Bagian #3

Drama Series 398

Seperti biasa, pagi menepati janjinya. Tidak peduli orang-orang menantinya atau justru membencinya. Ia tetap datang. Membawa suasana baru.

Pagi ini, sama indahnya dengan pagi-pagi kemarin. Tapi bagi Dino, ini berbeda. Sesuatu mengusik hatinya. Harusnya ia bahagia bukan? Lalu, menuggu hari esok dengan sandangan status baru. Namun, Dino mengharapkan pagi ini dan pagi-pagi seterusnya tidak pernah hadir dalam hidupnya. Ia resah. Tentang Tiara? Entahlah. Tentang perasaannya? Entahlah. Tentang Shella? Entahlah. Tapi, mungkin semua itulah penyebabnya.

Dino melangkah berat ke ruang kelasnya. Melangkah masuk perlahan. Ruangan ini rumah keduanya. Meski kadang banyak kejadian menyebalkan, tetap saja ia sudah terlalu kerasan di tempat ini. Hanya saja, hari ini pria bermata elang itu merasa asing. Berat sekali rasanya untuk memasukinya. Ia ingin kembali. Tapi untuk apa? Ah, pria itu mendesah. Sekali lagi memaksakan diri melangkah cepat. Mendekati bangku. Ia tersentak, reflek melihat jam tangan.

07:30

Tentu saja ia merasa asing, ada yang kurang. "Orang itu, kemana dia? Shella, ia tidak masuk?" Gumamnya. Bersamaan dengan itu, beribu pertanyaan tiba-tiba menghujamnya.

Apakah Shella menunggunya menjemput? Tapi biasanya, saat Dino berangkat siang, ia akan meninggalkannya begitu saja. Atau mungkin gadis itu sakit? Karena hujan. Bukankah ia kemari tidak mengantarnya pulang dan malah membiarkannya kehujanan. Atau ia...tidak, tidak mungkin

Lelaki tinggi itu memejamkan mata. Takut dengan kemungkinan yang ia buat sendiri. Yang ia tahu pasti hanya satu, Shella mencintainya. Sejak kapan? Ia tidak tahu. Tapi, bagaimana mungkin ia tak pernah menangkap usyarat itu dari Shella? Dino menghembuskan nafas kembali. Bodoh! Harusnya ia tahu dari dulu. Bodohnya lagi, ia mulai terperangkap degan sosok gadis itu. Ia mulai terkurung dalam rasa yang selama ini tidak pernah ia sadari dari Shella.

Tiara harus tahu, segera. Harus! Semenyakitkan apapun hal ini.

*****

All alone I watch you watch her
Like she's the only girl you've ever seen
You don't care you never did
You don't give a damn about me

Yeah all alone I watch you watch her
She's the only thing you've ever seen
How is it you never notice
That you are slowly killing me

Lirik lagu Olivia O' Brien and Gnash mengalun indah di telinga Shella. Ia membenahi earphonenya. Mengusap-usap layar genggam yang ia bawa. Mengeklik sebuah tombol yang lagi-lagi ia ulangi. Entah berapa kali ia mendengarkan lagu itu, ia tidak tahu. Bahkan ia tidak sadar kalau sudah berjam-jam ia tak beranjak dari tempatnya.

Ia memandang kosong pada aliran sungai didepannya. Melempar batu seperti kemarin, mungkin lebih menyenangkan. Tapi, orang itu bilang jangan sia-siakan tenagamu untuk seseorang yang tak pernah menghargainya. Jadi, mungkin tidak perlu. Apalagi yang ia bilang, terlalu banyak. Sampai ia tak sanggup menyimpannya.
Gadis itu menggigit bibir. Bodoh! Untuk apa harus menemui orang itu lagi, bukankah jelas-jelas kemarin orang itu malah menyalahkannya. Bilang bahwa ia egoislah, keras kepala, dan justru menyuruhnya untuk meminta maaf? Enak saja.

"Tidak semua hal yang kau impikan akan terwujud. Kau harus bersiap untuk itu."
Aaargh! Erangnya. Kenapa justru kata-kata itu yang muncul? Menyebalkan.

Gadis berambut sebahu mengusap peluh. Mengaduh kepanasan. Saat itulah ia menyadari, bahwa matahari telah meninggi. Sial! Ia sudah menunggu lama sekali, dan orang itu tidak datang? Berani sekali ia mengingkari janjinya. Tahu begini, harusnya kemarin ia sudah menyumpal mulut orang itu. Menenggelamkannya ke sungai. Tunggu saja nanti kalau ia bertemu pria itu lagi.

*****

"Mau kemana Vin?"

"Oh hay.... aku...mau keluar sebentar mengambil barangku yang tertinggal kemarin. Selamat tinggal."

Memegang tangan vin. "Kau belum lupa kan, dengan hukumanmu?"

"Sial! Bagaimana ia bisa tahu?"

"Ayo, kembali ke kelas."ajaknya, menarik tangan seseorang yang ia panggil vin.

Sedangkan tangan yang ditarik malah mencoba menahan diri. Berfikir "Hari ini, aku punya inisiatif mentraktirmu. Bagaimana?"

"Tidak usah repot-repot, kau bisa mentraktir Ridho nanti."

Vin menghela nafas, ia gagal. Percuma saja hari ini ia mengeluarkan dompetnya untuk menyumpal mulut teman-teman sekelas. Orang ini, hanya tahu kebenaran saja. Tanpa tahu alasan dibalik semua itu.

Ia menghela nafas sekali lagi, mungkin ia rugi dalam hal administrasi, tapi setidaknya akankah ia harus dibilang pengkhianat hanya karena seseorang yang bahkan tidak mau mendengarkannya. Mungkin benar tidak semua yang kita rencanakan akan berjalan dengan sempurna. Bukankah semuanya tetap Tuhan yang menentukan? Tapi, rasanya egois sekali kalau menyalahkan Tuhan saat ia menyerah secepat ini. Ia tidak akan mengingkari janjinya. Itu yang ia tahu.

Pria bermata sipit bernama vin bersiap. Menepis tangan orang yang memegangnya. Lari seribu langkah.

Orang yang memegangnya terkejut. Cepat menyadari situasi. Ikut mengejar Vin. Meneriakinya untuk kembali.

Tapi, apa peduli. Telinganya tuli tiba-tiba. Hanya mata sipitnya yang melototi satu benda. Fikirannya tertuju pada satu tujuan. Ia harus pergi. Dan terakhir tinggal sekitar sepuluh langkah lagi ia akan sampai pada pintu besar itu. Batasan antara kekangan dan kebebasannya.

Ya, tinggal sepuluh langkah lagi. Seandainya saja ia bisa melewatinya. Ia terhenti tiba-tiba.

"Apa yang kau lakukan Vin?"
Kata-kata itu mungkin terdengar ramah di telinga. Hanya saja, bagi Vin semua Tergantung siapa yang mengucapkannya.

Vin mengepalkan kedua tangannya. Ia benci orang yang tiba-tiba muncul di hadapannya ini.

Ia benci Ridho.

Share this novel

Guest User
 


NovelPlus Premium

The best ads free experience