Bagian #2

Drama Series 398

Beberapa menit kemudian, hening. Menyisakan dua buah batu yang terlempar bersamaan. Cahaya matahari senja mulai tampak. Menerpa pepohonan. Sejak dua menit yang lalu, hujan terhenti. Menyiakan air sungai yang semakin deras. Mendendangkan orkestra katak yang semakin bertalu-talu. Menyisakan rintik-rintik hujan kecil. Yang meskipun tiak terlalu deras, tetapi tetap saja membuat rambut kebas.

Plug!

Plug!

"Yes!" Seseorang itu mebgepalkan tangan. Seakan-akan sehabis menang dari undian bergengsi. "Lihat, batuku lebih jauh daripada milikmu." Ia merilik Shella. Padahal, sejak kapan mereka berlomba?

Sedangkan yang dilirik, tetap sama. Tak bergeming. Melempar batu berikutnya. Yang entah sadar atau tidak, melesat lebih jauh menandingi lemparan pria itu.

Pria itu menyeringai, menatap takjub gadis di sebelahnya. Gadis itu perempuan. Ah, tentu saja ia tahu itu. Tapi ia memakai rompi dan bercelana jeans. Rambutnya tergerai, sepanjang bahu. Tatapannya kosong, tak berekspresi. Jika dilihat lebih jauh, sepertinya ia tipikal orang yang menyebalkan. Meski tipikal cewek tomboy ia cenderung cengeng. "Yah, meskipun tak menghilangkan kesan judesnya juga". Pria itu menggeleng-nggelengkan kepala. Tidak, ia tidak boleh berburuk sangka kepada orang lain. Apalagi, orang yang baru saja ia kenal.

Kenal? Ia menyeringai. Mereka bahkan belum terlibat percakapan apapun. Gadis ini malah, belum tentu ia melihat wajahnya. Satu-satunya alasan mengapa ia mendekat, hanyalah ia kira gadis ini orang itu. Saking gembiranya ia bahkan tak bisa membedakan penampilannya. Yang tanpa difikirpun, semua akan berkata tidak mungkin. Tapi apa peduli, pria itu hanya merasa wajah gadis itu mirip. Apalagi ekspresinya saat marah, sama persis. Sedangkan yang lain, ia tak tahu dan tak mau tahu.
Sayangnya, selama ini yang dikatakan pepatah benar, berfikir sebelum bertindak. Alhasil, setelah bersusah payah mencari batu, ia salah orang.

"Sebenarnya, apa yang terjadi?" Tanya pria itu. Setelah menimbang-nimbang keadaan. Dari pada ia pergi, mengakui bahwa ia salah orang, lebih baik ia mengamnil inisiatif lain bukan? Menjadi teman curhat mungkin, daripada di tuding mengganggu orang yang sedang kesal.

Pria tadi masih menunggu. Benar-benar tidak ada jawaban. Ia kembali berfikir? Haruskah ia pergi? Tidak, sudah terlanjur masuk air. Dan sepertinya ia harus basah atau berenang sekalian.

"Biar kutebak. Kau kehilangan seseorang?"

Shella diam. Tapi, ia berhenti melempar batu.

"Atau kau mencintai seseorang dan orang itu mengacuhkanmu?
"Atau kau menyukai seseorang dan orang itu justru membencimu?"
"Atau kau mencintai seseorang dan orang itu diambil orang lain?"
"Atau kau mencintai orang lain dan orang ituu...."

"BARU SAJA MENDAPAT PACAR BARU DAN MENJADIKANKU SAKSINYA! PUAS!" Teriak Shella. Lantas berbalik meninggalkan sungai dan pria tidak jelas itu.

Pria itu menggaruk belakang kepalanya. " Itu terdengar menyakitkan." Ia berbalik, melihat kepergian Shella. Apa ia marah padanya? Mungkin, tapi sepertinya iya. "Yah hidup memang seperti itu, tidak semua yang kau harapkan akan kau miliki. Dan saat itu terjadi, kau hanya harus bersiap."

Shella terhenti. "Aku sudah memilikinya, dianya saja yang bodoh malah jatuh cinta pada orang lain. Tidak tahu diri, harusnya ia bisa mengerti perasaanku bukan?"

"Kau sudah mengungkapkan perasaanmu?"

"Untuk apa? Harusnya ia peka."

"Salah sendiri, sudah tahu ia bodoh, kau malah menyuruhya menebak perasaanmu." Jawab pria itu santai.

Shella geram. Ia melempar pria itu dengan batu. Pria itu mengaduh. Batu tadi telak mengenai kepalanya. "Apa salahku?"

Gadis itu, justru mulai mengambil batu kembali. Melemparinya bertubi-tubi. Kesal, sang pria berlari kearahnya. Memegang kedua tangannya erat. Berteriak "HENTIKAN! Berhenti oke?"

Gadis itu mematung kembali.

"Baiklah, maaf aku salah. Maaf juga aku telah menghina temanmu itu, maaf juga aku tadi menyalahkanmu. Maaf aku juga mengganggu waktumu tadi." Pria itu menunggu jawaban Shella. Tapi percuma, sepertinya ia tetap tidak mau berkata apa-apa. Ia menghela nafas. "Baiklah, aku pergi." Ia berbalik. Mulai melangkah pergi.

Baru saja ia melangkah, terdengar isakan kecil. Gadis itu menangis. Tangisannya terdengar lebih dekat. Dengan sedikit tertatih Shella mendekati pria yang tak ia kenal. Memegang tangannya erat. Menahannya. Berkata lirih "Jangan pergi, aku masih membutuhkanmu."

Gerimis terhenti. Tergantikan dengan tetesan air mata di salah satu anak manusia sore ini.

Share this novel

Guest User
 


NovelPlus Premium

The best ads free experience