Bagian #4

Drama Series 398

Dino bergerak pelan menuju kelas Tiara. Sekarang jam 09.50, sebentar lagi jam masuk pelajaran. Seandainya saja ia sedikit saja punya keberanian, ia pasti sudah menyampaikannya sejak pagi tadi. Kebenarannya, ia terlalu takut. Bukan pada Tiara. Ia takut untuk menyakiti gadis terlembut yang pernah ia kenal dan kemungkinan besar menimbulkan airmatanya.

Namun, ini situasi yang berbeda. Dan Dino bertekat, hari ini semua harus terselesaikan.

10 langkah lagi, ia akan sampai.hanya saja dengan mengejutkan, bel terdengar. Dino mengumpat, bel itu mendahului dirinya. Bisa jadi, semua rencana di otaknya carut-marut hanya karena suara bising tersebut. Dino menoleh, mengamati sekeliling. Beruntung beberapa guru belum masuk ruangan. Termasuk ruang kelas Tiara.

Cowok bermata elang itu terlalu jeli dalam pengamatan, sampai ia tak sadar ia telah berada di beranda kelas itu. Bukan jarak 10 langkah yang ia jaga semenjak tadi. Ia sudah mendekat. Terpaku menatap pintu yang sebelumnya ingin ia masuki.

"Hey, kau mau apa disini? Aku tahu, mencari Tiara ya?" Seorang perempuan baru keluar kelas. Menyapa Dino sebentar, lebih tepatnya mengalihkan perhatian Dino. Setengah menggodanya tentang Tiara." Oke, sebentar aku panggilkan."

Dino melotot. Bukan, bukannya ia tidak mau bertemu dengan Tiara. Lebih tepatnya, pria itu belum siap. Tapi, mau tak mau perempuan tadi telah membawa gadis itu di belakangnya. Dan mau tak mau Dino harus bicara.

"Aku ingin bicara." Kata Dino sembari melirik Tiara yang ada didepannya. Pria itu memejamkan matanya sebentar. Tiara sama sekali tak melihatnya. Kebiasaan saat ua sedang marah kepada seseorang. Siapa? Tentu saja kepadanya. Ia tahu diri.

"Bicaralah." Jawab Tiara serak. Tetap enggan menatapnya.

"Tapi, jangan disini."

"Disini saja!"

"Eh, tidak apa-apa, aku bisa masuk kelas kok." Perempuan bersama Tiara salah tingkah. Hendak memutuskan pergi, dengan cekatan Tiara memefang pergelangan tangannya.

"Tidak uasah, kau tak harus pergi. Ana." Dan perempuan itu menurut.

Dino menelan luadah, menarik nafas dalam. "Aku......" Sebenarnya ia enggan, tapi ia sudah berjanji. Ia harus bicara."Aku minta maaf."

"Kau tak perlu meminta maaf."

"Aku minta maaf karena aku..."

"Aku tahu." Tiara memotong dengan cepat. Ia sudah tahu, teramat tahu dengan apa yang laki-laki didepannya ini katakan. Sedikitpun, ia tak mau mendengarnya.

Pria itu mendongakkan kepala. Ia tidak terkejut, selama ini, gadisnya pandai sekali menyimpulkan sesuatu. Tapi, masalah ini berbeda. Ia tak mau dia mengerti. Tapi, tak ada cara lain untuk mencegah. Dino mengamati wajah itu, menatap matanya. Tiara pasti tengah menahan amarahnya. Selalu seperti itu. Yang lebih buruk, kemarahan itu berasal dari Dino sendiri.

Mata elang itu memperhatikan lebih jauh. Mata gadisnya redup. Jujur, ia tak pernah melihat kedua benda gadis didepannya kehilangan cahayanya. Yah, tentu kecuali hari ini. Tampak sepercik air mengenang di pelupuknya. Oh Tuhan, bisa saja ia memberikan beribu alasan untuk membenarkan perilakunya hari ini. Tapi, bagaimanapun ceritanya, hati gadis itu terluka. Hati gadis baik itu tersayat. Oleh luka yang dibuatnya.

Semilir angin memainkan anak rambut. Mengulur suasana hening yang berlangsung lama.

"Kalau sudah tidak ada yang dibicarakan, aku pergi." Tiara berkata tegas, penguat hati. Sedang sang pria masih terpaku. Tapi tetap, ia tak bisa berbuat apa-apa. Pria itu mengangguk. Dan Tiara menghilang seketika. Meninggalkan wanita yang bersamanya tadi. Membiarkannya kebingungan. Apa yang terjadi? Apa Dino berbuat kesalahan? Atau malah Tiara? Ah, entahlah. Dia tidak tahu dan itu bukan urusannya. Tapi, ia sahabat Tiara, ia berhak tahu.

"Sebenarnya, kalian itu jadi pacaran nggak sich?"

****
Sepasang mata biru mengintai. Mengamati sebuah layar. Cukup menarik, sampai ia tak mau melepaskannya. "Sedikit lagi..yup" soraknya dalam hati sambil mengepalkan tangan. Ikut bersemangat. Ia membenahi rambut panjangnya yang semakin mengganggu. Berkonsentrasi kembali.

Lagi, lagi, dan lagi, rambutnya justru membuatnya tidak nyaman. Menyerah, kedua mata biru itu mulai mengganti pandangan. Sang gadis menoleh. Mengangkat tangan kepalnya ke kepala orang yang berada disampingnya. Satu jitakan yang cukup membuat orang itu mengaduh. "Enak saja memlintir rambut orang sembarangan."

"Aduh, sakit tau Shell." Jawabnya, sembari mengusap kepala yang baru saja terjitak.

"Salah sendiri ganggu orang yang lagi seru." Seru gadis itu. Lantas melanjutkan fokus ke layarnya.

"Habisnya, masa aku kesini malah di cuekin. Kebiasaan."

Lawan bicaranya tak merespon

Ia kesal. Menarik-narik rambut gadis itu kembali. "Dengarkan aku dulu!"

"Iya. Bicara saja, aku nggak budeg! Gak usah pake' narik-narik juga lagi!" Jawabnya ketus. Benci di ganggu. Tanpa perlu mengganti posisi.

Pria itu menghela nafas. "Satu bulan lagi, olimpiade di sekolah kita. Masih ingat kan?"

"Hmm."

"Aku masih belum menguasai jurus yang penyerangnya melawan dari belakang itu."

"Hmm."

"Lah, aku juga lupa namanya. Terus?"

"Terus gimana?"

"Terus ya, ajarin goblog." Jawabnya gemas.

"Apa kamu bilang?" Mata biru itu langsung menoleh. Menukik tajam. Berhenti mengintai dan langsung menembus mata elang sekalipun. Yang ditatap, justru meringkuk di belakang sofa. Membuat tameng perlindung diri.

"Dino, kemari! Sini kupraktekkan jurusnya!" Teriak Shella.

Mata elang pasrah. Jambulnya telah tertangkap. Ia hanya sanggup menggigit bibir. Mencoba menahan rasa sakit yang akan menempanya. Meskipun bercanda, Shella tak pernah main-main. Sebuah keajaiban ia bisa hidup sampai saat ini.

Gadis itu menyeringai. "Baiklah, karena moodku baik kali ini, kau kulepaskan." Ia tersenyum. Selalu menyenangkan menjaili temannya yang satu ini. Yah, mungkin satu-satunya. Ia kembali ke sofa. Kembali menatap layar yang tiba-tiba saja berubah. Ada tulisan besar sekali di sana. Hampir memenuhi layar. Game over. Setelah itu, tak ada alasan lagi baginya untuk tidak mengajari Dino mempraktekkan jurus itu.
Ia akan mengajarinya dengan baik.

Beberapa detik kemudian, ruangan itu berisik dengan pertengkaran dua anak kecil yang terperangkap dalam tubuh remaja.

Apa yang ia lakukan? Kenapa ia justru mengingat kejadian itu?
Bodoh! Ini tidak boleh terjadi lagi.

Tapi tunggu, pertandingannya satu bulan lagi? Jika dihitung dari waktu itu, maka hanya tersisa lima hari lagi. Beruntungnya, dalam waktu itu tidak akan ada pelajaran. Jadi ia tak haru tertinggal apapun. Toh, pekan olahraga kali ini akan di adakan di sekolahnya. Pasti semuanya akan sibuk latihan, sibuk mempersiapkan. Namun, bagaimana dengan latihannya sendiri? Pak tua itu, pasti sibuk mencarinya. Lagi pula, ia tak mau bertemu dengan wajah orang tak tau diri itu.

Ia sudah memutuskan, ia tidak akan sekolah untuk beberapa saat. Ibunya cukup mengerti dengan ucapannya yang bilang bahwa ia sakit. Toh, itu benar, ia memang sedang sakit hati kan?

Soal pertandingan, itu urusan akhir. Cuman, bagaimana kalau saja pak tua itu malah memberikan posisinya pada Dino?

Sial! Kenapa ia justru mengingat nama itu?

Share this novel

Guest User
 


NovelPlus Premium

The best ads free experience