Bagian #6

Drama Series 398

Apa-apaan ini? Kenapa ada kresek merah besar di tangannya? Berisi sayuran dan rempah-rempah? Lalu, kenapa ia justru mendengar semua orang berteriak di telinganya? Tidak, ini pasti mimpi buruk. Ia harus cepat bangun.

"Hey, ayo kita pergi kesana. Aku masih butuh wortel." Kata seseorang didepannya. Ia ternganga. Pria tadi memakai jaket hoodie. Bertopi dan memakai masker. Mungkin mimpinya kali ini, ia sedang di culik. Tidak heran jika keadaannya memilukan.

Pria itu mencubit pipi gadis didepannya. Membuatnya mengaduh kesakitan. Tanpa peduli dengan omelannya, ia langsung menariknya menuju penjual wortel.

Gadis itu cemberut. Melepaskan diri dari cengkramannya. "Tunggu-tunggu, ini maksutnya apa?"

"Kan sudah ku bilang, waktu kita untuk menunggu filmnya mulai adalah dua jam. Jadi ..."

"Jadi, kamu nyuruh aku pergi ke pasar dan bawain belanjaanmu kayak pembantu gitu?"

"Bukan itu maksud aku?"

"Terus apa? Apa maksud kamu pakai masker kaya gini? Niat banget ya kayaknya lo mau malu-maluin gue." Sewot Shella. Lantas, melepaskan kresek besar dan tas di kedua tangannya.

"Shella, bukan seperti itu maksudku." Ucap Vin memelas.

"Cukup. Aku pergi" lanjut Shella. Tapi, pria itu malah menggenggam pergelangan tangannya. Menahan.

"Kalau kau tidak mau membawa barang-barang dan tidak mau aku berpakaian seperti ini, bilang saja. Aku bisa membawanya. Tapi, tentang pakaianku aku bisa jelaskan nanti. Tidak perlu marah-marah bukan?" Vin menghela nafas. Tidak seperti biasanya ia sesabar ini. Membungkuk sedikit mengambil kresek merah besar yang tergeletak di tanah. Salah satu tangannya menggandeng Shella. Melanjutkan perjalanan.

"Tunggu." Kata Shella tiba-tiba. Vin menoleh, menatapnya. Apa lagi? Kata isyarat tatapan mata sipit itu. Masih dengan wajah datarnya, Shella melanjutkan. "Tasku di copet."

Sebuah keajaiban, mata sipit itu terbelalak. "Apa?"

*****
Kaki Vin dipaksa untuk terus berlari. Terlalu banyak orang yang berlalu lalang. Menghalangi jalannya. Ia harus meminta maaf berkali-kali saat ada orang yang tersenggol bahkan tadi, ia hampir saja menjatuhkan bapak-bapak yang membawa bakul di atas kepala. Untung ia sigap memeganginya. Sama seperti saat di lapangan. Ternyata selain menarik, futtsal berguna juga untuk yang beginian.

Pencopet itu tidak terlihat. Bagamana ini? Ia tidak tahu harus pergi ke arah mana. Terlalu banyak gang. Kalau saja gadis gila itu langsung menyelamatkan tasnya, mungkin ini tidak akan terjadi. Ia berteriak saja waktu itu sudah cukup. Hingga Vin bisa langsung menghajarnya di tempat. Tapi ia malah diam saja. Membuat celah yang lebar untuk membiarkan pencopet pergi. Ia benar-benar gila.

Belum lagi, saat ia justru menyusahkannya, malah Vin yang disalahkan? Yang benar saja. Gadis itu malah dengan santainya menyuruh Vin untuk membawa kembali tasnya. Apa-apaan. Seumur hidup, memang tugas seorang laki-laki untuk melindungi wanita di sampingnya. Tapi untuk wanita yang justru membahayakan diri sendiri, apakah itu pantas?

Vin melepas hoodienya. Menyisakan kaos pendek yang ia kenakan tadi saat di rumah Shella. Maskernya ia buang entah kemana. Ia berjalan santai, berhenti berlari. Membuat lelah saja.

Arah matanya menjelajah. Kakinya menapak, berjalan menuju salah satu belokan gang. Tersenyum lebar, ini yang ia sebut insting. Dan benar saja, tas Shella tergeletak di tempat penampungan sampah di belakang pasar.

Tangan kanannya tergerak memungutnya. Lantas, beranjak pergi.

*****

"Kosong. Kau sembunyikan dimana isinya?" Sewot Shella sambil mengecek isi tasnya. Ia menatap tajam laki-laki di sebelahnya. Yang ditatap dengan santainya memainkan ponsel. Sial! Ia juga kehilangan ponselnya.

"Tenang saja, sebentar lagi barangmu datang." Vin memperhatikan sekeliling. Malas berdebat dengan Shella lagi. Malas pula menjelaskan. Ujung-ujungnya, ia yang susah. Gadis satu ini, sama seperti orang itu. Maunya menang sendiri. Jadi, lebih baik diam dan melakukan apa yang seharusnya dilakukan. Yah, meskipun Shella tidak berbahaya, ia cukup baik untuk membuat moodnya buruk.

Ia memeriksa jarum jam di tangannya. Sepertinya, setengah jam cukup. Lantas berdiri, berjalan ke suatu arah. Mata kecilnya masih terus menjelajahi sekitar. Sampai ada sesuatu yang berhasil membuatnya terfokus. Ia mulai mendekati sasaran. Meninggalkan Shella yang ngambek tak henti-henti.

Vin kembali masuk ke dalam pasar. Sengaja menabrak seseorang. Lantas mengunci tangannya. "Diam, dan ikuti aku."

Orang itu terdiam. Ia sama sekali tak bisa meronta. Kondisinya buruk, jadi lebih baik menurut.

Vin kali ini hanya menggandeng tangan pria asing tadi, membawanya ke hadapan Shella. Ia tersenyum. "Kau bisa kembalikan barangnya?"

Ia meringis, menahan sakit di tangannya. Orang yang membawanya tadi, menggenggamnya terlalu kuat. "Ini." Katanya singkat. Memberikan barang yang ia ambil tadi ke pemiliknya.

Shella terbelalak. Terdiam sebentar, lantas mengangguk. Ia tahu siapa orang ini, jadi tak perlu berterima kasih.

Lagi-lagi, Vin tersenyum. "Terima kasih." Katanya sembari menepuk pundak pria tadi. Membiarkannya pergi.

Pandangannya justru mengarah pada gadis di hadapannya. Ia kira, Shella akan memercokinya dengan pertanyaan beruntun. Ia hanya diam. Sebuah ulasan yang cukup bahwa gadis ini berbeda.

Vin masih memandanginya.

Menyadari hal itu, Shella berkata lirih. "Aku tidak akan bertanya. Jadi, bukankah sebaiknya kita pergi sekarang?"
Kata-kata yang berhasil membuat Vin tersenyum lebar. Masih dengan memandangi gadis dihadapannya. Shella menyadarinya lagi. Ia berdiri dari duduknya. "Ku harap, kita tidak menggunakan angkot lagi. Itu sangat tidak nyaman." Gadis berambut sebahu itu menggerakkan kepalanya kekanan dan ke kiri. Mempraktekkan keadaan dimana kau merasa nyeri di otot pinggangmu. Rasa tidak nyaman. Gerakan yang cukup untuk membuat Vin merasa bersalah.

Dan benar saja, kali ini Vin mempertimbangkannya.

Shella berjalan pelan mendekati pria yang mematung di hadapannya. Aneh, hampir seharian ia bersama orang ini. Dan ia masih menyebutnya orang ini? Ia berdehem sebentar. Menepuk pundaknya.
"Oh iya, sebelum ini berlanjut, boleh aku tahu siapa namamu?"

"Sebenarnya tidak."

Shella mengernyitkan dahi.

"Tapi kalau kau ingin memanggilku, panggil saja Vin."

"Hanya Vin?"

Vin mengangguk. Yah, cukup itu saja. Hanya Vin.

Share this novel

Guest User
 


NovelPlus Premium

The best ads free experience