Seminggu berlalu, kapal yang akan membawaku pergi sudah menepi kedermaga. aku dan para pengawal dan dayang yang mengantarku sudah siap untuk berangkat. aku dengan perasaan yang sangat berat harus pergi meninggalkan Paduka Raja dan saudari-saudari Selir Senasib ku di Istana.
“Putri, aku harap kau akan betah disana, karna disana banyak orang-orang pendatang dari cina. jadi, kau tidak akan merasa sulit untuk beradaptasi seperti disini.” kata Paduka Raja.
“saya pamit Paduka Raja, mungkin kita tidak akan pernah berjumpa lagi setelah ini, aku harap kau memegang janjimu untuk putra kita. aku akan mengirimnya kembali padamu ketika ia sudah dewasa. ”
aku berjalan menuju rombongan keluarga ku yang telah menunggu tak jauh dari Paduka.
“ayah.. maafkan anakmu jika aku selalu melakukan kesalahan selama menjadi putrimu. maafkan aku jika aku belum mampu menjadi putri yang kau harapkan. ikhlaskan aku, anggaplah aku telah tiada. karna aku tidak akan mungkin kembali lagi ketanah jawa. maafkan aku ayah.. ” aku menangis sejadi-jadinya dalam sujud ku kekaki ayahku.
“tidak siu ku.. ayah lah yang bersalah padamu, membiarkan mu terlibat dalam kehidupan istana, berharap hidupmu dan anak mu sejahtera. tapi, aku yakin dengan calon suami baru mu, ia akan mampu mebahagiakan mu dan anak-anak mu kelak, tetaplah bahagia putriku, bahagialah selalu dalam setiap langkahmu. semoga hidupmu dilimpahkan keberkahan.. aku ayahmu akan selalu mendoakan mu hingga akhir hayatku.”
kata-kata ayah membuatku semakin membatu, tak ingin aku melangkah pergi, tapi aku harus pergi demi masa depan anak ku. ayah memasangkan selendang kuning dikepalaku.
“pakailah.. ini selendang milik mendiang ibumu. semoga kau di berkahi dan selalu bahagia nak.. ”
aku mengangguk dan pergi menaiki kapal dengan dibantu oleh para dayang. tiba-tiba saja pemuda itu datang dan memegang tangan ku menarik tubuhku ke atas kapal.
“terimakasih..” aku menutup wajahku menggunakan selendang, dan langsung membereskan barang-barang yang aku bawa.
kapal mulai menuju ketengah laut, aku melihat ke arah pesisir, orang-orang masih berada di dermaga. aku melambaikan tangan ku, tanda terakhir aku melihat wajah-wajah itu. sedih sekali, tapi harus.. inilah takdir yang tertulis untukku. mereka semakin kecil, semakin kecil, lalu hilang.. yang terlihat hanya gelombang air laut yang semakin membesar.
“Putri, silahkan masuk kedalam, jangan berdiri dipinggir kapal. nanti kau jatuh..” kata dayang Uci.
aku berjalan masuk kekapal, tapi aku tak tahan dengan aroma didalam kapal, aku berlari keluar dan duduk di dekat dek kapal. menikmati indahnya lautan yang luas, air yang membiru, gelombang naik dan turun seakan-akan bisa saja kau dimakan oleh gelombang itu dalam waktu dekat. aku membuka kitab suci ku dan membaca nya sepanjang perjalanan.
POV Pangeran Ario Dillah a.k.a Swan Liong
“bosan sekali.. apakah tidak ada perintah perang lagi dari Baginda?” tanya Swan Liong.
“sepertinya belum ada lagi setelah kegagalan perang di Bali.. ” kata Bong Swi Ho.
Swan Liong pun menciut, ia selalu saja melakukan kesalahan ketika diberi perintah perang oleh ayah nya. tak lama kemudian, seorang prajurit mengantarkan gulungan kertas kepada Bong Swi Ho. Bong Swi Ho membuka gulungan kertas itu, dan membacanya.
“Pangeran, sepertinya anda mendapatkan tugas baru dari ayah mu. Tugas yang sangat penting, dan pastikan kau tidak akan melakukan kesalahan lagi kali ini. ” kata Bong Swi Ho.
“Tugas apa paman?” tanya Swan Liong antusias.
“Menjemput dan Menjaga selir ayah mu yang sedang hamil hingga ia melahirkan. Ayah mu menyerahkan selir nya untukmu, akan tetapi kau jangan pernah menyentuh nya hingga ia melahirkan adikmu.” jelas Bong Swi Ho.
“siapa nama Selir itu Paman?”
“Siu Ban Ci.. ”
Swan Liong pun tercengang mendengar nama itu. ia bertanya-tanya, kenapa ayah nya menyerahkan Selir kesayangan nya kepada dirinya?
“Paman, kalau boleh tahu, apa yang sebenarnya terjadi di istana? sehingga Romo ku tiba-tiba saja mengirim salah satu Selir nya ke sini?” tanya Swan Liong Penasaran.
“entahlah… yang pasti dan paling penting, kita harus melakukan apa yang diperintahkan Baginda.” tutup Bong Swi Ho, ia pun pergi meninggalkan Swan Liong yang masih berfikir keras tentang apa yang membuat ayah nya mengirim salah satu Selir kesayangan nya jauh- jauh ke Palembang.
keesokan harinya, kapal menuju pulau Jawa sudah disiapkan oleh para prajurit untuk menjemput Selir Siu. mereka melewati pulau bangka hingga laut jawa, setelah beberapa hari kapal mereka terombang ambing, sampailah kapal mereka ke dermaga dimana ayah nya sudah menunggu di istana.
“hormat pada Paduka Pabu .. ” kata Swan Liong di ikuti oleh semua prajurit yang datang dibelakang nya.
“berdirilah, mari masuk kedalam dahulu putraku.” kata Paduka.
“kau masih ingat kan dengan teman kecilmu dulu? sewaktu kau peri mengaji di padepokan Syech Ben Tong?” tanya Paduka.
“iya Romo.. ”
“anak kecil itu telah menjadi salah satu selir Romo. kebetulan ia sekarang sedang hamil, akan tetapi Permaisuri murka. ia tak suka jika ada yang hamil sebelum dirinya. jadi, Romo minta bantuan mu untuk menjaga calon adikmu hingga ia lahir dan merawat nya hingga dewasa. setelah Selir Romo melahirkan, ia akan menjadi milikmu. Romo merestui kalian..” jelas Baginda.
Swan Liong mengangguk memahami apa yang dimaksud ayah nya. ia pun kembali kepasukan nya dan bersiap untuk kembali ke Palembang bersama Selir Siu. ia membantu para dayang dan pengawal dari istana untuk mengangkut barang-barang ke kapal, disana ia terpanah dengan kecantikan dari Selir Siu.
“Masha Allah… cantik sekali… Setelah sekian lama tak jumpa.. ” refleks tangan Swan Liong meraih tangan Siu, dan membantu nya naik ke kapal.
“terimakasih..” kata Siu.
Swan liong pun melanjutkan tugasnya dan menjalan kan kapal menjauh dari dermaga.
Setelah dua hari kami diperjalanan, terombang ambing dilautan luat menuju swarnadwipa. para pengawal melihat ada awan hitam di hadapan kami. semua orang di atas kapal sibuk kesana kemari untuk menyeimbangkan kapal serta menurunkan layar menjauh dari badai, namun apalah daya.. badai didepan mata, kapal kami pun karam.
aku dan beberapa dayang naik sekoci kecil yang ada di samping kapal. kami terombang ambil di atas laut luas, beberapa sekoci lain nya terlihat walaupun tak jauh dari sekoci yang kami naiki. akhir nya badai pun pergi. kami semua menepi disebuah pulau. aku kedinginan, dipesisir pantai ada pemukiman warga. kami menghampiri rumah-rumah warga tersebut. ternyata kebanyakan dari mereka adalah orang tionghoa.
kami pun di sambut hangat oleh mereka, aku dan para dayang dipinjamkan baju ganti. serta para prajurit yang tersisa di beri makan sup hangat oleh para penduduk. aku lihat Swan Liong dan Seorang Paman sedang sibuk menulis surat kecil. mereka berdua menanyakan keberadaan burung merpati. lalu menerbangkan nya..
“mereka sedang mengirim pesan , Tuang Putri… ” jelas seorang dayang yang dari tadi memperhatikan ku.
“pesan ke siapa?”
“pesan ke prajurit yang ada di Palembang untuk mengirimkan bantuan kapal.”
“memang nya bisa? burung merpati itu sampai Palembang?”
“tentu bisa ndoro.. ” kata dayang tersenyum.
penetahuan ku jauh sekali.. masih banyak yang aku tak tahu . aku harus banyak belajar lagi.
keesokan harinya, datanglah kapal dari Palembang untuk menjemput kami. dari kapal , turunlah seorang perempuan berpakaian bangsawan. ia berjalan menuju Swan Liong, mereka berbincang . taklama kemudian, perempuan itu menatapku tajam. ia berjalan ke arahku.
“belum sampai saja sudah menyusahkan.. bagaimana kalau sudah sampai nanti..? jangan pernah kau menyusahkan yang lainnya juga.” kata perempuan bangsawan itu.
aku terpaku ditempatku berdiri. terasa aku tak punya harga diri hidup disini. aku tak mau ikut ke Palembang.. aku menghentikan langkahku saat semua orang telah naik ke atas kapal. hanya ada aku dan dayang Tema yang menemaniku berdiri.
“kau kenapa belum naik Putri.. ayoo.. kita pulang ke Plaembang.. ” kata Swan Liong.
“tidak.. kalian saja yang pergi.. biarkan aku disini saja, aku betah tinggal disini. ”
Swan Liong turun dari kapal nya dan menghampiriku, ia mendekatkan wajah nya kearahku bahkan hidung kami pun bersentuhan. aku membuang wajahku.
“kenapa berubah padaku Putri? ayolah,.. perkataan wanita itu usah kau hiraukan.. ia memang slalu menakuti setiap wanita yang dikirim padaku.. ” kata Swan Liong meyakinkan.
aku tetap tidak berkata sedikitpun, tiba-tiba saja Swan Liong menggendongku dan membawaku berayun terbang ke atas kapal. aku berteriak dan memejamkan mata hingga akhirnya kakiku menyentuh kapal. aku teringat dengan dayang yang menemaniku tadi, saat ku toleh, ternyata ia sedang menaiki kapal.
“huh… untung tidak jatuh.. ”
Swan Liong memberikan senyuman nya padaku. aku bergidik ngeri pada nya.. wanita itu tetap saja menatapku seperti tidak suka, dengan tangan yang dilipan didepan dada. ia memberikan wajah masam nya padaku.
kapal mulai menuju ketengah laut, aku melihat ke arah pesisir, orang-orang masih berada di dermaga. aku melambaikan tangan ku, tanda terakhir aku melihat wajah-wajah itu. sedih sekali, tapi harus.. inilah takdir yang tertulis untukku. mereka semakin kecil, semakin kecil, lalu hilang.. yang terlihat hanya gelombang air laut yang semakin membesar.
Share this novel