Wanita Lain Memasak Untuk Suamiku?

Drama Series 1943

‘’Saya aja nih ya, saya nggak mau punya pembantu. Karena apa? Ya karena takut nanti bakalan merusak rumah tangga saya. Walaupun suami saya lelaki setia dan baik. Tapi, sebaik dan sesetia apapun lelaki kalo udah digoda wanita tiap hari bakalan luluh juga. Lelaki sekarang nggak ada yang beriman kalo udah digoda wanita. Apalagi wanita seksi kayak Reza.’’

Dalam hati aku membenarkan ucapan wanita yang sedikit lebih tua dariku itu, namun entah kenapa aku tak bisa berkata apa-apa. Lidahku seakan kelu dibuatnya. Seketika membayang wajah Mas Nando dan Reza berdiri di luar dalam keadaan basah kuyup. Membuat dadaku mulai terasa sesak dan seperti ada sesuatu yang menghimpit di sana. Aku menggeleng cepat. Ya, aku belum punya bukti apa-apa. Oleh karena itu, aku tak boleh berprasangka buruk.

‘’Alhamdulillah. Akhirnya kita sampe juga. Nggak terasa ya, Mba?’’ Aku berusaha mengalihkan pembicaraannya.

Ah, lebih tepatnya aku tak mau membahas sesuatu yang membuat beban pikiranku kian bertambah. Bukannya aku tak mau mendengar ucapan Mba Asih, tapi wanita  bernama Reza itu sepertinya sudah mulai berubah. Tiada salahnya bukan mensupport dia dan menghargai perubahan yang terjadi pada diri seorang Reza.

‘'Tapi, biar bagaimana pun juga aku harus tetap menjalankan rencanaku itu.’’

Wanita itu menukik alisnya sambil menatapku. Mungkin dia heran dan bingung dengan sikapku yang tak terlalu merespon ucapannnya yang bicara panjang lebar sedari tadi.

‘’Dari tadi saya bicara panjang lebar. Eh, kamu malah cuek aja atau emang kamu nggak peduli?’’ Suaranya terdengar samar karena suara hiruk-pikuk orang yang berjualan, ditambah para pembeli yang begitu ramai. Aku sengaja tak menghiraukan ucapan si Mbak, kuputuskan melangkah ke warung cabe yang tak jauh dari tempat kuberdiri.

***

Tak berselang lama aku sudah selesai belanja bahan-bahan masak, karena belanjaanku banyak membuat aku terpaksa mencari ojek dan meminta mengantarkan sampai rumah yang kutempati. Begitu juga dengan Mba Asih yang belanja berbagai macam bahan masak, dia juga pakai ojek untuk mengantarnya pulang ke rumah.

Lima menit kemudian, ojek yang kutumpangi sudah tiba di depan rumah. Aku langsung turun dengan hati-hati. Bapak ojek menurunkan semua belanjaanku yang terletak di kantong berukuran besar itu. Langsung kuambilkan ongkosnya.

‘’Makasih banyak ya, Pak.’’ Kusodorkan uang lembaran kertas padanya.

‘’Sama-sama,’’ sahutnya sambil mengambil uang yang kusodorkan. Lalu klakson pun berbunyi, aku tersenyum ramah dan motornya pun hilang dari pandanganku. 

‘’Barang belanjaan sebanyak ini. Harus diangkut satu-satu nih.’’ Kubuka pagar.

‘’Eh, Mba Nisya? Dari pasar ya?’’ Wanita yang sudah mulai terbiasa mengenakan kerudung itu mendekatiku. Makin hari dia kelihatan lebih manis mengenakan kerudung itu, tampaknya juga dia sudah nyaman menggunakannya.

‘’Iya, Za.’’ Hanya itu jawaban dariku.

Entah kenapa aku masih merasa kesal dan cemburu pada wanita yang jadi karyawan suamiku itu. Ditambah ucapan Mba Asih selalu terngiang di telingaku.

‘’Wah, banyak banget ini mah. Biar aku bantu ya, Mba?’’ Pandangannya mengarah pada kantong yang berisi belanjaanku.

Aku hanya mengangguk saja. Walaupun aku merasa agak lain rasanya sejak aku melihat Reza dan suami pulang dalam keadaan basah kuyup. Tapi aku juga butuh orang untuk membantuku membawakan barang belanjaan karena aku penat berkeliling di pasar pagi mencari bahan-bahan masak. Wanita itu langsung menjinjing dua kantong besar. Satu di tangan kirinya dan satu lagi di tangan kanannya, dia bergegas membawa memasuki rumah. Sedangkan aku masih mematut punggungnya yang mulai menjauh dariku.

‘’Apa yang dikatakan Mba Asih itu benaran? Tapi…’’

Aku menarik napas pelan lalu menghembuskannya. Kini aku tak bisa menuduh wanita itu begitu saja, apalagi tanpa bukti. Ya, lebih baik aku tetap pada niatku untuk mencarikan kerja buat si Reza. Baiknya kutunggu dulu kabar dari sahabatku itu, semoga saja dia butuh karyawan. Tak ingin berlama-lama memikirkan sesuatu yang membuat kepalaku terasa pusing tak karuan, ditambah aku berkeliling di pasar tentu menambah rasa penat. Tak saja tubuh yang terasa penat, tapi pikiranku juga. Aku bergegas menjinjing belanjaan yang masih tersisa satu kantongnya lagi lalu kembali menutup pagar. Langsung kubawa memasuki rumah.

‘’Ya Allah. Za? Kamu ngapain?’’ Aku terkesiap melihat wanita itu yang tengah memotong bawang merah. Seketika senyumannya mengembang.

‘’Mau masak lah, Mba.’’ Tangannya masih sibuk mengiris bawang merah. Hanya sesekali menoleh ke arahku.

‘’Kamu kan mau kerja. Nanti telat loh. Biar aku aja yang masak,’’ kataku sambil merapikan semua belanjaanku ke kulkas dan meletakkan beberapa bagiannya lagi di meja.

‘’Mba tenang aja. Aku nggak akan telat pergi ke toko kok. Kan aku masak selalu gercep.’’

‘’Lagian yah Mba, aku tuh kasian ngelihat Mba capek pulang dari pasar. Masa Mba juga yang masak. Trus aku tinggal duduk manis gitu? Aku keterlaluan itu namanya,’’ imbuh Reza yang membuat aku tertawa kecil.

‘’MaasyaaAllah. Baik banget kamu. Semoga aja kamu mendapatkan lelaki yang setia dan baik ya.’’ Aku masih sibuk menyusun bahan masak di kulkas.

‘’Aduhh!’’

‘’Kamu kenapa, Za?’’ Aku terperanjat mendengar Reza yang mengerang, ternyata tangannya tergores terkena pisau.

‘’Ya Allah. Hati-hati dong, Za. Aku kan udah bilang tadi biar aku yang masak.’’

‘’Mana darahnya banyak banget lagi.’’

Aku merinding melihat darah segar tak hentinya menetes di jari tangan Reza, aku panik dibuatnya. Langsung berlari mencari kotak 3PK ke kamarku. Tak kuhiraukan suami yang tengah memasang kancing bajunya, aku hanya sejenak melirik ke arah lelaki itu. Kucari kotak yang kubutuhkan di semua lemari, alhamdulillah akhirnya ketemu juga di lemari paling bawah.

‘’Untuk siapa itu?’’ 

‘’Reza,’’ sahutku datar. Aku langsung berlari ke belakang. Tampak wanita itu sudah lemas, mungkin karena darahnya yang tak berhenti menetes sejak tadi.

‘’Biar aku bersihkan dulu lukamu, Za.’’ Dengan hati-hati aku membersihkan lukanya pakai kapas, setelah bersih lalu aku beri obat untuk memberhentikan luka dan rasa sakit. Tak lupa kuberi perban juga.

‘’Makasih ya, Mba.’’ Dia memandangi luka yang telah kututupi dengan perban itu. Aku mengangguk.

‘’Kamu istirahatlah. Biar aku yang masak.’’

‘’Nggak, Mba. Aku masih bisa masak kok. Lagian tanganku kan udah dikasih perban.’’ Dia tetap kekeh ingin memasak. Baiklah, apalagi aku belum membangunkan putraku nanti dia malah telat berangkat ke sekolah.

‘’Baiklah. Tapi kamu harus hati-hati ya.’’

Aku langsung bangkit dan melangkah ke kamarku.

Seperti biasa aku membangunkan putra pertamaku lalu membawanya ke kamar mandi untuk bebersih. Beberapa menit kemudian, Akram sudah selesai mandi. Langsung kupasangkan seragam sekolahnya.

***

‘’Wah, kamu yang masak, Za?’’ Mas Nando mendekati meja makan, aku hanya mengintip di balik dinding pintu sebelum memasuki ruang makan.

‘’Iya, Mas.’’ Wanita itu masih sibuk menata hidangan di meja tanpa menoleh.

Kali ini aku akan melihat dengan mata kepalaku apakah mereka ada sesuatu jika di belakangku. Ya, baru kali ini aku melihat mereka berbicara berdua saja. Aku memberanikan diri untuk mengintip walau hati ini terasa panas kala lelakiku itu memandangi masakan Reza yang tertata di meja. Tapi apakah aku siap jika sesuatu hal terungkap di depan mataku? 

‘’Pasti enak banget. Aku pasti nambah terus makannya kalo kamu yang masak.’’

Jleb! Seperti ada yang runtuh di hati ini.  Ya Allah, apa maksud Mas Nando?  Dia lebih suka masakan wanita lain dibandingkan masakan istrinya sendiri? Lututku ini terasa lemas tak berdaya. Hati semakin terasa panas. Seperti bukan Mas Nando yang kukenal dulu.

‘’Ya Allah. Apa memang mereka ada hubungan khusus di belakangku? Tapi ekspresi Reza kok kayak biasa aja?’’

‘’Aku maunya kamu aja yang masak setiap hari yah?’’

Bersambung.

Instagram: n_nikhe

Share this novel

Guest User
 


NovelPlus Premium

The best ads free experience