. Terutama dirinya. Berbeda dengan Daniel, setelah ia tahu siapa yang ada didalam lemarinya, ia hanya tersenyum sinis seolah-olah Nafisah adalah mangsa yang siap ia terkam.

"See, siapa sekarang yang suka muncul tiba-tiba seperti hantu?"

Nafisah merasa kesal. Ia keluar dari lemari, sementara Daniel langsung meletakkan pistolnya ke dalam lemari.

"Aku sudah mengatakannya berulang kali, kamu dan aku sama saja. Suka muncul tiba-tiba. Itu artinya kita jodoh."

"Jangan percaya diri! Aku kesini karena Sofia menyuruhku mengambil chargel laptopnya di laci meja kerjamu!"

Cepat-cepat Nafisah menuju pintu. Nafisah emosi begitu pintunya terkunci rapat. Daniel kembali melakukannya.

"Sebenarnya kalaupun kamu ingin mengambilnya dan ketahuan olehku, aku tidak masalah. Tapi, kenapa harus bersembunyi?"

Nafisah ingin protes. Ia berbalik dan Ya Ampun, sekarang pria itu berdiri tepat di belakangnya. Nafisah ingin pergi, tapi Daniel malah menahannya. Bahkan mengurung dirinya.

Sekarang Nafisah terancam.

Tatapan Daniel begitu tajam dan mengintimidasi. Memancarkan aura keseksiannya sebagai pria dewasa yang tampan. Nafisah sampai menahan napas. Daniel begitu dekat dengan nya. Ia ingin kabur, tapi tidak bisa. Selain debaran jantungnya yang mulai tidak normal, juga rasa takutnya pada pria itu.

"Biarkan aku pergi. Aku sudah menemukannya!" sinis Nafisah, dingin, dan tajam.

"Tidak semudah itu."

"Kamu bahkan pernah memasuki kamarku tanpa izin-"

"Ah, jadi rupanya ratuku ini mau balas dendam?"

"Daniel, aku ingin pergi. Lepaskan aku sebelum aku teriak."

"Teriak saja. Siapapun tidak akan mendengarkannya. Bahkan Sofia sudah tidur. Bukankah ini waktu yang tepat?"

Nafisah memalingkan wajahnya ke lain. Tidak sudi menatap Daniel. Astaga, parfume maskulin yang di pakai pria itu, benar-benar terasa memabukkan untuk di cium dan di peluk lama-lama dalam dekapannya. Tapi tidak! Ini gila. Ia masih waras. Daniel benar-benar setan berwujud manusia yang kini menggoda dirinya.

"Jangan main-main, Daniel. Aku membenci dirimu yang selalu ada di mana saja!"

"Justru kamu yang main-main." Daniel memajukan wajahnya, membisik seksi di telinga Nafisah hingga membuat tubuh Nafisah meremang.

"Caramu bersembunyi tadi di dalam lemari seperti bermain petak umpet. Itu hanya berlaku untuk anak-anak. Kita sudah dewasa, dda ranjang yang besar dan hampa di dekat kita, bagaimana kalau kita bermain disana. Pasti lebih menyenangkan atau mungkin setelahnya kamu sulit berjalan."

Wajah Nafisah merona merah. Disaat yang sama, ia semakin muak dengan Daniel. Ucapan pria itu terlalu fulgar.

Plak!

Satu tamparan mengenai pipi Daniel. Nafisah menatapnya dengan tajam. Lalu matanya terfokus dengan cincin pernikahan yang tersemat di jari manis pria itu. Nafisah tersenyum sinis. Daniel memegang pipinya. Terasa nyeri dan kebas. Tapi anehnya justru ia semakin menyukai Nafisah yang melawan padanya.

"Bermain saja dengan istrimu sana! Bukankah kamu sudah menikah?! Dasar buaya darat!"

"Ah sayang sekali. Istriku sedang tidak bisa. Kelihatannya dia sedang sibuk bahkan suka menghindariku."

"Biarkan aku pergi. Maka semua urusan kita sudah selesai."

Nafisah kembali bertindak, tapi sayang, Daniel lagi-lagi malah memegang kedua tangannya. Berdiri menjulang dengan tatapannya yang berkilat-kilat. Astaga, ntah sampai kapan Ia bisa menahan diri bersama Nafisah. Daniel benci situasi ini, Nafisah suka menghindarinya dengan keras kepala. Sepertinya ia harus bertahap agar menjinakkan wanita spesialnya ini.

"Daniel!"

"Aku tidak akan pernah mau lengah lagi melepasmu." dingin, tajam, mengintimidasi, ancaman yang tidak main-main.

"Memangnya kamu siapa? Lakukan saja pada istrimu! Wajahmu sekarang terlihat seperti pria mesum yang kelaparan. Aku jijik lihatnya."

"Itu benar, buaya darat ini sedang kelaparan. Sepertinya butuh makan. Mungkin sudah saatnya aku meminta makan pada istriku, siapa tahu dia bisa."

"Yaudah sana minta! Puas puasin sana kalau perlu sampai tumbang nggak bisa bangun lagi!"

Daniel tersenyum sinis. Nafisah tidak sadar, siapa lawan bicaranya saat ini. Dengan lembut Daniel mengelus pelan pipi Nafisah, Daniel memejamkan matanya. Menghirup aroma wangi wanita spesialnya ini. Nafisah semakin takut dan tersudut.

"Terima kasih sarannya. Karena aku baru saja menikah, aku tidak mengerti tentangnya. Apakah seorang istri suka di perlakukan dengan romantis?"

Astaga, Daniel sudah gila. Benar-benar tidak waras. Apakah kejadian melawan begal tadi malam membuat otak pria itu lepas dan sekarang hilang ntah kemana? Kenapa semakin kesini omongan pria itu semakin ngelantur?

"Mana aku tahu! Tanya saja padanya!"

"Ah, mungkin dia tidak suka romantis. Atau mungkin hubungan yang datar."

"Tidak ada wanita manapun apalagi seorang istri yang di berlakukan dengan datar! Mereka suka di hargai, di cintai, dan yang terakhir tidak di khianati. Pria seperti mu, aku tidak yakin soal itu. Bahkan aku meragukan hal itu padamu dengan kekayaan yang kamu punya. Seorang pria bisa berkuasa ketika hartanya banyak dan dia bisa melakukan apapun yang ia inginkan. Termasuk SELINGKUH! Ck, kasian sekali istrimu mendapatkan pria sepertimu. Mungkin saat ini dia menantimu sepanjang hari dirumahnya, tapi lihat? Betapa brengseknya sekarang dia menyandera wanita lain di kamar ini."

Nafisah menumpahkan semua ucapannya yang panjang tepat didepan Daniel. Daniel hanya tersenyum. Kilatan matanya menatap Nafisah tanpa henti. Justru ia mengacungi keberanian wanita itu. Dan ntah kenapa, semakin membuat wanita itu terlihat cantik ketika marah. Bibirnya yang mengerucut dan ucapan pedasnya sanggup membuat Daniel akan menerkam mangsanya saat ini. Seperti katanya, ia buaya darat yang kelaparan.

"Tenang saja. Istriku tidak akan kasihan. Justru dia akan jatuh kepadaku saat ini juga."

Nafisah tersenyum sinis. Namun detik selanjutnya, pekikan Nafisah yang panik terdengar. Tanpa permisi Daniel malah menggendongnya dan merebahkannya di atas tempat tidur. Daniel langsung membuka kaos singlet yang baru saja ia pakai tadi.

"Daniel!" Nafisah terkejut tak percaya. "Kamu-!!!!!!!! "

"Katamu aku adalah buaya darat yang kelaparan dan harus meminta pada istriku.." ucap Daniel songong tanpa merasa bersalah. Namun selanjutnya ia menatap Nafisah dengan serius. Raut wajahnya terlihat tampan dengan aura yang mengintimidasi dan terkesan berani.

"Maka sekarang adalah saatnya.."

*****

Daniel, dengan keberanian nya yang gak Tanggung-tanggung ??

Makasih ya udh baca. Maaf kemarin gak up. Tapi aku rapel ke part ini jadi agak panjang 2246 kata ?

Jgn lupa vote nya supaya rating cerita ini bagus ??

With Love, Lia

Instagram : lia_rezaa_vahlefii

Share this novel

Guest User
 


NovelPlus Premium

The best ads free experience