Chapter 29

Romance Series 25496

Sofia : "Daniel, apakah kau yakin untuk kembali bekerja di penerbit? Katanya kau ingin menjadi pengantar paket ekspedisi. Kenapa sekarang berubah pikiran? Dasar tidak jelas."

Sofia baru saja mengirimkan sebuah pesan singkat pada Daniel. Nomor pria itu tidak aktip sejak semalam. Apakah dia baik-baik saja? Kabar terakhir yang pria itu berikan katanya dia akan kembali pada posisi semula. Maka dari itu Sofia ingin memastikannya.

Sofia menggeleng pelan. Sedikit kesal kenapa di saat penting untuk urusan pekerjaan pria itu paling sering menganggap spele semenjak kenal yang namanya Nafisah. Bisa di pastikan kalau isi otak pria itu jika di periksa, maka isinya adalah Nafisah, Nafisah dan Nafisah.

Sofia mencoba menghubungi Nafisah. Tapi wanita itu juga melakukan hal yang sama. Akhirnya Sofia melempar ponselnya dengan asal.

"Mereka sama saja! Pantas jodoh. Kata orang jodoh itu cerminan diri. Bahkan aku yakin jika Daniel bercermin maka yang dia lihat bukan wajahnya yang menyebalkan itu. Tapi wajahnya Nafisah yang terus tersenyum sampai-sampai Daniel mungkin bisa saja lupa siapa dirinya karena telah buta oleh cinta.. "

"Ada apa dengan wajahmu? Ah, aku tahu, apakah kalian sedang bertengkar?" tanya Tasya yang tiba-tiba muncul sembari membawa nampan berisi air putih dan obat.

"Dia benar-benar menyebalkan!"

"Farras? Ya Allah, baiklah. Aku akan katakan padanya-"

"Bukan dia, astaga. Ini Daniel."

"Ah sayang sekali." Tasya terlihat kecewa, meskipun tidak serius. "Aku pikir kalian bertengkar."

"Bertengkar?" Sofia tertawa kecil. "Untuk apa? Kami hanya teman.."

Tasya memberikan sebutir obat ke arah Sofia. Sofia menerimanya, lalu segera minum dengan segelas air putih.

"Benarkah? Tapi kalau Ibuku ingin menjadikanmu seorang menantu di keluarga kami, gimana? Kamu tidak sadar kalau Kakakku tertarik padamu?"

Uhuk!!

Sofia langsung terbatuk. Dadanya sakit. Ia berusaha mengatur napasnya yang sedikit sesak. Tasya langsung tertawa. Buru-buru ia membantu mengusap pelan punggung Sofia.

"Pelan-pelan, Sofia. Aku tahu ini membuatmu terkejut. Tapi, melihat raut wajahmu sekarang, kamu begitu grogi."

"Jangan asal bicara. Sejujurnya aku tidak menyukai Kakakmu, Tasya. Percayalah kami hanya berteman walaupun dia sering membantuku." sangkal Sofia lagi. Meskipun sebenarnya kalau memang ia menyukai Farras, itu adalah hal yang wajar. Menyukai lawan jenis memang tidak ada larangan. Apalagi kalau pria itu sangat ramah dan suka menolong.

"Tapi yang aku lihat, Kakakku sepertinya mulai suka denganmu."
Tasya meletakkan obatnya ke atas meja samping tempat tidur. "Ingat ya, se per ti nya.. " ucap Tasya dengan nada penuh penekanan.

"Kami berbeda keyakinan. Mustahil kalau suatu saat kita bersama. Apalagi membangun sebuah keluarga."

"Iya, kamu memang benar. Apalagi hidayah yang datang pada seseorang itu adalah hak Allah.."

Tasya hanya terseyum tipis. Sementara Sofia hanya membalas senyuman tersebut. Jauh dari lubuk hatinya adalah ia lebih takut kalau ia mulai jatuh cinta pada siapapun. Tidak ada yang ia percaya di tempat ini selama penyamarannya terkecuali Adelard.."

****

Zulfa mengendarai mobilnya dengan kecepatan sedang. Pagi sudah menjelang dan akhirnya mereka memutuskan untuk pulang ke rumah. Setelah menempuh waktu kurang lebih 30 menit, akhirnya mobil mereka sampai ke pekarangan halaman rumah Pak De Nafisah.

"Kita sudah sampai. Ayo turun.."

Nafisah tetap diam. Zulfa melepas safety beltnya. Ia menatap Nafisah di sampingnya.

"Naf.."

"Aku nggak mau pulang. Bisakah aku menginap di rumahnmu, Zul?"

"Percuma, yang ada Hanif bentar-bentar bisa datang kerumahku. Risih jadinya.."

"Kamu risih bukan karena suka sama dia, kan?" Akhirnya Nafisah menatap Zulfa. Raut wajah Zulfa berubah drastis menjadi salah tingkah. Dia tertawa.

"Ya Allah, dari sekian banyak laki-laki, kenapa harus dia sih? Nggak banget ah!"

Nafisah tersenyum sinis. "Dih, ucapanmu sama seperti ucapannya tadi malam."

"Oh ya? Memangnya kalian bahas apa sampai dia bilang begitu?"

Zulfa berharap kalau Nafisah segera menjawab. Tapi setelah di tunggu beberapa detik, dia hanya diam membisu. Sejujurnya ia penasaran. Apa jangan-jangan Hanif benar menyukai Nafisah?

Tiba-tiba hati Zulfa sedikit sesak. Ada apa dengannya? Astaga, jangan bilang ia benar-benar cemburu! Buru-buru Zulfa menyangkalnya. Lagian, untuk apa berharap? Toh juga Hanif kelihatan nya memang suka sama Nafisah.

"Aku hanya bicara padanya secara langsung untuk tidak menyukaiku dari sekarang sebelum semuanya semakin jauh tentang rasa suka itu. Aku tidak ingin memberi harapan."

Bagaikan pukulan yang menyakitkan, Zulfa mencoba untuk tegar. Dugaanya benar, seiring berjalannya waktu, akhirnya Hanif suka sama Nafisah. Nafisah melihat reaksi Zulfa sebentar. Dilihatnya temannya itu tersenyum tipis. Ntar terpaksa atau tidak, Nafisah cukup tahu kalau sebenarnya Hanif dan Zulfa sama-sama tidak ada yang mau mengakui kenyataan yang sebenarnya.

Tiba-tiba Bude Nafisah keluar dari dalam rumah. Ibu paruh baya itu mendekati mobil Zulfa hingga akhirnya Nafisah memutuskan untuk keluar.

"Alhamdulillah, sudah sampai. Bagaimana perjalanannya?"

"Menyenangkan.. " Nafisah membalas pelukan Budenya. "Nafisah kangen sama Bude."

Ibu paruh baya itu tersenyum. Ia melirik ke arah Zulfa yang baru saja keluar dari mobilnya. Keduanya sempat berpelukkan dan Zulfa mencium punggung tangannya.

"Zulfa jangan pulang dulu. Ayo masuk kita makan siang bersama.."

"Terima kasih, Bude. Tapi saya-"

"Jangan sungkan. Ini Hanif loh yang masak. Spesial buat kalian berdua.." potong Bude dengan cepat.

Zulfa dan Nafisah saling berpandangan tak percaya.

"Serius Bude?" tanya Nafisah heran.

"Lah iya, masa Bude bohong?"

"Tapi rumah sakit lumayan jauh loh, Bude. Kalau saya sakit perut gimana?" Zulfa memelas, raut wajahnya terlihat dramatis. Sementara Nafisah memutar bola matanya nya dengan jengah lalu tertawa.

"Tenang, nanti bude yang antar. Jalan kaki.. "

Lalu ketiganya tertawa. Ibu Fiza memang ramah dan suka nyambung kalau di ajak bercanda. Akhirnya mereka memasuki rumah bergaya minimalis itu. Dan langsung menuju dapur. Disana ada Hanif yang baru saja selesai menghidangkan beberapa menu masakan, lauk pauk, dan juga buah-buahan yang sudah ia kupas kemudian di potong. Celemek masih terpasang di tubuhnya, Zulfa sampai tak berkedip menatapnya.

"Kenapa?" kilatan geli terlihat di mata Hanif. "Kalian terpesona olehku? Sudah aku duga, kalian pasti akan mengganggap diriku calon suami idaman yang pintar memasak."

"Cih.. " Zulfa menatap Hanif sinis.
"Pede banget, calon aja belum ada."

"Ada, lagi di doakan.."

Nafisah memilih diam. Ntah kenapa ucapan Hanif barusan seperti mengarah kepadanya. Ia mencoba untuk bersikap biasa dan duduk bersebelahan dengan Zulfa.

"Ayo di makan. Murni aku yang masak semua."

"Yakin nih? Kok aku ragu ya?" Zulfa sampai menahan tawa, ia mengangkat salah satu piring yang telah berisi oseng kangkung dan terlihat lezat.

"Sekali makan masakanku, aku yakin setelah itu kamu akan terus menerus lapar dan lama-lama jadi gendut."

"Hanif.. " Pak De pun datang tiba-tiba, menatap Hanif penuh peringatan agar tidak bercanda soal fisik walaupun tidak bermaksud memarahinya.

Seiring berjalannya waktu pun, semua yang ada disana akhirnya makan dengan lahap di selingi obrolan ringan, canda tawa, dan banyak hal yang di bicarakan perihal hubungan bisnis, pekerjaan, dan masih banyak lagi.

Setelah semuanya selesai menghabiskan makanan, masih ada makanan penutup seperti puding dan kue brownies yang memang bukan buatan Hanif. Melainkan buatan Ibunya.

"Bolehkah aku berbicara sesuatu?" sela Hanif tiba-tiba. Semua yang ada disana langsung terdiam, sementara Orang tua Hanif saling berpandangan satu sama lain dan penasaran.

"Soal apa, Nak?" tanya Ayah Hanif.

"Apakah aku salah kalau aku menyukai seorang wanita di keluarga kita?"

Nafisah yang tadinya mengunyah kue brownies manis tiba-tiba menghentikan kunyahan nya. Ntah kenapa rasa manis yang ia rasakan mendadak hambar. Perasaannya jadi campur aduk.

"Menyukai seseorang itu tidak salah." sela Ibu Fiza, tatapannya langsung mengarah ke Nafisah. "Tapi yang harus kamu tahu, keluarga yang kamu sukai itu sekarang ini sedang sendiri atau tidak."

"Bagaimana jika tidak. Apakah boleh?"

Nafisah meminum air sejenak. Ia memutuskan untuk berdiri setelah selesai minum. Ia tersenyum canggung.

"Aku ke kamar mandi dulu, sebentar."

"Mencoba menghindariku, Nafisah?" tegur Hanif tiba-tiba. Akhirnya ia ikut berdiri

"Kamu benar soal tadi malam. Aku menyukaimu, Nafisah. Bukan sekedar adik lagi, melainkan sebagai seorang wanita yang membuatku jatuh cinta."

"Aku berusaha mengabaikan perasaan ini demi menghargai status kita di keluarga ini dengan cara berbohong. Tapi semakin aku perduli padamu ketika bahaya datang, semakin aku sulit mengabaikan perasaan ini. Bahkan mungkin tidak akan bisa untuk di lepas.."

Dan lagi, rasa nyeri itu kembali hadir. Tanpa siapapun sadari Zulfa merasakan hal itu. Sekarang ia sadar, tenyata ia cemburu. Kenapa ia masih berpikir banyak hal kalau ternyata akhirnya ia menyukai Hanif?

"Aku tahu, mungkin semua ini tidak mudah buatmu. Tapi izinkan aku mencoba untuk meyakini hatimu kalau sebenarnya aku masih ada kesempatan untuk bisa bersamamu."

Dengan tatapan sendu Nafisah menoleh ke arah Hanif. "Memang tidak mudah, Mas Hanif. Apalagi kalau pada akhirnya aku akan menyakitimu. Ini bukan masalah jika seiring berjalannya waktu cinta akan tumbuh dengan sendirinya. Tapi memang dari aku yang tidak ingin membuka hati lagi pada siapapun."

"Apakah itu termasuk aku?"

Suara bariton dengan nada rendah tiba-tiba terdengar di ruangan itu. Semua menoleh ke satu sisi sumber pemilik suara. Daniel berdiri dengan elegan, sembari melepaskan kaca mata hitamnya. Sementara stelannya pagi ini terlihat fresh, tampan, dengan dua kancing kemeja putih bagian atas di biarkan terbuka.

Zulfa sampai melongo, pria ras bule eropa Italia memang tiada bandingannya. Pria itu baru keluar dari penjara, tapi kata mantan narapidana sepertinya tidak cocok untuk mendeskripsikan situasi Daniel saat ini. Justru Daniel terlihat seperti suamiable yang siap menjemput miliknya

"Sarò con colui che dovrebbe essere mio... " tatapan Daniel tak lepas dari Nafisah

****

Jadi Sad boy itu nggak enak *peluk Hanif jauh ??

"Sarò con colui che dovrebbe essere mio... "
( Aku akan bersama nya  yang sudah seharusnya menjadi milikku ) - Daniel..

Hai makasih ya sudah baca. Jgn lupa di vote cerita ini ??

Jgn lupa follow juga akun IG aku, lia_rezaa_vahlefii untuk mendapatkan informasi cerita aku yg sedang di update atau lainnya perihal semua novel aku.

Terima kasih ?

Share this novel

Guest User
 


NovelPlus Premium

The best ads free experience