Bagian #9

Drama Series 398

Halaman sekolah masih tetap ramai. Pukul 07:36, pekan olah raga akan di mulai. Sekitar 24 menit lagi. Ada banyak sekali yang harus di persiapkan. Mulai dari ring, bola, administrasi, lapangan, mastar, mick, bahkan rumput yang nantinya akan di injak sekalipun. Tidak mengherankan jika banyak orang yang mondar-mandir. Hingga, kejadian saat Shella menarik tangan Vin sampai di koridor sekolah tak terlihat mencolok.

Lagi-lagi Shella benci harus menahan amarahnya. Ia hanya sanggup menjitak dan menjitaki pria sial ini. Sebenarnya ia ingin sekali memukulinya, menendangnya jauh-jauh. Sayangnya, ia tahu diri. Ini bukan tempat dan waktu yang pas. Nanti saja. Ya, nanti saja di suasana yang lebih nyaman.

Lagi-lagi Vin mengaduh kesakitan. Satu, karena ia merasa harga dirinya terinjak-injak sebagai laki-laki yang di lakukan tidak senonoh oleh seorang gadis. Dua, karena memang sakit sekali. Seakan-akan Shella punya kekuatan yang berlebihan. Vin mulai mengamati Shella. Ia memakai baju dan celana putih. Rambut sebahunya ia kuncir sedemikian rupa. Menambah kesan menyebalkan. Matanya terus melotot. Atau mungkin, ia memang memiliki mata biru yang besar. Tunggu, sabuk hitam? Vin menelan ludah.
Selama ini ia berurusan dengan moster.

Shella masih tetap bersemangat menjitakinya. Terkadang Vin masih bisa menghindar. Tapi, lebih sering tidak. Dalam futsalnya ia dilarang menghindari bola. Ini yang membuatnya rumit. Tapi, ia terbiasa menangkap. Dan hap, ia berhasil menangkap kedua tangan Shella.

Shella hampir saja berontak. Sampai seseorang menyapa mereka berdua. "Hay Vin?" Orang itu tersenyum. "Kau harus bersiap, setelah upacara nanti, kita akan bertanding."

Vin terdiam. Menggangguk lemah.

"Oh ya, siapa dia?" Orang yang baru tiba mengerutkan dahi. Ia penasaran, sudah kewajibannya mengetahui semua yang berada dalam pengawasannya. Termasuk Vin.

"Dia... dia sepupuku." Vin ikut tersenyum. Melingkarkan tangannya ke leher Shella tiba-tiba.

Shella hanya bersedekap. Tak berekspresi.

"Aku baru tahu kau punya saudara di daerah ini."

"Tentu saja, aku juga baru mengetahuinya hari ini. Tanteku juga baru tahu bahwa aku ternyata bersekolah di tempat tinggal barunya. Jadi, yah kau tahu sendiri bukan?"

Orang tadi berfikir sejenak. Mengangguk. "Oh, tentu saja."
Ia tersenyum kembali. "Bisa aku menyapanya?"

"Tentu, silahkan." Vin tersenyum kecut. Beringsut menarik tangannya. Menatap Shella serius. Gadis itu hanya memandang kosong. Pandangan yang sama, saat pertama kali Vin menemuinya. Sepertinya actingnya kali ini tidak akan berhasil. Ia akan menyusun rencana B secepatnya.

Diluar dugaan, Shella mengulurkan tangan.

Pria tadi tersenyum. Merapatkan kedua telapak tangannya di depan dada. "Ridho." Ia lagi-lagi tersenyum. Melanjutkan. "Maaf, tapi sepertinya beginilah cara kami bersalaman ataupun berkenalan dengan wanita yang tidak sedarah dengan kami."

Shella mengangguk. Menarik kembali tangannya. "Lala."

"Lala? Seperti nama salah satu tokoh di teletubbis ya? Namamu cocok. Kau sama imutnya dengan dia." Ridho tersenyum. Lantas menatap Vin yang saat ini menunduk. Ia menunggu respon dari Lala yang baru dikenalnya. Tapi sepertinya, gadis itu hanya diam. "Baiklah, selamat bertanding Lala? Kau ikut silat? Itu mengagumkan."

Shella mengangguk. Itu lebih baik daripada terus-terusan melihat orang gila satu lagi ini tersenyum. Vin, orang gila yang satunya, sepertinya tidak berniat mengusirnya.

Ridho menatap Vin. "Oh iya Vin. Aku duluan. Kau ku tunggu nanti di lapangan oke?"

"Baiklah." Vin mengangguk. Tersenyum bangga sampai ia melihat Ridho berbelok di persimpangan. Senyumnya yang ia anggap manis itu membuat jangkauan penglihatan mata sipitnya mengecil. Sampai ia tak sadar satu bogem mentah melesat ke arah hidungnya.

Ini mungkin bukan waktu dan tempat yang pas. Tapi, Shella menginginkannya. Dan ia harus dapatkan itu.

*****
"VIN KONSENTRASI!"

"Baiklah baiklah. Ini tidak akan terjadi lagi. Aku hanya khilaf."

"Awas saja kalau kau main-main!"

Pria berkulit coklat itu hanya tersenyum kecut. Menghela nafas. Ayolah, ia baru saja membuat kesalahan sekali. Kenapa harus diributkan. Lagi pula ini hanya ketidak sengajaan. Vin terkecoh dengan permen karet yang tiba-tiba berada di sepatunya. Ia hanya membersihkannya sebentar. Mana tahu, kalau tiba-tiba ada bola melewati garis jaganya. Ia menepuk-nepuk sapu tangannya. Fase membersihkan. Membuka kaki lebar-lebar. Bersiap.

Beberapa meter dari tempat Vin. Sebuah bola di oper. Pertandingan dimulai kembali. Skor sementara 3-1. Kelompok Vin masih unggul.

Tapi tetap saja ia yang terkena dengungan-dengungan Ridho. Bukankah seharusnya Ridho menyalahkan dirinya sendiri karena tidak bisa merebut bola dari tim lawan. Kenapa justru ia yang terus disalahkan? Belum lagi, sejak kapan teman-temannya malah mengikuti Ridho menyalahkannya? Vin tidak merasa bersalah. Ketidaksengajaan bukan? Itu hanya nasib sial, bukan kesalahan.

Vin mulai bosan. 15 menit setelah bola dioper tadi, ia tidak melakukan apapun. Benda bulat yang seharusnya ia tangkap, tak mau mendekatinya. Bola yang harusnya ia tangkap hanya bergulir kesana kemari. Maju, mundur, samping, kanan, kiri , dan keluar garis. Sepertinya setelah gol pertama tim lawan, membuat mereka lebih bersemangat. Masih 25 menit lagi sebelum pertandingan usai. Dan tim lawan ingin mengungguli skor mereka.

Bola itu malah semakin menjauh dari pandangannya. Dan Vin memutuskan untuk tidak memandanginya lagi. Ia menyusuri tempat ini. Ini SMA yang hebat. Mereka punya stadion sendiri. Meski tidak sebesar stadion di kota. Tapi, tetap saja untuk sebuah sekolah menengah, ini pencapaian yang luar biasa. Mata sipit Vin menyelusuri tempat penonton. Penonton pria yang anarkis. Dan penonton wanita yang sama anarkisnya. Titik fokusnya mulai menajam. Satu sosok orang terekam dalam lingkaran matanya. Seperti biasa, orang yang terlihat menyebalkan. Vin melambaikan tangan. Menyapa Shella. Tersenyum bangga di tengah-tengah pertandingan.

Dan.......

GOOL!

****

Share this novel

Guest User
 


NovelPlus Premium

The best ads free experience