Bagian #7

Drama Series 398

Apa yang akan kau lakukan? saat kau merasa bersalah kepada seseorang yang dekat denganmu dan ia tak memberimu kesempatan. Bahkan sekedar untuk menemuinya.

Apa yang akan kau jelaskan?
Saat orang-orang mulai bertanya tentang ketidakdekatanmu dengannya yang tiba-tiba.

Siapa yang akan kau benci?
Saat orang yang menghindarimu (karena kesalahanmu sendiri) justru sedang bersenang-senang dengan orang lain disana. Meninggalkanmu terpuruk sendirian.

Tidak ada.

Dino hanya terdiam.

Dan ia tak menyalahkan siapapun.

Kalaupun ada yang harus ia salahkan, mungkin dirinya sendiri.

Alasan yang pas untuk keterpurukannya.

Terpuruk sendirian.

Hanya sendiri.

Hanya Dino dan bayangan masa lalunya.

*****

Sebuah botol terlempar. Mendarat persis di depan kaki Dino. Seseorang bertubuh tinggi kurus yang sengaja menedangnya. Dino mengalihkan pandangan. Tidak peduli.

Pria tadi sedang kesal. Usahanya lari-larian siang ini percuma. Membuat kesal saja. Ia tak mendapatkan apapun. Kecuali yang ini. Ia melihat tangannya.

Dino yang tadinya pura-pura cuek, gagal. Saat ini ia malah memandangi penendang botol Tadi. Pria itu berwajah kusut. Seperti yang kalian ketahui, ia tinggi kurus. Tangannya panjang. Atau mungkin panjang tangan? Ia tidak tahu. Yang jelas, dia sedang mendekatinya. Duduk di sebelahnya.

Dino menggenggam erat tasnya. Ia tidak tahu mengapa harus demikian.

Pria tinggi kurus duduk di samping Dino. Dino hanya melihat. Pria tadi memijat tangannya. Dino hanya melihat. Pria itu melihat Dino. Dino malah memalingkan wajahnya.
"Kau barusan lihat apa?" Tanyanya setelah menyadari pria tampan di sebelahnya memperhatikannya. Ia ganti melototinya. Bisa saja orang ini ia jadikan mangsa sebagai pelampiasan kesialannya hari ini. Tapi, ia tidak berminat. Belum lagi mengetahui keadaannya kali ini.

Dino dengan wajah tanpa dosa melihat pria tinggi kurus sekali lagi. "Tulangmu jarimu patah."
Komentar singkatnya.

"Mana kutahu."

"Aku memberi tahumu." Dino menghela nafas. Begini-begini, ia dulu mantan anggota PMR. jadi, meskipun tidak aktif, sedikit-sedikit ia tahu. Lagi pula, dulu ia juga pernah mengalaminya.

Tas yang dibawa Dino ia singkirkan di sebelah kanannya. Saat ini ia terfokus pada pria asing. Ia mengambil alih tangannya.

"Eh setan, apa yang lo lakuin, enak saja pegang tangan orang sembarangan." Sewot pria tinggi kurus. Ia menarik tangannya kembali. Sakit. Teramat sakit saat digerakkan.

Dino tidak peduli. Ia mengeluarka sapu tangan dan pensil dari tasnya. Memotong keduanya menjadi tiga bagian.
Ia kembali menatap pria di sebelahnya.

"Apa?"

"Kemarikan tanganmu."

Pria tinggi kurus hanya melototi Dino. Mengucapkan sumpah serapah.

"Kau mau jari-jarimu menghilang karena nanti bisa saja kulitmu ikut terpotong."

Ia menelan ludah. Memberikan tangannya.

Dino memasang pensilnya di tiga jari pria itu. Lantas membebatnya dengan kain. Hal ini menyita banyak waktunya.

Di sela-sela penyitaan waktu pria itu tak bisa diam. Ia terus mengaduh. Tak bisa menahan sakitnya. Dan lagi, ia terus saja bercerita. "Lo mau tahu siapa yang ngelakuin ini ke gue?"

"Sebenarnya tidak." Komentar Dino dalam hati.

"Dia orang yang seumuran sama lo."

"Di pasti orang hebat."

Pria tadi menyeringai. Orang ini mengabaikan omingannya. Jadi, mungkin tidak masalah kalau ia menceritakan kejadian memalukan tadi. Toh, ia tidak mungkin bocor. Lagian kalau bocorpun, mereka tidak saling kenal. Ia sudah lama tidak punya orang didekatnya. Pria ini satu-satunya orang yang berbuat baik padanya setelah sekian lama. Yah, impas sich, ia memang selalu buat masalah dengan orang lain. Jadi itu wajar.

"Renggangkan jarimu, aku sedikit kesulitan."

Pria kurus tersadar. Ia mulai mengeluh lagi dengan rasa sakitnya. Marah-marah tidak jelas. Dan saat ia tenang ia akan bercerita lagi.

"Orang tadi cuma mengunci gue. Tapi, gue sama sekali nggak bisa ngelawan. Saat gue di dePan pacarnya, ia cuma meremas jari tangan gue. Dan lo lihat kan hasilnya? Mana bisa gue nglawan moster kayak gituan."

"Hanya di remas? Ini diluar dugaan. Bagaimana ia melakukannya?"

"Tapi di balik cowok yang kayak gitu. Ceweknya bego'. Masa tasnya ia taroh di jalan. Yah, jadinya gue ambil deh. Parahnya, saat gue ambil, tuh cewek cuma diem aja. Gimana gak bego' juga."

"Rasa-rasanya seperti Shella. Kalau dia tahu hal seperti itu dianggap bodoh, apa yang terjadi ya..tidak akan ada yang selamat." Dino menyeringai. Mengingat kejadian yang sama 10 tahun yang lalu. Tapi tunggu. Shella? Dino memasang ekspresi terkejut tiba-tiba. Yang membuat pria tadi terperanjat.

"Kenapa? Lo nggk akan berubah pikiran karena gue perampok kan?"

"Cewek yang tadi di ceritakan. Bagaimana ciri-cirinya?"

"Tinggi, tomboy, rambutnya sebahu."

"Ada lagi?"

"Tampangnya nyebelin dan matanya selalu melotot."

"Tidak salah lagi!" Dino mengambil tasnya cepat. Bergegas. Ia tidak peduli dengan bis yang ia tunggu sedari tadi. Satu taxi mendekat langsung ia berhentikan. Beralih tujuan.

Ia tidak peduli jika nanti gurunya mencarinya.
Ia tidak peduli harga taxi yang mahal.
Ia tidak peduli.

Bahkan ia tega meninggalkan pasiennya sebelum pengobatannya selesai.
Lagi pula, ia tidak menguasai tekhnik itu. Ia pernah membaca di sebuah artikel. Materinya dulu. Ini kali pertama ia mempraktekannya. Pada pasien pertamanya. Yang seorang perampok tadi.

Pantas jika ia selalu mengaduh kesakitan.

Sekali lagi, Dino tidak peduli.

*****
Keramaian lagi-lagi mereka temui. Tentu saja tidak, itu memang di sengaja. Suara-suara bising percakapan ratusan orang terdengar pekat di telinga. Tapi, tak satupun dapat tertangkap. Orang-orang hanya sibuk dengan urusan masing-masing. Beralih-alih tempat sesuai yang mereka inginkan. Ada banyak lokasi yang menarik, jadi tidak salah jika disini di tempat ini banyak orang bersliweran. Dengan kelompoknya sendiri-sendiri dengan percakapan masing-masing.

Toh, di mall bebas. Semua orang bisa memasukinya. Asal tidak berbuat masalah.

Termasuk dua pasangan aneh kita hari ini.

Mereka kebisingan di tempat seperti ini. Alasannya, tentu saja karena mereka tak melakukannya. Maksudku, setelah kejadian di pasar tadi, tidak ada percakapan apapun diantara mereka berdua.

Saat ini dua orang yang saling merasa asing tengah berada di depan pintu masuk bioskop. Vin mengeluarkan karcisnya. Memberikannya pada penjaga. Syarat yang harus ia penuhi agar bisa masuk keruangan penuh kursi itu. Sesingkat itu. Tak ada yang menarik yang bisa diceritakan lebih lanjut.

Si Shella justru masih tetap kesal. Dan tambah kesal lagi karena saat ini ia di suruh duduk di bangku pertama. Kursi yang paling dekat dengan layar. Moodnya kembali buruk. Apa yang ada di fikiran pria gila ini? Ia menyuruhnya untuk terus mendongak saat film di mulai? Ini tidak benar! Awas saja kalau ia beralasan mendongakkan kepala adalah salah satu olahraga. Jika memang demikian, maka dengan senang hati Shella akan menyuruhnya mendongak selamanya.

Vin menatap tajam kedepan. Film sudah tayang tepat didepan matanya.

Selanjutnya, semua pengunjung hanya tertuju pada arah yang sama. Dengan ekspresi yang tak jauh berbeda.

Sudah kubilang tidak ada yang menarik. Mereka hanya menonton film. Sibuk dengan cerita lain di tengah-tengah cerita ini. Apalagi mereka berdua tak berkata-kata apapun. Tidak menarik bukan?

Share this novel

Guest User
 


NovelPlus Premium

The best ads free experience