Sikap Aneh Suamiku

Drama Series 1943

Seminggu kemudian..

Subuh ini aku sengaja bangun lebih awal, walaupun aku tengah datang tamu. Aku berniat akan menyiapkan sarapan pagi untuk suami dan anak-anakku. Ya, sudah seminggu lamanya wanita yang bernama Reza itu memasak setiap harinya. Bukan karena aku yang menyuruh, tapi dia yang berinisiatif untuk memasak, katanya hitung-hitung meringankan pekerjaanku. Jujur saja, sejak Mas Nando memuji wanita itu membuat aku sakit hati dan cemburu, rasa itu masih berbekas hingga sekarang. Namun, aku berusaha untuk menghilangkan rasa itu.

‘’Apa masak dulu ya? Setelah masak baru mandi dan berhias untuk suamiku. Hitung-hitung nyenangin suami. Supaya dia jangan melirik ke wanita lain.’’

Kulirik ke samping, Paksu tengah terlelap.

‘’Kebiasaan deh. Kalo nggak dibangunin nggak solat,’’ keluhku.

‘’Mas, bangun dulu solat,’’ kataku sambil menepuk pelan pipinya.

‘’Hhmm.’’ Dia malah menyahut pake hidungnya, membuat aku kesal saja.

‘’Mas. Nggak baik meninggalkan solat,’’ kesalku. 

‘’Iya iya. Bawel sih kamu,’’ ketus Mas Nando sambil mengusap pelan bola matanya.

Membuat aku menghela napas berat lalu menggeleng. Suamiku itu susah sekali jika dibangunkan untuk solat subuh. Bagaimana mau jadi imam yang baik untuk aku dan anak-anakku dalam hatiku. Lelakiku itu langsung duduk, lalu beberapa menit kemudian dia keluar dari kamar. Sedangkan aku menunggu Mas Nando dulu, biar bisa bergantian dengannya karena kamar mandi kami itu cuman satu.

‘’Sambil menunggu Mas Nando, lebih baik aku bangunkan dulu si Reza.’’

Aku bergegas turun dari ranjang, lalu melangkah ke kamarnya. Belum sampai aku tiba di depan kamar yang dihuninya aku sudah berteriak langsung.

‘’Reza! Za, apa kamu udah bangun?’’ teriakku sambil melangkah.

‘’Reza!’’ Kuketuk pintu yang tengah tertutup itu.

‘’M—Mbaa?’’ Ternyata Reza sudah bangun, tapi dia dari mana? Wajahnya tampak kager menatapku.

‘’Kamu udah bangun, ya? Aku kirain kamu belum bangun. Udah solat kan?’’ Aku tersenyum menatap wanita yang tergerai rambut pirangnya itu.

‘’Udahlah, Mba. Aku tuh walaupun kayak gini tetap solat,’’ sahutnya yang membuat aku mengulum senyum. Berarti dia masih tahu dengan kewajibannya sebagai umat Islam.

‘’Syukurlah kalo begitu. Tapi kok kamu tumben secepat ini bangun?’’

Aku memandangi ekspresi wanita itu yang tak bisa kuterjemahkan. Dia malah terdiam membisu. Ya, sudah seminggu dia di sini selalu kudapati bangun jam 06.00. Ini masih pukul 05.00 sudah bangun? Ada apa gerangan?

‘’Mungkin dia udah dapat hidayah kali,’’ celetukku dalam hati dan merasa sedikit lega.

‘’Ya udah kalo gitu. Nanti setelah Mas Nando berwuduk kamu mandi ya. Kan kamu mau berangkat pagi ke toko.’’

‘’Kan aku mau masak, Mba.’’ Membuat aku tersenyum lebar menatap Reza.

‘’Biar aku yang masak, ya? Kamu udah seminggu masak loh. Kan aku juga ingin masak untuk suami aku,’’ ungkapku sambil tersenyum.

‘’Ta—tapi, Mba. Aku jadi nggak enak. Masa aku nggak bantu Mba. Aku udah diterima jadi karyawan di toko Mba loh. Udah dikasih tempat tinggal juga. Lah, aku cuman tinggal makan aja dan duduk manis. Kan aku nggak enak sama suaminya Mba,’’ keluh Reza panjang lebar membuat aku tertawa kecil.

‘’Kamu nggak boleh bilang kayak gitu. Kamu udah membantu aku aja itu udah berterima kasih aku sama kamu. Kamu membantu berjualan di toko dan kamu juga bermain bersama anak-anakku. Itu menurut aku lebih dari segalanya. Makasih banget ya, Reza,’’ kataku lirih lalu memegang jemari wanita itu.

Dia hanya menyahut dengan anggukan.

‘’Kamu jangan segan sama Mas Nando, suami aku. Dia itu lelaki baik. Jadi kamu nggak perlu merasa nggak enak sama dia ya.’’

‘’Satu lagi, kamu kalo butuh apa-apa jangan segan ya. Katakan aja sama aku, minta sama aku. Ataupun sama Mas Nando.’’

‘’Terutama kalo kamu butuh uang untuk kebutuhan anakmu, katakan aja ya, Kamu anggap aja aku ini kakak kandungmu. Kamu mengerti, Za?’’

‘’Iya, Mba. Makasih banyak sekali lagi ya. Aku udah diizinkan tinggal di sini dan menerimaku untuk kerja di toko Mba.’’ 

‘’Sama-sama. Kamu mau mandi kan? Kayaknya Mas Nando udah selesai berwuduk deh.’’

‘’Iya, Mba.’’ 

Aku langsung melangkah ke dapur dan menyiapkan bahan-bahan yang akan aku olah jadi sarapan hari ini. Aku harus cepat selesai memasak, agar bisa membangunkan Akram dan juga memasangkan seragam sekolahnya. Masak apa hari ini ya? Apa tumis kangkung balado dan ayam bumbu balado saja? Itu saja, biar kedua anakku lebih nikmat sarapannya. Sesekali bolehlah selera anak-anakku yang kubuatkan. Biasanya selalu saja selera suami yang kuturuti.

Tak berselang lama aku telah selesai memasak karena bumbu ayam aku pakai saja bumbu yang selesai diolah. Biar tak memakan waktu yang lama. Aku bernyanyi riang sambil menyajikan masakanku di meja.

‘’Wah, cepat banget Mba masaknya. Mana baunya harum banget lagi.’’ Reza sudah berada di ruang makan sambil memandangi aku yang tengah sibuk menata makanan.

‘’Iya dong, Za. Tapi masakan aku ini nggak seenak masakan kamu,’’ kataku tanpa menoleh.

‘’Loh Mba, nggak baik ngomong kayak gitu. Kebetulan aja masakanku itu enak. Padahal di rumah aku masak nggak pernah habis loh. Hambarlah asinlah dan pokoknya Bapakku nggak suka.’’ Membuat alisku terangkat.

‘’Ah, masa iya? Benaran?’’ Wanita itu 0menyahut dengan anggukan.

Tak mungkin rasa masakannya akan berubah-ubah. Selama seminggu ini dia memasak tetap enak kok, rasanya sama. Mungkin wanita ini tengah berusaha menghibur aku atau supaya aku tak membandingkan rasa masakannya dengan rasa masakanku.

‘’Oke, kalo gitu aku siap-siap dulu. Kamu kalo mau sarapan duluan juga boleh.’’ Aku langsung melangkah meninggalkan Reza yang tak merespon ucapanku.

Ah ya, langsung ke kamar mandi aja kali ya? Kuambil terlebih dahulu pakaian yang sudah kupilih yang terletak di ruang keluarga, kemarin selesai disetrika. Lalu aku langsung melangkah ke kamar mandi. Tak berselang lama aku sudah selesai melakukan ritual lalu segera aku memakai baju yang sudah disediakan. Tak lupa aku menghias diri juga. Memakai bedak, make up, dan lipstick. Tak lupa juga parfum kesukaannya Mas Nando kusemprotkan pada tubuhku.

‘’Humm, suamiku pasti suka banget.’’

Memang aku sengaja meletakkan make up dan lainnya di luar kamar tidur juga, biar ketika aku butuh aku bisa mengambilnya. Contohnya saja ketika ingin memberi surprise untuk Sang Suami, maka aku akan berhias dulu sebelum memasuki kamar. Tak mungkin aku berhiasnya di kamar kami, tentu tak surprise lagi namanya. Setelah merasa sudah bagus penampilanku, aku langsung melangkah ke kamar. Ternyata Mas Nando tengah mematut diri di depan cermin.

‘’Mas?’’ Kuhampiri suamiku itu dengan memasang senyuman semanis mungkin.

Aku yakin dia suka dengan penampilanku ini. Sesekali bolehlah berhias untuk suamiku, ya walaupun di rumah tentu kita harus menyenangkan si suami juga. Supaya tak melirik ke wanita lain.

‘’Mau ke mana kamu?’’

Seketika membuatku terkesiap. Sungguh jauh dari ekspetasiku. Aku kira dia akan senang memandangi aku yang berhias untuknya. Namun, ekspresinya entahlah. Dia menatap tajam ke arahku. Ada apa dengan Mas Nando? Biasanya dia akan terlihat senang jika aku berdandan di rumah untuknya. Kenapa sekarang berbeda?

‘’Nggak ada ke mana-mana, Mas. Aku berdandan untuk suamiku boleh dong,’’ sahutku yang mencoba untuk tetap senyum, kudekatkan tubuhku padanya.

‘’Nisya, kamu jangan aneh-aneh deh. Trus kenapa kamu pake parfum segala? Kamu mau jalan-jalan ke luar iya? Trus ketemu sama lelaki lain gitu?’’ Membuat aku terperanjat dan menggeleng. Dada ini terasa sesak.

‘’Astaghfirullah, Mas. Istigfar. Kamu ini ngomong apaan? Aku itu berdandan kayak gini untuk kamu. Demi menyenangkan kamu, suami aku!’’ Aku berkata ketus dan menaikkan nada suaraku kali ini.

Kenapa begini sikapnya padaku? Aku berdandan untuk Mas Nando, kenapa dia malah marah-marah tak jelas? Dadaku seketika sesak dibuatnya. Usahaku sungguh gagal total untuk menyenangkan Mas Nando hari ini. Dia langsung keluar dari kamar lalu menghempaskan pintu dengan kuat. Membuat aku terperanjat dan mengelus dada.

‘’Ada apa denganmu, Mas?’’ lirihku. Atau mungkin karena dia ada masalah? Tapi dia punya masalah apa? Teringat olehku Akram belum bangun. Aku langsung bergegas ke kamarnya dan membangunkan anak pertamaku itu.

‘’Mandi dulu yuk, Nak.’’ Tampak Akram tengah mengusap bola matanya.

‘’Mama masak ayam untuk kamu,’’ lanjutku biar dia lebih semangat.

‘’Hah? Apa, Ma? Ayam ya?’’ Matanya yang tadi masih mengantuk seketika hilang kantuknya. Hatiku yang tadi perih kini terasa terobati oleh kelakuan anakku ini.

‘’Iya, Nak. Makanya kita langsung mandi.’’ Akram mengangguk.

Tak berselang lama putraku sudah selesai mandi. Segera kupasangkan seragam olahraganya. Ya, karena sekarang hari Sabtu dia harus mengenakan seragam olahraga, kegiatan di sekolah hari ini adalah olahraga bersama.

‘’Ya udah yuk kita langsung sarapan.’’

‘’Adnan kan belum bangun, Ma? Kok Mama nggak bangunin?’’

‘’Biarkan aja adikmu tidur dulu. Yang penting sekarang Akram harus sarapan biar cepat berangkat ke sekolahnya.’’ Selesai memakaikan seragam sekolah putra pertamaku, aku dan Akram langsung menuju ruang makan.

‘’Aku kira Mas Nando udah berangkat ke toko. Eh, tahu-tahunya udah duduk aja di sini.’’

‘’Papa? Nggak ke toko ya, Pa?’’ Akram menyapa Papanya, sedangkan aku memilih diam lalu menghenyakkan bokong di kursi.

‘’Papa sarapan dulu, Sayang.’’ Lah, itu dia bisa bersikap lembut dan manis pada anak kami, sedangkan padaku? 

‘’Biar bagaimana pun juga tugasku sebagai seorang istri tetap aku jalankan. Kamu nggak boleh kayak gini, Sya.’’

Aku menggeleng dan langsung menambuhkan nasi ke piring lalu kuletakkan di depan suamiku. Dia menatapku sejenak.

‘’Pagi, Akram ganteng,’’ sapa Reza yang tiba-tiba datang lalu menghenyak di sebelah Akram. 

‘’Pagi, Tante cantik,’’ balas anakku yang membuat senyuman terbit di bibirku.

‘’Mas mau apa? Aku ambilin yah.’’

‘’Biar aku yang ambil sendiri,’’ sahutnya dingin dengan wajah datar.

Aku coba untuk tetap tenang lalu menarik napasku dengan pelan dan menghembuskannya kembali. Kini giliran Akram yang kuambilkan nasi untuknya, dilengkapi ayam bumbu balado kesukaannya.

‘’Asyiik. Makasih, Ma,’’ kata Akram dengan riang, aku mengangguk lalu tersenyum.

‘’Ini siapa yang masak sih? Kok beda rasanya?’’

Jleb! Apa lelakiku ini tak menginginkan masakan istrinya? Kenapa  jadi perih rasa hatiku tatkala mendengar ucapan Mas Nando.

‘’Enak kok, Mas. Itu Mba Nisya yang masak.’’ Reza yang bersuara.

‘’Kenapa nggak kamu aja yang masak, Za?’’

Bersambung...

Share this novel

Guest User
 


NovelPlus Premium

The best ads free experience