Bagian #5

Drama Series 398

"Semua orang pernah melakukan kesalahan.
Tapi, tidak semuanya mau bertanggung jawab."
@.Vin

Vin menyunggingkan senyum. Hari ini, menarik sekali. Setelah lelah menjalani hadiah dari Ridho selama tiga hari terakhir, akhirnya ia bisa membalas. Sebuah kemenangan yang tertunda.

Bisa jadi, ketentuan Tuhan atas rencananya bukan kemarin-kemarin. Tapi, mungkin hari ini. Ia sudah siap. Untuk menebus kesalahannya pada gadis itu. Yah, meskipun tak bisa dipungkiri, dia pasti marah.
Bahkan, saat pertama bertemu dulu, ia enggan sekali mendengarnya, padahal ia sendiri yang menyuruh Vin bicara. Belum lagi, saat ia mengingkari janjinya untuk bertemu dengannya waktu itu. Ia pasti marah. Buktinya, ia belum mau keluar menemuinya.

Pria bermata sipit itu, mengeluarkan dua buah kertas. Berfikir, mungkin ini bisa membantu.

Suara orang berjalan menarik perhatiannya. Ia menoleh. Lagi-lagi tersenyum. Ada wanita yang masih lumayan muda mendekatinya.

"Maaf ya nak Vin harus menunggu lagi. Padahal sudah menunggu lama." Kata wanita itu.

"Tidak apa-apa tante, saya masih punya banyak waktu kok."

"Ngomong-ngomong, mau tante buatkan minuman lagi?"

Mata sipit itu mengalihkan pandangan. Tersenyum kaku, gelasnya sudah kosong. Bahkan sebelum ia menyadarinya. "Mm..tidak usah tan..."

"Tidak usah sungkan, masih butuh waktu yang lebih lama lagi menunggu anak gadis tante untuk melupakan kekesalannya."

Vin menelan ludah.

"Ayo berangkat!" Teriak seseorang di lantai dua yang otomatis membuat Vin dan wanita yang masih lumayan muda menoleh. Sekaligus heran dengan kedatangannya yang tiba-tiba.

Ini, sungguh keajaiban.

*****

Di tempat yang sama dalam kurun waktu setengah jam lebih lambat.

Sepasang mata elang terlihat sayu memandangi pintu sebuah rumah. Pelan tapi pasti, tangan pemilik mata itu memencet bel di sebelahnya. Satu gerakan yang cukup untuk membuat pemilik rumah keluar.

Seorang wanita yang masih lumayan muda menyambutnya.
"Lho, Dino. Shellanya tadi baru saja pergi sama Vin."

Dino melotot, tapi cepat bereaksi dengan keadaan. "Saya kesini cari tante kok. Tolong bilangkan ke Shella tan, besok ada pertandingan, jadi dia harus masuk." Ia memaksa senyumnya.

"Kenapa tidak langsung bicara ke Shella saja? Oh iya Dino, akhir-akhir ini tante jarang lihat kamu kesini, kalian ada masalah?"

Pria itu terdiam. Ia tidak mungkin mengatakan yang sebenarnya. Berfikir kuat, harusnya ada beberapa ide yang tiba-tiba muncul. Ia melihat sekeliling. Menangkap pemandangan dua anak yang membawa bola. "Jadi begini tan, sebenarnya saya dan Shella sedang dalam permainan. Yaitu, kami dilarang bertemu dan berbicara. Nah, siapa yang melanggar dahulu, berarti kalah. Jadi, jangan bilang kalau saya tadi kesini ya tan?" Dino memasang wajah memohon. Lagi-lagi pura-pura.

Ibu Shella tersenyum memaklumi keanehan anak didepannya." Aneh-aneh saja. Permainan kok malah menjauhkan persaudaraan. Kamu nggak masuk dulu?"

"Nggak ah tan, nanti saya tambah kalah dua kali." Jawabnya asal yang berhasil membuat keduanya tertawa kecil. Setelah itu, Dino pamit.

Dua anak kecil inspirasi Dino tadi, sedang bermain bola di lapangan. Berkumpul dengan kawan-kawannya yang lain. Kalau diingat-ingat, dulu ia sering memainkan permainan itu. Bahkan sebelum Shella datang. Hanya saja, setelah ia mengenal gadis itu, ia hampir setiap hari memainkannya. Bergadang sampai malam untuk melihat pertandingan. Entah berapa kali ia harus menerima jitakan gadis itu di kepalanya saat ia kepergok mengantuk. Lima hari ini, saat Shella menghindarinya, justru jitakan itu yang ia rindukan. Yah, meskipun ia sendiri tahu, semakin dewasa, rasa sakitnya semakin bertambah.

Priit! priit! Priit!

Seorang anak yang bertugas menjadi wasit meniup peluitnya. Melerai dua anak di kubu berlawanan yang sedang adu mulut. Tanpa basa-basi ia mengambil kertas origami di sakunya. Berwarna merah. Yang pada akhirnya membuat dua anak yang sedang adu mulut tadi, kompak beralih menyerangnya.

Dino tertawa, menjadikannya pertunjukan. Lantas, merenung kembali. Vin? Nama itu terngiang-ngiang dalam kepalanya. Siapa dia? Setahu dia, tidak ada yang berani mengajak Shella jalan-jalan kecuali dia. Seingatnya, ia pernah kenal Vinda saat ia SD. Tapi, Vindapun tidak berani mendekatin Shella.
Lalu siapa? Kevin. Dia anak cupu di kelas satu. Bisa babak belur kalau ia menyenggol Shella sekalipun.

Gadis itu sulit mempercayai orang lain. Kecuali orang lain itu sanggup menerima keganasannya. seperti Tiara. Itulah salah satu alasan kenapa Dino lebih memilih gadis lembut itu daripada gadis lain yang menyukainya. Itu pulalah alasan kenapa saat ia menembak Tiara, ia membawa Shella bersamanya. Agar dia bisa menerima Shella yang telah menjadi satu sisi dalam hidupnya. Hanya itu. Selebihnya, ia tidak tahu kalau serumit ini.

Mata elang mengerjap-ngerjap. Semua sudah terlanjur. Percuma saja menyesal. Sekarang saatnya ia mencari tahu, siapa nama di balik Vin itu.

*****

Di belahan dunia sebelah timur, petir menyambar dengan ganasnya. Menemani awan hitam yang bergelantungan. Berkawan dengan angin kencang di tengah hujan. Semua orang meringkuk didalam selimutnya masing-masing. Disana sedang malam hari. Tidak ada pilihan lain yang lebih bagus saat hujan di malam hari kecuali tidur.

Kecuali seorang pria berjas yang tengah berada di atas kursi ruangan khususnya. Baginya, Justru saat inilah saat yang tepat untuk bekerja.

Ia membenahi sebuah alat kecil di telinganya. Lantas, membawa mikrofon kecil di tangan. Mendekatkannya ke mulut. Berkata cepat, tanpa pengulangan. Satu kata saja cukup untuk membuat orang-orangnya mematuhinya. Mata sipitnya menjelajah. Menangkap satu sosok berjas sepertinya yang tengah berada di depannya. Sosok itu membawa seseorang yang penting.

Ia menatapnya tajam. Menyeringai. "Kerja bagus, penjarakan dia."

Seorang yang berjas itu mengangguk. Menarik orang yang dibawanya dengan paksa. Tapi, yang ditarik justru memilih untuk melawan. Membuat lengan jas labnya robek. "Aku bisa jelaskan!" Teriaknya.

"Aku berubah fikiran. Kita eksekusi dia besok." Kata orang itu cepat. Lantas, memilih memutar kursinya. Membelakangi. Salah sendiri melawan.

"Tunggu, ini tidak adil. San, kau harus menyuruh mereka berhenti. KAU GILA SAN. Kau tidak berhak membunuhku! Lepaskan aku! SAAN!" Teriaknya. Tapi tidak ada perubahan, seseorang berjas yang tadi membuat jasnya robek, malah menariknya semakin kuat. Dan ia tak sanggup bertahan lagi.

Ia terus meronta. Ia harus tetap hidup. Setidaknya meskipun bukan demi dirinya sendiri, ia harus tetap hidup demi teman;temannya yang telah berkorban untuknya. Damn! Kenapa otaknya yang jenius justru tidak bisa berfikir dalam waktu sepertu ini? Pasti ada satu hal yang bisa membuat orang serakah itu meleleh. Tapi apa?
Ia menelan ludah. Bersiap berteriak. "AKU BISA MENEMUKAN APA YANG KAU CARI!"

Suara petir tiba-tiba menggelegar. Membuat cahaya menyilaukan dalam beberapa saat. Hujan masih menghujam bumi dengan kejam. Mengguyur seluruh kota. Pria itu tersenyum. Mengangkat tangan kanannya. Dan pria berjas yang menarik orang tadi, melepaskannya. Beringsut meninggalkan ruangan.

San memutar kursi. Menatap pria berjas lab dihadapannya. Ada banyak permainan yang akan ia mainkan dengan pria berponi ini.

Sekarang adalah waktu yang tepat untuk memulainya.

Share this novel

Guest User
 


NovelPlus Premium

The best ads free experience